Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Kenapa bisa berbeda?
Kurasa banyak yang berubah. Ternyata sudah dua tahun lalu,ketka aku dan teman-teman masih melingkar dan rapat di teras masjid Ar-Raudhah. Membicarakan angan-angan, celotehan, impian, candaan bahkan teriakan. Menulis semua cita kami, ingin mewujudkannya dengan sebuah acara megah, tertawa melihat isi dompet yang ternyata nol, dan beroptimis bahwa “ Allah kan kaya!”
Mengingat satu persatu mata orang yang telah pergi meninggalkan kenangan itu. Keramahannya, keceriaannnya, kasih sayangnya, bahkan kemarahannya. Semua sungguh kurindu. Ketika tangis kami menyeruak di suatu subuh, meneriakkan kekhilafan kami atas salahnya motivasi. Saat derum motor kami membelah langit jambi, entah untuk memeriahkan walimahan teman, menjemput salah satu kawan, ngebut-ngebutan menghindar tilangan, atau hanya untuk pergi jalan-jalan ke seberang sungai. Saat candaan  irinya kami melihat seorang akhwat, saat gelak tawa ketika setitik kekonyolan datang, atau bahkan rapatnya pelukan saat salah seorang berduka. Saat dengan lantang kami melawan bahkan memberontak.  Aku rindu.
Di pojok lain, suasana itu. Ramainya interupsi dari sebuah sidang, rapat kerja, bahkan forum istimewa. Ketika bersitegang bahkan bentakan terucap. Ketika seorang akhwat menangisi kerasnya kepala mereka. Dan aku hanya diam menahan marah. Lalu sesudahnya, semua hanya jadi alasan untuk kami tertawa. Macan kampus masih terus mengaum.  

Seperti kusebut tadi, ada yang berubah. Satu per satu wajah itu pergi. Mundur dan menghilang dari kenangan masa kini. Wajah-wajah baru yang tak sama dan tak kan pernah sama mulai bermunculan. Gaung suara itu telah tergantikan, mengutip ucapan dari teman, “ apa yang kami tanam, telah diganti bahkan dicabut orang.”  Genggaman tangan mengendur bahkan derum motor kami pun mati.
Macan kampus itu tak lagi punya gigi, bahkan serak. Tak berani lagi menatap mata pimpinan sidang, bahkan tak pernah lagi hadir dalam tiap forum mereka. Maaf, aku benar-benar belum mengerti kenapa semua itu bisa terjadi. Semua amanah itu terasa sangat berat dan tak lagi senikmat dulu. Kalian mau marah? Silakan marah. Bukan tak pernah kubaca tiap tausyah yang kalian kirim. Atau bukan aku tak merasa setiap tatapan kecewa yang kalian layangkan tiap kali memandangku lewat.
Tidak, aku tidak berubah. Kalianlah yang berubah. Idealisme kutetap yang dulu. Masih sama saat aku masih berani menunjuk bahkan mengancam hidung orang-orang yang memusuhi kita. Hanya saja, dalam suatu renungan malamku, baru aku temukan jawabannya. Konyolnya, jawaban itu sudah pernah tersebut saat awal aku menginjakkan kaki di dunia kalian. Murabbiku dulu berkata “ Suatu saat nanti, kalian akan mengerti. Seiring bertambahnya usia kalian, maka tantangan dakwah akan semakin berbeda. Lingkungan yang baru, situasi yang baru, bahkan musuh yang baru. Kumpulkan bekal itu dari sekarang, hingga suatu saat, ketika muncul pengganti-pengganti kalian, kalian akan siap melepas mereka melanjutkan estafet ini, dan juga siap melangkah menuju dakwah baru yang tak akan sama dengan saat itu.”
Dalam tangis aku mengerti, dan aku memahami. Saat ini mahasiswa baru yang dulu aku dan teman-teman kenalkan dengan materi awal “ma’rifatullah” dan “ukhuwah islamiyah”, siap menjelaskannya kembali dengan calon pengganti mereka. Aku mengerti kemana wajah orang-orang yang sangat aku sayangi itu pergi, meninggalkan kenangan atau malah bekal dalam kehidupan mereka selanjutnya. Aku menyadari, bahwa detik ini aku sudah semakin tua.
miss this forum
Selengkapnya...

“Esti, belajar fisika yuk. Aku masih banyak yang nggak ngerti nih,” kataku ketika bel istirahat berbunyi. Beberapa teman tampak bergairah keluar ruangan. Namun, ada yang memilih tinggal, seperti aku.

“Males ah. Sendirian aja ya,” jawabnya. Tangannya mengeluarkan N-Gagenya dan mulai menghidupkan mp3, sehingga mengalir alunan lagu yang tak kukenal.

“Ayo lah. Besokkan ulangan. Kerjain pe-er barusan aja yuk. Kan kata Bu Asma kemungkinan soalnya kayak gini,” lanjutku.

“Duh, males yu. Sama Ati aja. Tuh dia lagi ngerjain pe-er juga,” kilahnya.
Aku bingung menatap teman sebangkuku ini. Aku tahu otaknya sangat cerdas kalau dia mau berpikir sedikit.

“Ih, ni anak. Emang udah ngerti ya? Ulangan kemaren remidial. Mau ulangan yang ini remidial juga?” tanyaku.

“Duh, nggak usah diungkit-ungkit deh. Kayaknya emang udah takdir aku jadi orang bego,” jawabnya santai. Dengan perlahan ia bangkit dari sebelahku dan berjalan santai keluar dengan mulut bersenandung mengikuti alunan lagu dari mobile phone nya.

Aku terus menatapnya hingga langkah kakinya menghilang di balik pintu. Sebegitu sempitnya ia mengartikan takdir.

“Esti kemana yu?” tanya seseorang disebelahku mengaggetkan.
Reflek aku memandang ke sebelah. Wajah tirus Ati tersenyum manis.

“Tau tuh. Paling ngumpul sama temen-temen gengnya,” jawabku singkat.
Ati mengambil sebuah novel yang tergeletak begitu saja di meja Esti dan mulai membacanya. Aku melanjutkan mengerjakan pe-er fisika yang diberikan Bu Asma tadi. Untungnya soalnya tidak begitu sulit. Tinggal dimasukkan ke rumus.


“Ti, liatin dong. Bener nggak?” Kusodorkan buku tulisku ke arah Ati. Novel yang ia baca diletakkan kembali ke atas meja.

“Hmm, ada yang salah yu. Inikan jaraknya bolak-balik. Jadi dikalikan dua dulu baru dikalikan dengan konstantanya,” jawabnya singkat.
Aku menepuk jidadku. Oh, iya lupa. Dengan cepat aku membenarkan pe-erku.

“Makasih Ati. Nggak salah kamu jadi siswa terpintar di kelas ini,” pujiku. Dia tersenyum. “Kok nggak ke kantin?” lanjutku.

“Hahaha. Kamu menghina, Yu? Aku kan bukan orang kaya. Kalaupun ada duit, mending aku kumpulin buat spp,” candanya.

“Ah, kamu segitunya,” responku.

“Lha iya. Kalau kata bapakku, ditakdirin jadi orang miskin, ya miskin aja. Nggak usah sok kaya ngabis-ngabisin duit segala,” lanjutnya sambil tertawa.
Ati berdiri dan kembali ke bangkunya. Aku masih memutar perkataan terakhirnya. Apa benar takdir diartikan secara demikian?

Aku bukan tak percaya pada takdir. Jelas itu adalah salah satu rukun iman. Salah satu rukun iman adalah beriman terhadap qadha dan qadar (HR Muslim). Qadha dan qadar inilah yang biasa disebut orang sebagai takdir. Seperti yang Esti bilang, bahwa sudah takdirnya menjadi orang bego. Atau seperti yang diucapkan oleh Ati tadi, sudah takdirnya menjadi orang miskin. Benarkah takdir itu seperti yang mereka bilang?

Takdir bisa dikatakan hal gaib. Maksudnya, kita tak bisa mengetahui seperti apa wujud takdir itu sesungguhnya dan kita sama sekali tidak mengetahui seperti apa takdir yang akan menimpa kita. Jelas, hanya Allah saja yang mengetahui seperti apa nasib kita kemudian. Dan kita wajib menerima apa yang ditakdirkan Allah itu dengan ridha dan tawakal.

Inilah yang sering ditangkap salah oleh masyarakat. Mereka dengan pasrahnya menerima apa yang mereka sebut takdir. Misalnya, dipecat dari pekerjaan. Dengan sikap legowonya mereka meneriakan sudah takdirnya ia dipecat. Atau jika kita mendapat nilai jelek ketika ujian, maka dengan pasrahnya menjawab Allah sudah mentakdirkan aku mendapat nilai sekian. Atau seperti yang diungkapkan Esti tadi.
Sudah takdirnya menjadi orang bodoh. Atau yang dikatakan Ati, Allah sudah menakdirkannya menjadi orang miskin.

Tangkapan yang salah mengenai takdir inilah yang membuat begitu banyak masyarakat Islam khususnya menjadi tertinggal. Karena selalu mengkambing hitamkan takdir. Tanpa memikirkan sebab akibat. Bisa saja memang kitanya yang tak becus bekerja sehingga kita dipecat. Atau karena kita tak belajar nilai kita jelek. Atau kita tak pernah bergairah mencari ilmu sehingga kita bodoh. Atau usaha kita yang belum optimal sehingga kita terus terpuruk dalam kemiskinan.

Yang dinamakan takdir itu adalah jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan usaha itu kita optimalkan dengan doa yang ikhlas, namun hasilnya belum sesuai dengan keinginan kita, itu baru yang disebut takdir. Oleh karena itu, kita tak boleh sembarangan mendalihkan takdir atas sesuatu yang belum kita kerjakan.
Dahulu di zaman kekhalifahan Umar Bin Khathab, ada seorang pencuri yang hendak dipotong tangannya. Ia berkata “Aku mencuri karena takdir Allah,” kepada khalifah.
Namun Umar menjawab “Dan kami pun memotong tanganmu atas takdir Allah.”

Takdir memang hal gaib, tapi dengan usaha yang baik kita bisa merubah takdir kita menjadi lebih baik dengan izin Allah. Saat ini kita memang buta ilmu. Namun, jika kita ingin ditakdirkan Allah sebagai orang yang berilmu kita harus berusaha keras mencari ilmu dan tak lupa menyempurnakannya dengan doa. Atau saat ini kita bisa saja miskin. Namun ini belum menjadi takdir kita. Esok hari masih gaib. Jika kita mau berusaha dengan ikhlas dan jujur, bisa saja Allah merubah takdir kita menjadi orang kaya besok hari. Dan saat kita kaya, besok takdir kita belum tentu masih menjadi orang kaya. Namun, dengan usaha yang keras dan tak lupa menginfakkan sebagian harta kita, Allah tetap akan mentakdirkan kita sebagai orang kaya.

Rasul bersabda “Berbuatlah karena setiap orang dimudahkan dengan apa yang ia diciptakan untuknya,” (HR Muslim). Semua yang diberikan kepada kita adalah kemudahan untuk usaha yang akan kita lakukan. Jadi, tidak ada alasan menyalahkan takdir atas apa yang menimpa diri kita.

Namun, jika apa yang kita usahakan atau yang kita kerjakan dengan kerja keras belum mendapatkan hasil seperti yang kita harapkan, kita harus memahaminya sebagai suatu ujian atau cobaan.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi,” (QS Nisa : 78-79).

Bel berbunyi. Beberapa siswa masuk. Aku mengeluarkan buku Matematika dari tasku. Bismillah. Aku akan berusaha merubah takdirku untuk hari kemudian. Buku itu kubuka, dan mulai kuteliti huruf-hurufnya satu demi satu.
Wallahua’lam.


Mem-post kembali tulisan lama. dari pada hilang...
Selengkapnya...

Jambi layaknya kota di Arab. Di kanan kiri, rata-rata wanitanya menutup aurat. Walau, tak semua berlandas Al Qur’an. Masjid tampak ramai. Orang-orang berlomba mendapat kebaikan atau mungkin cuma sekedar ikut memakmurkan. Yah, Ramadhan telah tiba. Semua bersuka cita.

Menelusuri Jambi di bulan suci benar-benar menyejukkan. Hampir setiap sekolah di pagi hari membacakan ayat-ayat Al Qur’an yang mulia. Tiap-tiap Universitas dipenuhi berbagai acara yang akan memperkuat ruhani. Kehangatan keluarga di saat buka dan sahur, menjadi motivator yang tak tertandingi. Shalat malam pun, kini menjadi tradisi. Tiap-tiap masjid di malam hari, terisi muslim tangguh yang beri’tikaf menghambakan diri. Setidaknya, itu yang aku rasakan.


Terik menghanguskan udara. Membakar adrenalinku, mengusik tenggorakn dan kerongkonganku. Bis besar yang menuju kampusku tak jua tiba, entah ke mana larinya. Dalam diam, tetap tak kuhentikan doa. Walau sudah gerah rasanya.
Akhirnya, kepalanya menyembul di ujung jalan. Aku bersiap. Seseorang yang berjarak beberapa meter dariku juga berdiri dari bangku halte. Pintu terbuka. Kesejukkan ac melanda. Aku terus maju mencari tempat duduk kosong. Tapi, sepertinya tidak ada.

Dengan terpaksa aku berdiri. Sebenarnya, sudah letih kaki ini. Cukup jauh aku berjalan dari rumah temanku tadi. Di halte pun tak kebagian tempat duduk. Tapi, sudahlah. Lebih cepat aku sampai di kampus, jauh lebih baik.



Namun, tiba-tiba pemuda di sebelahku berdiri, dan mempersilahkan aku untuk duduk. Bukan pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, karena hatiku sedang kegerahan, kududuki juga tempatnya tadi. Ya Allah, semoga kau terima amal dan puasanya, semoga engkau balas dengan lebih baik lagi. Batinku berdoa.

Alunan lagu Opick mengiringi laju bus. Wanita di sebelahku sedang tilawah. Ah, dia lebih cepat dariku mencuri waktu. Aku juga mengambil mushaf di tasku. Bismilah, semoga aku mendapat keutamaan dengan membacanya.

Bus tiba tepat saat aku menghabiskan surat Fatir. Bergegas aku menuju masjid kampus, berjamaah tentu lebih utama. Azan bergema saat aku menginjakan kaki di lantai masjid. Alhamdulillah tepat pada waktunya. Namun, ternyata masjid ramai. Aku pun menanti antrian wudhu yang cukup panjang, belum lagi antrian mukena mesjid dan banyaknya muslimah memenuhi semua shaf. Alhamdulillah mesjid ini dimakmurkan. Aku pun mengikuti jama’ah ke dua.

Kampus ramai. Mahasiswanya pun tak seperti biasa. Sepertinya, lebih banyak mengenakan jilbab. Sebagian kantin tutup dan sepi. Tidak seperti biasanya, kajian rutin oleh masing-masing fakultas ramai. Subhanallah, lagi-lagi aku bertasbih. Lihatlah hambamu Ya Rabb. Bulan ini mencerahkan mereka. Pahala akhirat tujuan utama.

Tanpa terasa 30 hari berlalu. Gema takbir membahana. Alhamdulillah, bulan nan fitri menjelang. Sudut hatiku merintih, semoga aku masih bisa menjumpaimu Ramadhan. Semua bercuka cita. Silaturahmi menjamur. Hari kemenangan dirayakan. Usia bumi pun menua.
Siang yang sama teriknya, satu bulan kemudian. Langkah kupercepat menyongsong zuhur. Azan telah selesai menggema. Wah terlambat, pasti masjid sudah penuh, pikirku. Dengan cepat kuberwudhu dan langsung berlalu masuk mesjid. Cuma ada satu shaf wanita di sana. Itu pun tak penuh. Aku beristighfar. Ini kah buah Ramadhan?
Seusai shalat dan tilawah, aku berlalu ingin pulang. Setengah jam lagi, adik-adik mentoringku menanti. Aku usahakan cepat. Bus pulang sudah mulai berjalan. Dengan cepat kulambaikan tangan ke arah kondektur. Tidak ada waktu menunggu bis berikutnya, biarlah berdesakan.

Ternyata benar. Bus sesak. Beberapa orang berdiri, termasuk aku. Semua bangku penuh. Seseorang yang aku kenal juga berdiri di batasi 3 orang denganku. Muslimah yang aku tahu sebagai dosen muda di Universitasku. Tangannya tampak keberatan memegang buku. Kalau tak salah di sebelahnya seorang pemuda beransel. Apa tidak ada satu keinginan dalam hatinya untuk memberikan Bu Dosen itu tempat duduk.

Aku geleng-geleng. Rasanya baru kemarin ada seorang lelaki yang berani berkorban untuk membantuku. Yang duduk di kananku sangat berisik. Mengalahkan teriakan Pasha Ungu dengan lagu Di sini untukmu. Entah apa yang mereka bicarakan. Telingaku hanya menangkap cibiran dan sedikit aib nama seseorang yang tak ku kenal. Aku beristghfar kembali. Baru sebulan Ramadhan berlalu, ini kah buahnya?

Fenomena kecil yang sudah biasa dan dianggap biasa. Ramadhan nan suci tak dihargai, cuma dianggap sebagai tradisi. Jilbab cuma hiasan seremonial, dilepas kembali jika syawal datang. Kebajikan kembali langka. Masjid kembali berhuni sepi. Benar-benar tak berbekas walau pun hanya sekedar jejak kaki.

Jadi apa motivasi menghidupkan Ramadhan? Apa cuma karena semua orang berpuasa kita pun ikut-ikutan puasa? Apa karena semua pahala berlipat ganda di bulan ini, sehingga di sebelas bulan berikutnya tak menggiurkan untuk berburu pahala? Atau karena sekedar cari sensasi baru, karena bulan selebihnya terasa monoton?

Sungguh munafik jika pikiran itu terlintas. Salah satu indikator keberhasilan berpuasa di bulan suci ini adalah berhasilnya diri kita membawa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, untuk diterapkan pada sebelas bulan berikutnya. Bukannya mengambang ditelan waktu. Sewaktu Ramadhan tiba, kita dengan susah payah menahan nafsu untuk berpuasa, menyediakan waktu untuk membaca Al Qur’an, menginfakan sebagian harta untuk orang-orang yang membutuhkan, dan menahan ucapan dari kata-kata kasar dan yang tak bermanfaat. Namun, apa manfaatnya jika itu hanya kita lakukan hanya di bulan ramadhan?

Orang-orang ramai beri’tikaf di masjid. Mengharap malam Lailatul Qadar menyapa diri mereka. Itu tidak salah, malah diperintahkan. Namun, jika di bulan-bulan lain kita bahkan jarang menghampiri masjid, untuk sekedar shalat zuhur berjamaah, apakah orang-orang seperti ini yang berhak mendapat keutamaan malam seribu bulan?

Sebuah hadits meriwayatkan “Amal Rasulullah saw tak ubahnya hujan turun rintik-rintik. Bila beramal beliau melanggengkannya. Sebaik-baiknya amal adalah amalan yang berkesinambungan walau amal itu sedikit” (Riwayat Muslim).

Membaca satu halaman mushaf Al Qur’an setiap hari itu lebih baik, daripada menghantamkan 1 juz Al Qur’an pada waktu Ramadhan namun setelah itu Al Qur’an mulia tak pernah disentuh lagi. Itu salah satu contoh dari hadits tersebut. Amal sedikit yang berkesinambungan itu lebih mulia, daripada amal yang banyak tapi cuma sekali-kali kita lakukan.

Hadits tersebut mungkin sedikit menyindir kita. Ramadhan memang bulan yang lebih mulia daripada bulan-bulan lain. Semua amalan jauh dilipatgandakan. Tapi, bukan untuk dilakukan sekali-kali amalannya. Bukan itu yang dimaksudkan Allah dengan memuliakan Ramadhan. Namun, sebagai latihan pada diri kita, dalam menapaki hari-hari panjang sebelas bulan lamanya.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka lanjutkanlah dengan sungguh-sungguh (urusan )lain” (Al-Insyirah:7).
Dengan melanjutkan apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan, itulah tujuan

Ramadhan sesungguhnya. Seperti sabda Rasulullah saw ”Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan syawal, seakan-akan ia berpuasa selama satu tahun”(Riwayat Jamaah kecuali Bukhari dan Nusa’i dari Abu Ayyub Al-Anshari). Seperti itulah yang diperintahkan baginda Rasul. Meninggalkan Ramadhan, namun tidak melepaskan amalannya.

Laksana seorang perternak kambing. Awalnya hanya dua ekor kambing. Namun, jika rutin dirawat, dipelihara dengan baik, maka lambat laun kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semua kesabaran kita untuk merawat dan menggembalakan kambing itu setiap hari akan berbuah baik. Kambing itu akan tumbuh besar dan nantinya akan menghasilkan keturunan yang banyak. Berbeda jika kita langsung membeli 100 ekor kambing sekalipun, namun tidak pernah kita rawat dan kita biarkan saja di padang rumput yang luas, maka kambing-kambing itu pastilah akan habis. Entah dimakan srigala, atau lepas ke hutan. Namun, yang jelas dikemudian hari kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian.

Seperti itulah amal. Amalan yang berkesinambungan, akan menuai hasil yang lebih baik setiap waktunya. Dan yang kita dapat adalah keuntungan yang terus-menerus. Sebaliknya, amalan yang hanya kita lakukan hanya semalam atau satu bulan saat Ramadhan, maka bulan-bulan berikutnya amalan itu akan hilang dan kita tidak pernah mendapatkan apa-apa melainkan kerugian.

11 Agustus 2007
Menanti sebulan datangnya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan

Selengkapnya...

Air mata neneknya Uti (bukan nama sebenarnya) tumpah. Bukan hanya ia yang bersedih saat itu. Uti sekeluarga juga sedih. Sebenarnya Uti juga malas membicarakan ini.

Sedih rasanya. Sudah sebulan lebih buyut perempuannya meninggal dunia di usianya yang sangat tua. Hampir delapan puluh tahun. Saat ini nenek dan kakek Uti sedang berlibur di rumahnya. Entah kenapa topik perbincangan mereka beralih ke sini.

Yah, pastilah nenek sangat sedih. Selama ini yang Uti tahu beliaulah yang menemani buyut. Walaupun jarak mereka jauh, tapi secara garis besar Uti tahu betul kehidupan mereka. Papanya sering menceritakan kehidupan mereka sepulangnya dari desa.
“Aku ikhlas menerima kepergian ibu. Tapi, aku sedih jika melihat hari-hari sebelum ia meninggal,” lirihnya. Suara itu seperti suara terdalam yang selama ini ia pendam.

Yang Uti tahu, buyut tinggal dengan kedua anaknya yang tinggalnya sebelahan rumah. Kadang di rumah neneknya, kadang di rumah adik neneknya. Selalu berganti jika saat idul fitri Uti pulang.

Uti jadi teringat ramah wajahnya. Senyumnya yang ramah menampakkan giginya yang sudah ompong. Lembutnya memanggil nama Uti, seakan Uti adalah cicit kesayangannya. Wajar ia rasa buyutnya senang saat mereka berlibur ke sana saat lebaran tiba. Papa adalah cucu kesayangannya. Ah, Uti benar-benar rindu pada keramahannya.


Pikiran Uti melayang ke setahun silam. Uti terkejut saat hendak bertemu buyut sewaktu lebaran. Kamarnya pindah lagi. Yang Uti tahu, tempat itu adalah gudang beras jika saat panen tiba.

Uti dan mamanya masuk ke kamarnya. Ia terbaring lemas. Mama mendekat dan memijit kakinya. Matanya terbuka. Dan terkejut menatap mereka. Tapi sepertinya ia tak sanggup untuk berdiri. Ia mengucap nama Uti perlahan. Dia masih mengenal wajah Uti. Setelah itu, Uti tak pernah melihat wajahnya lagi.

“Dia nggak pernah mau menemani ibu. Selalu marah-marah jika ibu berteriak memanggil dia,” kata nenek emosi. Sepertinya dia sedikit marah pada adiknya. “Namanya juga sudah tua, ibu sudah balik seperti anak kecil lagi. Buang air ke wc saja sudah tak mampu,” lanjutnya. Tak ada lagi air mata yang keluar. Sepertinya ia sudah mulai tegar dan sabar.

“Sakit aku melihat ibu dibentak. Membersihkan kotoran ibu saja dia tak mau. Padahal ibu yang dulu membersihkan kotorannya ketika ia masih kecil. Masuk kekamar ibu pun dengan cemberut sambil menutup hidung,” adunya entah sama siapa. Pertahanannya luntur. Air matanya membuncah keluar kembali.

Papa Uti mendekat dan menghibur. Kakek mengalihkan pembicaraan. Namun pikiran Uti mengembara ke mana-mana. Sedih, jika membayangkan wajah buyut yang lesu, kadang marah juga membayangkan perilaku adik nenek kepada buyut.

Hati Uti tiba-tiba bertanya. Jika nanti, itu terjadi dengan mamanya, apakah Uti
juga akan ikhlas merawat beliau seperti yang dilakukan nenek? Uti ingin menangis. Pasti sangat berat menjadi ibu. Berjuang bertaruh nyawa saat ia kan melahirkan kita. Berkeringat bercucurkan air mata saat menghadapi kita yang mulai durhaka.

Bahkan, hatinya pasti sakit sekali jikalau tahu anak-anak yang telah ia besarkan, ternyata menelantarkan dia di masa tuanya. Ah, sungguh tak bisa Uti bayangkan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah nyata, yang tak seberapa jika dibandingkan juataan kisah lain yang mengharukan di dunia ini. Kukutip, untuk menyentakkan alam tak sadar kita akan rapuhnya bakti anak kepada orang tua saat ini.

Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23-24 “Dan Tuhanmu telah memerintahkna agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaan mu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangnlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku sewaktu kecil’.” Yah, sesuatu yang sangat wajar, mengingat besarnya pengorbanan mereka terhadap kita.

Sebuah kisah di televisi yang kutonton suatu hari tiba-tiba terbayang. Tentang seorang wanita paruh baya yang hidup sederhana. Dia dan keluarganya tinggal bersama ibunya yang lumpuh dan tua. Hidupnya sudah beralih seperti anak bayi yang tak bisa apa-apa. Namun, sang anak dengan ikhlas merawat ibunya, membersihkan kotorannya setiap hari, memandikannya setiap hari, dan dengan sabar menemaninya jika sang ibu mulai rewel.

Sungguh beruntung orang tua yang memiliki anak seperti itu. Tak perlu khawatir tak ada yang menjaganya, karena sang anak begitu setia merawatnya. Namun, dalam kehidupan nyata, hanya segelintir orang-orang seperti nenek Uti atau wanita paruh baya tadi, yang mau merawat ibunya. Apalagi jika kesuksesan sudah di tangan, tentu meletakkan orang tuanya di panti jompo merupakan pilihan yang tepat bagi mereka.

Fasilitas di panti memang lengkap, juga ada banyak perawat yang akan membantu mereka dengan sabar. Namun, apalah arti semua itu jika menjelang habis waktunya, tak ada sang anak yang menemani di sisinya. Pasti sangat hancur hati mereka saat tahu yang merawat mereka orang lain, bukan anaknnya.
Seorang Ibu pernah dibentak oleh rentenir saat meminjam uang untuk sekolah anaknya.

Ibu temanku menggadaikan waktu istirahat mereka dengan berkeliling dari rumah ke rumah mencuci pakaian agar anaknya bisa bersekolah dengan layak. Bahkan aku yakin, ibumu punya kisah mengharukan sendiri dalam usaha kerasnya membesarkanmu. Membalas pengorbanannya tak kan cukup dengan harta satu bumi. Mengabdi dan berbakti adalah cara termahal untuk membalasnya. Walau sebaik apa pun engkau berbakti, hutang asinya tak kan terbayar. Keringat pengorbanannya tak kan pernah terganti. Cinta sucinya tak kan ada yang bisa menandingi.

Rasulullah saw pernah ditanya oleh sahabatnya,
"Ya Rasul, setelah Allah dan engkau rasulnya, sipakah orang yang harus aku hormati dumuka bumi ini?"
Rasulullah Saw menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul kembali menjawab "Ibumu!"
“Lalu setelah itu siapa ya Rasul?”
Kemudian Rasulullah saw baru menjawab "Ayahmu!"

29 Juli 2007
Mengenang Jasamu Ibu...

Selengkapnya...


Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
Terselip berhala-berhala kecil
Sembilan senti panjangnya
Putih warnanya
Ke mana-mana dibawa dengan setia
Satu kantung dengan kalung tasbih 99 butirnya

Di tengah hiruk pikuk terminal bis kota, stasiun kereta, keramaian pasar, hingga ke bangku-bangku terhormat anggota dewan, berhala kecil ini jelas sangat mudah ditemukan. Hampir sebagian kaum lelaki menghirupnya, dan lantang menggemakan dirinya jantan. Barangkali inilah tanggapan yang pantas atas puisi Taufiq Ismail di atas. Kegelisahan atas berhala kecil yang merusak uang, potensi dan kesehatan.

Di suatu seminar kesehatan, pernah disebutkan bahwasanya produksi rokok di Indonesia mencapai 224 milyar batang rokok yang diproduksi per bulannya. Bayangkan, seberapa banyak zat-zat racun itu masuk dalam paru-paru rakyat Indonesia perharinya, perbulannya, dan pertahunnya. Sebesar apa pengaruh zat-zat yang akan merusak otak generasi muda kita lantaran mereka diwariskan tradisi menghisap zat racun tiap harinya.

Belitan keuangan, semua harga yang melonjak mahal, krisis ekonomi yang tak kunjung tuntas, menjadi problema tersendiri bagi rakyat Indonesia kini. Jangan kan mau nyekolahin anak, buat makan hari ini aja susah. Namun mirisnya, para bapak-bapak yang bekerja seadanya itu mengeluhkan semua permasalahan hidupnya itu sambil merokok. Seolah membeli sebungkus rokok, menghisapnya, mengendapkan zat kimia berbahaya dalam tubuhnya, dan menghembuskan asapnya sia-sia itu bukan merupakan salah satu kesulitan dirinya bahkan keluarganya.

Jika seandainya sehari bisa mengkonsumsi rokok 3 batang, maka perbulannya harus membeli 7 bungkus rokok. Kita anggap saja satu bungkus Rp 12000, maka setahunnya ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1.008.000. Enam tahun saja sudah Rp 6.480.000 yang terbang melayang bersama kepulan asap rokok yang dibakar setiap harinya. Bayangkan jika uang tersebut digunakan untuk membiayai sekolah anak 6 tahun di Sekolah Dasar.
Survei juga membuktikan bahwasanya rata-raata keluarga yang tergolong miskin di Indonesia mengeluarkan 12 persen pendapatan bulanannya untuk rokok. Hal ini 6 kali lebih besar dari alokasi biaya pendidikan yang hanya 2 persen, biaya untuk membeli ikan 6,89 persen, susu dan telur 2,43 persen dan daging 0,85 persen. Benar-benar pembodohan masal.
Pemerintah Indonesia juga hanya bisa melihat industri rokok yang semakin pesat di negara ini. Membiarkan mereka mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari kantong rakyat-rakyat Indonesia yang miskin. Lihat saja, orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes diduduki oleh pemimpin industri rokok. Selidik punya selidik, pemerintah Indonesia hanya bisa angkat bahu, karena mereka telah mengantongi uang pajak yang sangat besar dari industri rokok. Yang paling besar malah. 42 Triliyun rupiah pada tahun 2006. Padahal menurut hasil penelitian pada tahun 2003, setoran industri rokok pada negara hanya 1,1 persen.
Bagaimana dari sisi kesehatannya? Tercatat 1027 orang meninggal per harinya akibat rokok. Setara dengan 8 bulan berulang berturut-turut tragedi tsunami Aceh 2 tahun silam.
Bukan saja pemerintah yang merasa rugi jika industri rokok di hambat, rakyat kecil terutama petani tembakau juga merasa dirugikan. Alasannnya angka pengagguran akan tinggi dan mereka akan kehilangan mata pencaharian mereka. Padahal tembakau sendiri tidak hanya digunakan untuk rokok. Petani tembakau akan tetap bekerja untuk obat anti kanker dari tembakau yang saat ini sedang di kembangkan. Lebih bermanfaat.
Lalu apa yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Fatwa haramnya merokok oleh MUI memang sudah dibicarakan serius. Namun, hingga kini masih belum jelas batasan ”haram” seperti apa yang akan difatwakan MUI. Namun ternyata, beberapa ulama di Jawa Timur ikut menolak fatwa haramnya merokok oleh MUI. Alasannya tidak jelas. Bahkan ada yang malah menjadi tolak ukur agama. ”Rokok itu tidak haram, karena saya sendiri juga merokok,” ujar pemimpin salah satu Pondok Pesantren di Jawa Timur ini. Luar biasa, bahkan PBNU meluncurkan produk rokok yang bernama Tali Jagat tahun 2002 silam. Rokok Tali Jagat ini pun tertempel di setiap kampanye pasangan calon wakil Bupati Lumanjang, Juli 2008 lalu.
Masih sambungan bait puisi yang berjudul ”Tuhan Sembilan Senti” karya Taufiq Ismail,
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging Khinzir diharamkan
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Selengkapnya...

Suatu ketika, pernah terbaca sebuah kisah. Kisah ini terjadi pada zaman Nabi Daud as. Suatu hari, telah datang seorang perempuan tua kepada Nabi Daud as. Dia bertanya, “Ya Nabiyullah, Allah itu adil atau dzalim?” tanyanya.

Nabiyullah menjawab, “Allah Maha Adil dan tidak menyukai kedzaliman,” jawabnya. “Mengapa anda bertanya demikian?” lanjut Nabi bertanya.

“Saya seorang penenun kain. Kemarin, saya bekerja seharian menenun kain untuk menghidupi anak dan keluarga saya. Kain itu hendak saya jual ke pasar. Lalu tiba-tiba, seekor burung mengambil kain saya dan membawanya pergi. Saya sedih. Tidak ada lagi yang bisa saya jual untuk menghidupi anak-anak saya,” katanya sedih.


Sebelum Nabi Daud as menjawab, tiba-tiba pintu diketuk dan masuklah beberapa orang.
“Ya Nabiyullah, kami membawa 100 dinar. Berikanlah uang ini kepada yang berhak,” kata salah seorang di antara mereka.

“Ada apa gerangan sehingga kalian menyerahkan uang sebanyak ini?” tanya Nabi Daud heran.


“Kami adalah nelayan. Kemarin kami hampir mati, karena kapal kami hendak karam karena ada yang berlubang. Lalu tiba-tiba ada seekor burung menjatuhkan selembar kain, sehingga kami bisa menambal kapal kami dengan kain itu. Alhamdulillah kami semua selamat,” jawab seorang yang lain.

Lalu Nabi Daud as pun berkata pada perempuan tua dihadapannya, “Allah memperdagangkan kainmu, di laut dan di darat, dan kau sempat menuduhnya sebagai Dzat yang dzalim”. Nabi Daud pun memberikan uang 100 dinar itu kepada perempuan tua tadi.


Mungkin di antara kita sering mengalami cerita serupa. Dihadapkan dengan kenyataan yang menurut kita bukan yang terbaik. Lalu dengan sombongnya mengatakan Allah berlaku dzalim, Allah tidak adil, atau pun prasangaka buruk lainnya. Tanpa pernah berpikir itu adalah yang terbaik bagi kita.

Sebagai contoh. Jika misalnya kita kehilangan handphone. Rasanya Allah sangat jahat sehingga membiarkan pencuri mengambil handphone kesayangan kita. Kita pun sibuk dengan prasangka-prasangka negatif kepada Allah. Namun, pada kenyataanya kita diberikan yang terbaik yang padahal sebelumnya tidak pernah kita pikirkan. Karena kasihan, orang tua kita pun akhirnya membelikan kita hand phone yang lebih bagus dan lebih mahal dari hand phone kita yang hilang. Atau bentuk rezeki lain yang nilainya lebih baik.

Rasanya sangat disayangkan jika kita kerap belum ridha menerima ketentuan yang barangkali tidak kita harapkan kedatangannya. Mungkin, hati kita terlalu memenuhi bisikan syaithan yang menghembus untuk selalu berprasangka buruk pada Allah. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, siapa sih kita ini? Nabi bukan, orang suci bukan, malaikat pun bukan. Hanya sekecil debu dibandingkan ciptaan Allah yang lebih besar lainnya. Apakah pantas seorang kita menuduh Allah yang menciptakan kita, memberikan kita hidayah, melindungi kita dari entah berapa juta kali syaithan membisikan kemaksiatan pada kita, sebagai Dzat yang tidak adil dan dzalim kepada hamba-Nya? Na’udzubillah...


Jika kita mengeluh dengan masalah hidup yang kita hadapi saat ini, percayalah bahwa itu belum seberapa. Allah masih sangat menyayangi kita, sehingga Dia memberikan ujian yang kecil seperti itu. Terkadang, kitanya saja yang terlalu mendramatisir masalah ringan sehingga bisa menjadi terasa sangat berat.


Kita mengeluh apa yang kita dapatkan saat ini tidak sesuai dengan harapan kita. Padahal Rasulullah yang tercinta pun juga mangalami hal demikian. Bayangkan, umur 6 tahun, beliau menjadi yatim piatu. Apa ada anak dengan umur sekecil itu bersedia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya? Tapi dia tetap tegar. Apa Allah dzalim padanya? Tidak. Bahkan Allah menggantinya dengan kasih sayang kakek dan paman-pamannya yang lain. Meskipun berat, tapi dia bisa menjadi manusia unggul walau tak lama merasakan belaian kasih ayah bundanya.


Sedangkan kita? Orang tua kita masih ada. Ditambah dengan kasih sayang adik dan kakak kita. Juga dengan saudara-saudara yang Allah bolakan hatinya untuk menyayangi kita. Apa itu tidak cukup?


Atau harapan kita tidak tercapai. Padahal barangkali apa yang kita harapkan justru akan membuat kita menjadi jauh dari Allah, atau akan mencelakakan diri kita. Ada sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh seorang ulama yang bisa kita petik hikmahnya.


Suatu hari, ada dua orang penjual kembang tahu dari desa yang sama. Untuk menjual kembang tahunya, mereka harus naik angkutan umum yang jaraknya cukup jauh. Mereka harus melewati pematang sawah untuk sampai ke sana. Lalu, keduanya bersiap pergi. Namun, di tengah perjalanan, pikulan kembang tahu salah seorangnya patah sewaktu mereka melewati pematang sawah. Karena tidak seimbang pedagang itu jatuh ke sawah dan pakaiannya kotor karena lumpur. Dengan mendengus ia pun terpaksa kembali ke rumahnya. Sedangkan temannya tetap pergi ke kota.


Pedagang yang jatuh tadi merasa takdirnya sangat sial. Ia merenung, apa yang akan ia berikan untuk menafkahi keluarganya jika ia tidak pergi ke kota. Sedangkan untuk pulang ke rumah dan mengganti pakaian dan dagangannya tidak akan cukup untuk mengejar angkutan kota. Ia pun merasa sedih, dan tanpa sadar su’udzhon kepada Allah. Dan berkata Allah itu pilih kasih dan berlaku dzalim. Namun, tak seberapa lama saat ia sampai di rumah terdengar kabar bahwa angkutan umum yang berangkat dari desanya pagi itu mengalami kecelakaan. Temannya sesama pedagang itu pun dilarikan ke rumah sakit.


Subhanallah, sesuatu yang sebelumnya kita anggap sebagai hal yang buruk, atau pun hal yang membuat kita berprasangka negatif kepada Allah, ternyata sesungguhnya adalah yang terbaik yang diberikan Allah kepada kita. Allah yang mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Sebenarnya tidak ada alasan apa pun untuk mengecap Allah itu tidak adil. Sangat besar kasih sayang Allah kepada kita. Sangat luas ampunannya terhadap dosa yang kita lakukan. Maka berpikir positiflah menghadapi hidup ini. Allah bersama kita. Ia tidak akan mendzalimi kita. Jika saat ini anda mengalami hal yang sulit dan tidak anda harapkan, maka jangan berprasangka buruk dahulu. Yakin dan percayalah, ada bahagia yang akan menunggu kita di detik kemudian.



Pasca stress ujian nggak berhasil, hikz...


Selengkapnya...

Hari ini, telah diputuskan akan mem-post semua karya yang telah kubuat. tulisan-tulisan ini adalah cerminan kerangka pelajaran seorang penulis muda dari jambi. Dulu sekali, menulis jelas bukan salah satu pilihan untuk kugeluti. senang membaca "ya". tapi tidak untuk menulis. Rasanya seperti dipaksa untuk menuangkan pikiran dan itu sangat menekan.

Baiklah, akan kuceritakan sedikit, mengapa akhirnya muncul tulisan-tulisan ini dari tangan seorang yang tak suka menullis.


Suatu ketika, di hari Ahad (lupa tanggalnya), jam 14.00, bertempat di Masjid IAIN Sulthan Taha Jambi, aku bergabung dengan komunitas kecil penulis muda Jambi yang diketuai oleh Syarifah Lestari (yang hingga kini, tulisan2nya masih sangat aku kagumi). Forum Lingkar Pena wilayah Jambi, yang kala itu baru berusia 1 tahun. Kesan pertama: aku dicuekin.

Beberapa anggota sekaligus pengurus saat itu yang kuingat: Ketua, Syarifah Lestari. tampangnya bikin aku dan temanku gemetar di hari pertama bergabung. Cuek, tampang sangar, kalo marah bikin orang nangis. tapi, ternyata dia sangat romantis di balik kata-katanya yang bikin ngakak abiss..

Bendahara, Nabilla Zahra. Tulisanku kata kak Tari menyainginya(sombooonnggg). Orangnya manja dan jadi adik kak tari yang paling manis. Setelah beberapa tahun bergabung, baru kami sepakati beliau adalah bendahara terbaik selama ini. Tinggal bilang : “kak laper, beli sate donk” duit keluar.

Mei Sarah. Beliau saat itu menjabat sekretaris *bener gay a?*. Orangnya, sangat keibuan dan penuh kasih sayang. Tulisan-tulisannya sangat mengaggumkan dan bikin aku selalu minder.

Citra, kakakku yang satu ini adalah penengah terbaik diantara kami. Puisinya, aduhai banget.

Jiharka Flower, pujangga terbaik semassa itu. Puisi-puisnya selalu lolos dari kritikan kak tari atau kak mei sarah. Dikembalikan dengan applause yang meriah.

Siapa lagi ya? Oh iya, ikhwannya satu. Kabur Dika. Keras kepalanya sama dengan ketua. Kalau rapat, mereka yang selalu mencetus perang.

Mbak Inur. Ini “istri” ketua yang pertama. Orang yang mengenalkan dan mengajakku gabung dengan komunitas aneh ini.

Anggota baru saat itu: aku dan Hanifah Innayatun Nuha.


Dengan bangga aku bawa cerpen perdanaku pekan kemudian. Dan setelah dibedah, badanku demam dan pipiku serasa ditampar. Gila, pedes banget komentnya.

“EYD kacau. Penggalan huruf depan aja nggak tau. Format penulisan salah. Judulnya nggak banget deh,” koment ketua.

“ Lucu sih. Tapi masih anak-anak banget. Idenya terlalu gembung,” koment Mbak Inur.

“Amanatnya nggak dapat dek. Amanat nggak harus ada di akhir cerita lho,” kali ini Kak Wid.

“Kakak nggak ngerti ceritanya,” ini suara kak citra.

“untuk pemula bagus lah,” hibur si ikhwan.

Lembaran cerpen perdanaku dikembalikan. Penuh coretan di semua sisi. Masukan-masukan tertulis di sisi-sisi yang kosong. Dalam hati, “kayaknya salah masuk nih.”

Di hari itu aku terpukau dengan cerpen kelas atas “senior-senior”ku. Nyaris tanpa cela, atau aku yang ga bisa nyari celanya. Ditanganku, lembaran-lembaran itu tetap utuh tanpa coretan.

“Komen dek,” perintah yang punya karya.

“Bagus kak,” kataku. Hampir kepada semua aku jawab seperti itu. “Bagus kak,” (doh)


Sebelum pulang, ketua punya amanat padaku “Jadi penulis itu, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya karyamu nggak maju-maju. Gitu-gitu aja terus. Simpan cerpennya. Buat tulisan baru. Suatu saat jika adek sudah terbiasa menulis, buka lagi karya itu. Rasakan bedanya.”

Untuk semua yang baca. Bakat itu Cuma ngaruh 1 %. Sisanya kemauan dan latihan. Buatlah karya, dan biarkan orang lain membacanya. Kritik itu justru yang membuatmu lebih maju. Karya itu baru nyata, jika orang lain membacanya. Selamat membaca.
Selengkapnya...

Aurora
        Tidak ada yang mengerti tentang cinta, di sini. Bait-bait kata nan indah itu begitu dalam tertanam. Sangat dalam, hingga tetesan air mata yang jatuh pun takkan menjumpainya. Semua seakan sudah ternoda oleh virus cinta dunia. Tergambar dengan lembaran-lembaran harta yang berserakan. Di mana-mana sama saja. Di petak-petak sawah, di ladang-ladang kopi, di atas rumah panggung, hingga di dasar telaga biru. Akan kau lihat mata orang-orang yang sedang menghitung uang dan menciumi harta mereka. Ketulusan yang selama ini aku agung-agungkan ternyata hanyalah pucuk impian saja. Semua senyuman dan nasehat itu hanya gelak tipuan semata. Hingga tirani biadab itu kini memasung hati dan pikiranku. Memenjarakan tangan yang hendak mencapai angan-angan.
       “Apalagi yang kau pikirkan, Dinda?” tanya Une Lin, kakaku.
       “Banyak. Tentang ideologi idiot, adat sampah, teatrikal tempo dulu yang tak kenal kata maju,” jawabku sedikit marah.
       Une membelaiku dengan sayang. Seperti dulu, ketika aku membutuhkan seorang ibu yang mendekapkan rasa aman dalam gelapku. Dialah sang malaikat itu. Menggantikan wajah lembut yang tak pernah kulihat sekali. Membayangkan wajah mujahid yang syahid karena melahirkanku, sama saja dengan memunculkan wajah kakakku tersayang. Yah, barangkali wajah Mak memang mirip dengannya.
        ”Jangan berbicara demikian. Apa salahnya kan? Untuk kebahagiaanmu juga,” bujuknya lembut.
        Aku memilih diam sejenak. Lebih nyaman rasanya menyandarkan kepalaku di sisi jendela, dan aku memanjat menaikinya. Memandang jalan raya desaku yang dulu kucinta, dari atas rumah panggung tua yang konon warisan buyutku.
       ”Kau pun takkan berkata demikian, saat dulu masalah ini menimpamu kan?” tanyaku ketus. Masih memandangi jalan raya, bukan matanya.
       ”Tapi kau lihat aku bahagia sekarang kan? Dengan si kecil Anggie dan keluarga kecil kami. Nanti kau akan mengerti, Meila. Cinta itu datang setelah pernikahan,” jawabnya.
       ”Benar, tapi bukan dari pernikahan tak adil semacam itu. Kau bahagia dengan bekas merah tiap kali kau ke sini?” tanyaku yang kini marah.
       ”Keras kepalamu ini, yang lama-lama akan membuatmu menjadi perawan tua!”
       Une tampak tersinggung lalu pergi menuju ke belakang rumah. Dia tak mengerti apa-apa tentang cinta. Cinta bukan hanya secangkir kopi yang hanya lezat dinikmati sewaktu panas. Bukan pula ikrar pernikahan yang disebut ketika seseorang lahir, yang diucapkan ayah-ayah mereka. Cinta bukan duri yang tiap kali disebut, berarti kau sudah siap tersakiti.
       Lagi-lagi aku menangis dalam diam dan tanpa air mata. Memandangi bukit-bukit indah negeri Kerinci yang tampak sedikit angkuh dengan julangnya. Apakah setiap yang tinggi itu selalu angkuh? Semena-mena karena mereka orang berpunya. Tak meraba setitis pun hati seorang perawan yang juga berhak menjelaskan apa arti cinta. Hanya adat semata yang mereka junjung, ketika tersebutlah nama Anak Datung.
***



       “Anak perempuan seharusnya membuatkan kopi, saat abaknya pulang,” kata Abak mengagetkanku yang tengah melamun melipat baju.
       “Deuh, kapan Abak pulang? Aku tak sadar,” jawabku seketika bangkit dan menyalami tangannya. Tubuh lelahnya bersandar di kursi keras di samping televisi.
       “Sekitar dua menit penuh untuk melihat anak gadis Abak melamunkan seseorang,” godanya padaku, mau tak mau membuatku tersenyum.
       “Kopi Abak sudah ada di atas meja. Abak terlambat, kira-kira sepuluh menit. Semoga masih panas. Habis salah siapa?” tanyaku manja.
       “Ah,dua orang anak gadisku sangat mirip ibunya. Yang satu telah diboyong suaminya, yang satu tinggal menunggu waktu saja,” katanya tenang sambil meraih gelas kopi dan mulai menyerupnya.
       Perutku agak menegang mendengar hal ini. Dengan sedikit marah mulai melipat baju kembali. Drama apa lagi yang akan terjadi? Siti Nurbaya lagi? Yang juga dialami Mak, Une Lin, dan gadis-gadis lainnya?
       “Anak Datungmu itu, si Ari sudah lulus PNS. Kabar ini sangat membahagiakan Abak,” lanjutnya.
       “Kenapa pula abak yang jadi bahagia?” tanyaku agak tinggi.
       “Calon mantuku sudah bekerja. Apa lagi yang ia tunggu untuk naik ke rumah kita dan meminangmu?” tanyanya langsung.
       Tanpa sadar baju ditanganku kuremas, bukannya kulipat. Anak datung lagi. Sampai kapan drama ini akan berakhir. Fenomena adat yang seharusnya sudah terkubur ketika roman Siti Nurbaya terkuak. Di zaman ini, masih ada juga adat basi seperti itu.
       Aku tak menyalahkan siapapun yang menikah dengan anak datungnya. Kalau ternyata itulah jodoh mereka, tak mengapa. Agama pun tak melarangnya. Banyak juga yang hidup bahagia, seperti Mak dan Abak. Tapi, jika semua itu perihal menjodohkan secara paksa, sungguh aku tak terima. Jika ini semua adalah sekadar permainan harta, aku tak rela. Aku punya hak untuk bicara aku suka atau tidak, aku mau atau malu. Jika suara ini tak didengar, siapa yang tak marah dengan adat ini?
       ”Kalau yang abak maksud adalah mantu untuk anak gadis di depan abak ini, maka ia tidak sudi bersanding dengan lelaki keparat semacam Ari!” jawabku marah dan beranjak pergi ke kamar.
       ”Meila!”
       ***
       ”Meila, bersiaplah. Temani aku ke rumah Itek Nuri. Ada kenduri di sana. Anaknya yang lanang akan menikah malam nanti,” kata Une Lin yang sudah berdiri dengan baju kebaya rapi di depan pintu kamarku. Si kecil Anggie tampak tertidur lelap di gendongannya.
       ”Anaknya si Deni itu? Sama siapa, Ne?” tanyaku kaget. Dia teman SMA-ku.
       ”Sama anak datungnya, Shinta, yang rumahnya di ujung simpang tiga itu,” jelasnya.
       Sekali lagi perutku menegang. Sampai kapan pernikahan antar anak datung ini akan berakhir di desa ini. Pernikahan antar sepupu yang banyak sekali bahayanya.
       ”Tunggulah sebentar. Biar aku bersiap dulu. Une tunggulah di laman.”
       Une Lin pun pergi. Aku bergegas menyelesaikan membersihkan mukaku dan bersiap mengganti baju.        Sebenarnya aku malas pergi ke acara seperti itu. Tak nyaman rasanya. Tapi, inilah kesempatanku bertemu dengan teman-teman SMA-ku di sana. Sebulan sudah aku kembali dari kota, tak ada media untuk jumpa dengan mereka.
       Sepuluh menit kemudian, aku sudah berjalan menyisir petak-petak sawah yang menguning. Sedikit berhati-hati agar baju kami tak kotor. Berjalan di tengah-tengah sawah dengan gunung-gunung naik turun rapi yang memagari. Atapnya biru agak kelabu dengan sinar matahari yang tak terik menyengat kulit. Berjalan dengan tiupan angin gunung dan kicau burung merdu yang mencoba mencuri padi. Inilah salah satu alasan kenapa aku kembali ke sini. Betapa aku cintai keindahan alam desaku ini. Desa yang menggiringku untuk selalu bertasbih akan tiap molekul ciptaan Sang Maha Segala.
       Setelah berjalan agak lama dari jalan pintas ini, sampai pula kami di jalan raya yang terlihat agak sibuk. Diseberangnya terlihat sebuah rumah kayu dengan tenda-tenda dan hiasan lainnya. Beberapa anak kecil sibuk bermain kejar dengan senapan mainan di tangannya. Asap rokok beradu di atas langit-langit rumah dengan asap gulai dari dapur.
       ”Une!” panggil seseorang, dan kami pun menoleh.
       ”Engkau rupanya, Ri. Apa kabar? Aku senang mendengar kabar bahwa kau lulus PNS,” kata Une Lin menjabat tangannya.
“Iya, Ne. Terima kasih,” sahutnya seraya agak membungkuk.
Senyumnya mampir di mataku. Cih, sungguh aku sangat membenci laki-laki itu. Yang telah merebut semua angan dan cita-citaku. Aku pun langsung naik ke atas tangga. Tak sudi membiarkan mata jahatnya merontokkan tubuhku dari kepala hingga ke kaki.
Di dalam rumah sudah ramai. Beberapa gadis desa yang tak kukenal tertawa mengikik. Di sudut ruang, terlihat sahabatku Risma yang tengah duduk bersama beberapa orang ibu. Aku pun melangkah ke arahnya.
“Katanya kau tak pulang?” kataku menepuk pundaknya.
“Hei, kau rupanya. Sedari tadi aku mencari-carimu, kukira kau tak ke sini. Kemarin aku baru sampai,” katanya memelukku.
“Iya, sebenarnya aku malas mau ke sini, karena...”
“Meila? Ya Allah. Dari tadi datung mencarimu kemana-mana. Apa kabar nak? Kenapa kau tak singgah ke rumah datung? Sudah lama datung menunggu, kau tahu. Apa kau sudah bertemu Ari? Dia banyak cerita tentangmu.”
Bodohnya aku. Kenapa aku tak terpikir, bahwa jika aku ikut ke kenduri ini, maka aku akan bertemu dengan adik Abak yang satu ini. Tubuhnya gendut, dengan baju yang agak sempit dipaksakan. Tangannya penuh dengan gemerincing gelang-gelang emas. Wajahnya bundar, dengan hidung pesek dan bermata bulat. Sangat mirip kodok.
“Tidak sempat, datung.” Aku hanya tersenyum sedikit.
”Ya sudah. Tidak apa-apa. Eh, tolong perhatian sebentar ibu-ibu. Ini Meila yang aku ceritakan. Calon isteri Ari. Cantik bukan?” katanya pada beberapa ibu-ibu dan semuanya terkikik geli.
Badanku agak gemetar menahan marah. Bicara apa dia?
”Tidak salah? Kenapa kau tak bilang padaku kau akan menikah dengan si jahat Ari?” bisik Risma di belakangku.
***
Seekor lagi kupu-kupu terbang dari hatiku. Membawa muatan cinta yang selama ini aku catat dalam hidupku. Arti-artinya, keindahannya, angan-angannya. Semua terbang. Tapi sebelum kupu-kupu itu pergi jauh, maka sebaiknya aku lah yang pergi. Menuju ke desa antah berantah, di mana seorang pangeran baik hati akan dengan penuh kasih sayang, mengangkatku ke atas kuda putihnya dan barsanding denganku. Tak perlulah seorang pangeran, lelaki yang beriman saja sudah cukup. Yang penting tidak dengan dia.
“Mau kemana kamu?” pintu kamarku terbuka.
Abak dengan matanya yang memerah dan kulitnya yang lelah berdiri di ambang pintu.
”Pergi, mencari cinta,” kataku.
Aku terus memasukkan baju-bajuku ke koper kecil yang berbaring lesu di tempat tidur.
”Kau marah karena kau kujodohkan dengan anak datungmu?” tanyanya padaku. Aku terus saja memasukan baju. Kali ini dengan agak kasar, upaya sederhana untuk menangkis air mata yang hendak jatuh.
”Abak tidak mengerti. Apa yang salah dengan dia? Kalau kau tidak suka dengan adat kita, tidak apa-apa. Anggap saja dia bukan sepupumu,” kata Abak yang masuk dan duduk di atas tempat tidurku.
”Bukan adatnya, Bak. Aku bersedia menikah dengan anak datungku yang mana saja, asalkan dia memang pantas jadi imamku nanti. Tapi kalau adat itu menjadi kata wajib, maaf. Aku tak sudi,” jawabku.
”Tapi apa kurangnya dia? Abak rasa, dia pantas-pantas saja. Apa yang salah?” tanya Abak kembali.
”Aku sudah bilang bukan? Aku tidak sudi bersanding dengan dengan dia,” jawabku sebiasa mungkin, tapi terdengar janggal akhirnya.
”Dia lelaki yang baik, Mei. Dia tampan, sarjana, sama sepertimu. Dia dari keluarga baik-baik. Dari keluarga kita yang terhormat. Dia kaya raya, dan sekarang punya pekerjaan tetap. Masa depannya bagus, apa lagi maumu?” tanya abak sekarang mulai tinggi. Dan akhirnya, kesabaranku hilang.
”Aku kenal dia karena aku teman SMA-nya dan teman kuliahnya. Abak, tidak kenal dia. Dua kali dia menghamili anak gadis orang, dan yang satu bunuh diri. Kabarnya memang tak tersiar karena uangnya mungkin bisa membeli media. Jadinya pun sebagai sarjana, karena ayahnya mengeluarkan banyak uang. Tiga kali tertangkap polisi karena mencoba mengedar ganja. Mantu seperti itu yang abak inginkan?” tanyaku panas.
Aku sudah muak. Kaya bukan berarti bisa membeli segalanya. Mungkin ia bisa membeli nilai dan pekerjaan, tapi aku tak sudi menjadi barang dagangan yang bisa ia beli seenaknya.
”Kau sudah dengar kata datungmu kan? Kita sudah pernah membahas itu. Semua itu tidak benar. Dia tidak terbukti memakai narkoba. Jadi bagaimana mungkin ia mengedarnya?” tanya abak.
”Bagaimana dengan perempuan yang sudah ia hancurkan masa depannya? Sudi tangan kotornya memegang tubuh putrimu ini, Bak?” tangisku sekarang. Akan kukeluarkan segalanya sekarang. Biar semua melihat.
”Mereka memang mantan pacarnya, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa Ari sudah menghamili mereka. Kau tak mengerti, Nak. Ketika kau sudah menjadi istrinya, maka ia akan selamanya mencintaimu,” kata Abak tegas.
”Aku tak percaya Abak tega menjualku kepada bajingan seperti dia.”
Dengan cepat aku menarik koper dan hendak pergi.
”Jika kau pergi, maka kau akan melihat tubuh abakmu ini sudah mati. Dan sedikitpun tak kan pernah kuridhoi apapun yang akan kau lakukan. Dan bersumpah akan melaknat seperti apapun keluargamu nanti!” suara Abak bergetar.
***
Suara gembira orang lain terasa terdengar sayup-sayup jauh. Semua pemandangan kabur karena air mata. Selamat tinggal cinta, seperti apapun keindahanmu. Wajah Abak, Une Lin dan Risma terlihat buram, ketika sepasang tangan memegang lenganku.
”Kau milikku, Mei,” kata Ari. Tubuhku bergetar hebat.

Jambi, November 2009
Ket :
Une = kakak perempuan
Datung = Adik/kakak perempuan ayah
Itek = Tante perempuan
Lanang = Laki-laki
Laman = halaman rumah

Selengkapnya...

Surat An-Naas itu berakhir khidmat. Serak suara isak agaknya terdengar. Abah diam. Aku juga diam dari balik dinding kamarku yang menjadi tameng persembunyian mendengarkan mereka. Hanya ada suara isaknya. Serak haru bercampur bangga.

“Alhamdulillah, Kyai. Terima kasih atas bimbingannya. Terima kasih sekali. Aku, aku ndak tahu bisa membalas apa,” suaranya tak berapa lama.

“Dengan ini gelarmu bertambah satu, Nak Aris. Menyandang gelar hafidz sangatlah berat. Berat sekali. Jika kamu ndak ngamalin, dosanya sangat besar. Artinya kamu tahu, tapi ndak melaksanakan. Gusti Allah sangat murka dengan sifat seperti itu. Saya ucapkan selamat. Semoga Allah membimbingmu menjadi manusia sholeh,” ujar abah manjawabnya.

Alhamdulillah. Aku juga bersyukur mas Aris bisa menyelesaikan hafalan 30 juznya. Aku ingin melihat wajahnya yang bahagia walau sebentar saja. Tapi, rasanya terlalu malu. Jantungku melompat-lompat nakal menggodaku. Perasaanku kacau semenjak tadi. Bahagia mendengar suaranya melantunkan ayat Al-Qur’an, malu, takut, cemas, rindu, ah, terlalu banyak. Aku juga tak mengerti mengapa. Jika kubertanya, hanya desiran darah yang menjawab. Aku tak ingin menebaknya terlalu jauh. Tapi, aku tak bisa memungkiri aku tahu jawabnnya. Mungkinkah ini...

“Nurul, coba bantu ibu sebentar!”

Ketukan pintu kamarku dan dilanjutkan suara ibu membuatku tersentak. Ah, ibu mengganggu saja. Keluar? Lagi-lagi suara nakal degup jantung menggodaku. Membuatku tersipu malu. Buru-buru kuambil jilbabku dan melangkah keluar. Tanpa melirik ke arah ruang tamu.

“Kamu tuh ada tamu kok di dalam terus sih? Nih, bawain makananya keluar. Sama minumnya sekalian. Hati-hati tumpah,” sahut ibu menyodorkan nampan berisi kue dan air teh. Aku menyambutnya hampir gemetaran. Untung otakku bisa mengatasi.

Dengan perlahan kubawa nampan itu ke ruang tamu. Hati-hati sekali. Menerobos gelak tawa candaan abah, pakde Kardi dan Mas Aris.

“Nih dia, cah ayu baru keluar. Lama tenan tho, Nduk? Pakde sudah haus,” komentar pakde Kardi saat kutiba. Aku hanya tersenyum.

Duh mata ini tak sabar melihatnya. Refleks aku menatapnya sekilas. Ya Allah, yang terlihat dua bola matanya yang juga menatapku. Tanpa basa-basi, kuberlalu meninggalkan ruang tamu.

***

“Jenenge mas Aris. Tapi ndak tahu Aris apa. Dia seangkatan sama masku. Tiga tahun di atas kita,” jawab Siti saat kami mau shalat ashar ke masjid.

Jadi nama lelaki itu Aris. Aku tak pernah tahu namanya sebelum ini. Lelaki sederhana yang sering menjenguk abah ke rumah. Dia lelaki beruntung yang bisa belajar ngaji sekaligus menghapal Al-Qur’an langsung dari abah. Maklum, abah sudah cukup tua. Jadi, kegiatan da’wahnya tidak seperti dahulu.

Sejak ke rumah, lelaki itu mencuri hatiku. Aku memang tak pernah berbicara langsung dengannya. Juga berkenalan secara resmi. Aku cukup tahu malu sebagai putri ulama, untuk tidak seenaknya mengajak lelaki asing berkenalan. Dia juga cukup pintar mengolah sikap. Namun, keteduhan wajahnya membuatku terpesona. Apalagi jika melihat sifat santunnya.

Abah sering memujinya di depan ibu. Aku pun bengal sering mencuri dengar. Sifat ingin tahunya, membuatnya menjadi seorang pembelajar yang tekun. Setidaknya itu yang membuat abah berdecak kagum. Yah, walau di pesantren, remaja tetaplah remaja. Haus kenakalan membuat mereka terkadang melepaskan jubah iman mereka. Seperti yang ada dalam buku-buku pelajaran smp dulu. Kenakalan remaja. Walau di balut apologi islami, dan menyandang nama santri, tetaplah ada yang nekat melintas di jalan berduaan. Dengan tangan menggenggam pasangan masing-masing, meski konsep non-muhrim sudah hafal dalam kepala. Tetap pula ada rokok yang tersulut di belakang pesantren, meski ceramah mudharat rokok masih terngiang di kepala.

Tetapi dia tidak begitu. Aku yakin dengan yang abah bilang. Dia seorang tua yang kenyang asam garam. Tentulah gampang baginya melihat karakter orang dari tutur dan tingkah lakunya. Pandangannya yang penuh pengalaman jarang meleset.

Mas Aris, kata abah, bukan seperti remaja edan lainnya. Perawakannya rapi, mencontoh rapinya Kanjeng Nabi. Mukanya selalu bercahaya terbilas air wudhu. Konon katanya, mas Aris istiqomah menjaga wudhunya. Tutur katanya lembut. Pikirannya cerdas. Hampir belum ada cela yang kutemui hingga hari ini. Entah jika aku sudah kenal dekat.

Ada secercah warna pink yang masuk ke hati ini. Warna yang sebelumnya belum pernah terlukis di kanvas hatiku. Ah, siapa yang tak memimpikan dirinya menjadi suami? Yah, suami. Aku takkan puas jika hanya menyandang status pacar. Selain tak ada dalam islam, dia juga mana tentu mau berpacaran.

Aku tersenyum memikirkannya di balik meja belajarku. Aku belum mengerti, ini perasaan apa. Tapi buku harianku yang kosong melompong di atas meja jadi tak sabar ingin kuisi. Tanganku bergerak menuliskan beberapa kata dengan ejaan l-e-l-a-k-i i-m-p-i-a-n-k-u. Sifat sepertinya tentu.

***

”Mas Aris mau pergi?” tanyaku saat bertemu di kantin. Kira-kira empat bulan setelah dia menyandang status hafidz.

Iya tak memandangku. Namun dengan jelas kulihat anggukan wajahnya.

”Ke luar negeri?” tanyaku tak sabar. Anggukannya membuatku lemas.

Ada bening yang ingin mengalir. Aku tak percaya saat Siti bercerita. Ternyata jawaban langsung dari orangnya juga tak sanggup kudengar.

”Ada LSM yang memberikan beasiswa keluar negeri,” jawabnya singkat. Aku tak berani menatap wajahnya. Bumi berguncang.

”Maaf, mas tidak bisa secepatnya memenuhi janji mas tempo hari untuk meminangmu. Tapi, mas janji akan kembali secepatnya dan kita akan menikah,” jawabnya melarikan kakiku menjauh. Bumi sekarang rubuh.

Bunga hatiku masih menari beberapa minggu lalu. Mas Aris tiba-tiba menghadap abah dan berkata ingin menikah. Dan calon yang di pilihnya aku. Bisikku didengar Gusti Allah. Membuatku bingung berteriak girang, menangis syahdu, atau diam membisu. Bulan depan ia dan keluarganya akan datang meminangku secara resmi. Tapi, tarian bunga itu kini terhenti, layu, serta hancur. Dalam tangisku, tetap kudoakan yang terbaik baginya.

***

Riuh suara di bawah sana membahana. Seluruh santri tumpah. Menyambut ulama baru yang baru saja pulang mencari ilmu. Aku tak berani bertemu dengannya. Empat tahun sudah dia pergi. Ke tanah orang mengais ilmu. Apa dia masih ingat aku? Tak ada surat yang mengantar komunikasi kami. Alasannya, tak ingin menjerat bahkan mengotori hati. Apa gadis-gadis bule di sana ada yang tertambat di hatinya?Aku hanya melihatnya nanar dari teras lantai dua gedung Pondok Pesantren Al-Hidayah.

Semua di bawah berebut memeluknya. Mencium tangannya. Menggotong dirinya. Berharap akan menular keberkahan Allah yang menempel di tubuhnya. Ia hanya tersenyum bangga. Tapi, ada yang lain dari penampilannya. Baju kokonya berubah menjadi jas hitam dengan kaos putih di dalamnya. Sarungnya memang tak pantas dengan pakaian modern itu. Celana dasar membuatnya tampak tampan. Hanya kopiahnya saja yang tidak hilang. Ah, mungkin kebiasaan barat merubah adaptasinya.

Aku pun beranjak pulang. Tak enak terlalu lama menunggu sendirian di atas sini. Baru pertama kali ini aku malas bertemunya. Takut ia lupa pada gadis 21 tahun ini. Biarlah para santri lain menyambutnya.

***

Baru hendak terlelap ketika malam menyapa, suara lelaki terdengar dari ruang tamu. Suara tua abah tampak berbincang dengan orang itu. Mungkin pakde, pikirku. Mataku kembali menutup. Namun, digelapnya pandangku, baru kusadari itu bukan suara pakde. Itu suara Mas Aris.

“Nurul, ada nak Aris baru pulang dari Amerika. Ayo temui dulu,” suara ibu terdengar mengaminkan dugaanku.

Dengan ragu, kuambil juga jilbabku. Rasa degup jantung itu telah hilang. Namun rindu masih berbekas. Aku menuju ruang tamu. Abah tampak asyik ngobrol dengan mas Aris. Dengan malu kuambil posisi duduk di sebelah ibu.

“Nurul makin cantik ya, Pak,” ujar mas Aris tiba-tiba. Aku terhenyak. Abah dan ibu sepertinya juga. Mas Aris?

“Oh, maaf. Bukan bermaksud lancang. Tapi, kalau di Amerika itu biasa aja, Pak. Yah, sekedar basa-basi. Maaf, jadi kebawa-bawa, Pak,” kilahnya. Abah mengagguk.

Bukan, ini hanya perasaanku saja. Mas Aris nggak mungkin berubah. Ini Cuma pengaruh dari Amerika. Mas Aris tetaplah yang dulu. Baik, pendiam, dan bersahaja. Aku mencoba menenangkan hatiku yang bertanya-tanya.

”Ngomong-ngomong nak Aris, coba ceritakan sekolahmu di luar negeri. Pasti banyak ilmu yang kamu dapatkan dibandingkan di sini?” tanya abah mengalirkan suasana.

”Alhamdulillah, di sana banyak ilmu yang bisa saya dapatkan. Ini berkat pak Kyai juga. LSM yang mengurusi keberangkatan saya sangat baik. Saya dibiayai semuanya. Mulai dari makan, kuliah, penginapan bahkan uang saku. Makanya, saya ingin mencari santri yang cerdas di sini, untuk dibeasiswakan juga ke Amerika,” jawab mas Aris.

”Subhanallah. Semoga niat baiknya di ridhai Allah. LSM apa nak? Insya Allah nanti saya lihat dulu di pesantren, siapa saja yang kira-kira berpotensi dikirim ke sana,” tanggap abah.

“Simon Wiesenthal Center namanya, Pak. Insya Allah di sana kita bisa mendapat ilmu lain yang akan semakin membuka wawasan kita tentang Islam,” kata mas Aris. Raut kebanggaan terpancar dari wajahnya. Ingatanku tak lepas. Mirip seperti saat dia mendapat gelar hafidz. Namun, ada yang lain dari senyum bahagianya.

***

“Nurul!” teriak seseorang dari belakangku. Membuatku menoleh. Ternyata Mas Aris.

”Tadi mas ke rumah. Tapi kata ibu, kamu menyusul abahmu ke pesantren,” lanjutnya ketika berhasil mencapaiku. ”Kamu mengajar di sana ya?” tanya mas Aris selanjutnya. Kaki kami melangkah melewati beberapa rumah penduduk. Jalan pintas penuju pesantren.

”Alhamdulillah. Yah, membantu abah sedikit-sedikit,” jawabku. Jika dulu mungkin aku akan senang bisa berjalan berdua dengan mas Aris, tapi sekarang berbeda. Risih sekali. Apa mas Aris lupa syaitan ada di mana-mana? Kupercepat langkah mendahuluinya.

”Tunggu, kok cepet banget? Mas mau bicara sebentar dengan kamu,” tangannya menahan tanganku, menggenggam lenganku. Aku menariknya paksa. Lancang! Tapi kakiku diam.

”Kita bicara di sana aja!” tangannya menunjuk ke arah persimpangan jalan. Di sana ada kursi kayu untuk duduk. Aku hanya mengekor lelaki yang dulu pernah menyentuh hatiku ini.

”Aku akan tetap menyuntingmu. Kalau tak ada halangan, bulan depan,” katanya saat kami telah duduk di atas kayu itu. Aku tak bisa bicara.

”Nurul,” tangannya menggenggam tanganku. Aku menariknya kasar.

”Aku belum menjadi muhrimmu, Mas,” jawabku lantang.

”Tapi akan kan? Sebentar lagi kita menikah,” jawabnya.

”Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok. Lagi pula, Mas lupa hukumnya bersentuhan tangan dengan bukam muhrim kita?” tanyaku emosi. Dia hanya tersenyum.

”Nurul, ayolah. Jangan berpikiran kolot begitu. Dari dahulu agama Allah adalah agama yang mengikuti perkembangan zaman. Dari zama nabi Adam dahulu. Zaman telah berubah. Bersentuhan tak lagi menggunakan nafsu,” jelasnya. Aku tercengang.

”Ajaran apa yang telah mas pelajari di sana? Hukum Allah itu berlaku kekal hingga akhir zaman. Nggak ada yang bisa merubahnya segampang itu,” sahutku. Dia bukan lagi lelaki sholeh pikirku tiba-tiba. Dia gila.

”Kalau kamu berpikir begitu, kenapa Allah tidak mengizinkan kita menikahi saudara kandung kita seperti zaman nabi Adam? Atau membolehkan poligami sedangkan di zaman nabi Isa tidak di bolehkan? Karena Islam mengikuti zaman. Sekarang bukannya zaman seperti Rasulullah dulu. Lihat anak sekolah di sana? Orang tua mereka tak keberatan jika mereka berjalanan beriringan. Tidak seperti zaman nabi dulu yang tidak mengizinkan. Karena saat ini itu sudah biasa,” jawabnya panjang lebar.

Aku tak bisa berkomentar. Bingung ingin menjawab apa.

”Maaf jika omonganku terlalu emosi. Mungkin, lebih baik jika aku sekarang pergi. Tapi, aku ingin mengatakan satu hal. Berpikirlah liberal, Nurul. Berpikirlah universal. Dogma agama terkadang membuat kita tidak berkembang,” ujarnya menutup. Sosoknya beranjak dan berlalu dari sampingku.
Aku tak kuat menahan bendungan air mata ini. Sosok yang kucintai menghilang. Entah monster apa yang mengubah segalanya, merebut sifat sahajanya, menghancurkan impianku. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Tak akan ada wajah teduhnya, bias wudhunya, juga jaga pandangannya. Kedua kalinya bumi berguncang. Dan dengan keji melindas isi kepalaku. Semua pun hilang.
Selengkapnya...

Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***




Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***

Harapan Semesta, di sinilah aku bekerja sejak lima bulan yang lalu. Toko serba ada milik Haji Cohang. Menjual segala macam perlengkapan sehari-hari. Begitulah kira-kira slogan yang tertera di balehonya. Toko ini dipenuhi banyak sekali barang yang tak sepadan dengan luas gedungnya. Aku berkerja sebagai apa saja di sini. Kuli, kurir, kasir, apa pun yang penting halal. Satu-satunya toko yang mau menerima tamatan MTS di tengah-tengah kerasnya hidup di kota besar.

Bosku sangat cerewet. Jika dia berhenti sejenak saja dari berbicara, maka hujan akan turun sore harinya. Pegawai lain Darmo, kira-kira lima tahun lebih tua dari aku. Mukanya sangat keras dan selalu marah-marah. Aku selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaanya, mengingat kekuatan ototnya luar biasa. Lima kantung beras sekali angkut. Dan yang paling membuatku jengkel tiap harinya adalah Susi. Cantik tidak, menarik apalagi. Dengan pakaian seadanya dia bertekad untuk mendekati setiap langganan pria yang datang. Yang paling menyebalkan termasuk menggoda aku.

Tapi, dari segala hiruk pikuk Harapan Semesta ini, ada satu yang membuatku sangat betah. Letaknya persis di seberang Pondok Pesantren Ar Rayyan. Dengan bangunan yang sangat megah. Berwarna putih bak mutiara, setiap terdengar suara apa saja dari gedung indah itu, membuatku selalu merinding. Entah itu azannya, tilawah bersama yang sering terdengar hingga ketelingaku, ataupun pengajian mingguan yang selalu mengundang rakyat sekitar.

Kalau saja Bapak masih hidup, barangkali ia sanggup memasukan aku ke pesantren ini. Barangkali, aku lah yang keluar dengan gagah tiap hari sabtu untuk berjalan-jalan dengan memakai kopiah. Barangkali aku yang selalu tersenyum di goda oleh Susi, atau berpandang heran mendengar ocehan Haji Cohang saat berbelanja. Atau dilirik oleh ibu-ibu sekitar untuk dijodohkan dengan putri-putri mereka.

“Mas Rizal kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seseorang di belakangku.

“Eh, ndak apa-apa. Cuma ingat ibu aja di kampung,” jawabku asal.

“Oh, kirain lagi ngelamunin Susi. Susi kan jadi malu,” katanya tersenyum genit. Aku hanya nyengir sedikit. Jaga pandanganmu, Zal.Untuk bidadarimu nanti.

“Mas Rizal, dipanggil Bos tuh. Bungkusin gula katanya. Nanti Susi bantuin ya,” sambil melirik nakal.

Aku pun langsung ngeloyor pergi. Daripada mual. Yah, walaupun aku cuma kuli toko, aku masih ingat satu pesan Mak. Carilah wanita sholehah untuk kau pinang menjadi pengantinmu. Syaratnya cuma satu namun sulit di dapat zaman sekarang. Wanita sholehah, yang desahan suaranya membuat bidadari manapun merasa iri. Yang memandang wajahnya serasa memandang surga yang menyejukkan. Aku berharap, Gusti Allah bersedia mengantarkan salah satu bidadarinya yang ada di gedung putih itu ke pangkuanku. Yang mengaplikasikan ilmu ikhlasnya untuk menerima seperti apa pun jodoh mereka. Yang selalu berbakti dan tak pernah menghitung materi. Semoga saja.

***


”Jadi semuanya berapa, Mas?” katanya.

Seekor makhluk bergerak hidup dalam dadaku. Menggaung kesenangan, menendang-nendang jantungku, membanjiri kerongkongan dengan air liur yang mau tak mau kutelan. Perutku mengejang dan sedikit ada perasaan jungkir balik. Perasaan ini?

”Eh, tiga puluh lima ribu rupiah,” kataku sedikit gagap.

”Ini uangnya. Terima kasih,” katanya sambil berlalu.

Beginilah perasaanku setiap hari sabtu. Jika, aku bertemu dengan wanita yang dalam mataku adalah titisan bidadari. Wanita yang selalu berbelanja pekanan di Harapan Semesta. Balutan jilbab yang menghias gamis putih, yang beberapa malam lalu entah mengapa hadir dalam mimpiku. Sungguh, aku tak tahu ini perasaan apa ini. Apakah ini yang dulu kusebut nafsu yang berwarna merah jambu? Atau inikah signal yang manandakan jodohku akan tiba?

Aisyah Nurajannah. Begitulah nama lengkapnya, kata Susi. Dia teman satu smp dengan Susi, yang lebih beruntung bisa di masukkan ke pesantren ini. Akunya, mereka adalah sahabat dekat. Berarti, dia kurang lebih berusia empat tahun di bawahku. Pertama bertemu, tak lama sejak aku mulai bekerja di Harapan Semesta. Luar biasa, kesholehannya. Tutur katanya, tingkah lakunya, serta kedewasaan berpikirnya. Aku memang tak banyak bicara dengannya. Memandangnya pun aku malu. Tapi, entah mengapa ia terus menggedor-gedor sukmaku. Aku tak tahan, ini bisa merusak keimananku yang selama ini jatuh bangun aku jaga.

Serentak aku berdiri. Susi, cariku. Hari ini juga, aku tak tahan lagi.

“Eh, Sus. Aku bisa bicara sebentar?” tanyaku setiba di belakang. Dia tengah sibuk menyunting barang-barang.

“Ah, Mas Rizal. Ada apa? Wah, mas Rizal nyariin Susi ya? Ada apa ini? Wah, jangan-jangan Mas Rizal mau ngajak Susi jalan-jalan ya? Susi jadi malu. Boleh-boleh aja, Mas. Tapi jangan sampai ketahuan Bos. Nanti kita diomelin. Gimana kalo besok sore aja? Kalau nanti, Susi mau jalan sama Aisyah. Gimana? Mas mau ngajak Susi ke mana?” cerocosnya.

”Eh, bukan begitu. Eh, saya cuma mau...”

”Cuma mau apa? Kok mukanya jadi merah gitu?”

”Maksudnya, aku cuma mau nitip surat ini untuk Aisyah,” kataku.

Susi tiba-tiba langsung berubah cemberut.

”Oh, gitu. Jadi Mas Rizal suka sama temen Susi sendiri? Jadi selama ini Mas Rizal main cewek lain selain Susi? Gitu?” jawabnya. Main cewek lain?

”Bukan begitu, Susi yang baik. Mas cuma mau nitip ini, untuk Aisyah. Ndak ada apa-apa lagi kok, beneran,” bujukku.

“Oke, Susi kasihin nanti dengan Aisyah. Tapi Susi ingetin ya, Mas. Kita itu cuma kerja kuli bantu di sini. Ndak usah ngimpi deh mau dengan anak pondok. Jodoh mereka itu ganteng-ganteng dan sholeh-sholeh, kaya pula. Jadi, Mas siap-siap aja patah hati,” jawabannya.

Terserahlah. Aku tetap yakin Allah akan menjawab doaku. Doa tak henti di malam dan siangku. Untuk mempersunting bidadari.

***

Entah rasanya berapa dekade, Kawan, aku melalui hari selepas hari itu. Surat itu memang sudah di bacanya hari itu juga. Aku melihatnya sendiri, di gerbang pesantren setelah Susi memberikannya. Isinya singkat, intinya aku ingin melamarnya. Namun, dua minggu aku menanti, tapi tak ada berita menjawabnya. Ia sudah tidak datang lagi berbelanja di sini. Susi pun memberikan keterangan yang tak pasti. Apa karena malu atau marah karena kelancanganku?

Aku tak tahu, bagaimana caranya seorang nan sederhana ini mempersunting bidadari semacam dia. Apa caraku salah? Tapi, aku terus akan meyakini kata Tuhanku, tentang wanita yang baik nan sholehah, untuk lelaki yang baik pula. Lelaki, yang menjaga imannya, seperti puluhan tahun jatuh bangun aku berusaha. Aku bimbang. Dalam shalatku, hatiku mantap untuk meminangnya.

Tapi, di relung hati terdalam, aku berkaca dalam cermin kehidupan. Siapa aku ini? Budak toko sederhana yang berpenghasilan cukup rendah. Aku memang bukan Hafidz, tapi modalku hanya juz 30, yang kudapat dari mengaji suatu kecil. Apa itu cukup untuk mengimami bidadari? Aku juga tak setampan Yusuf, tak pula sekaya Sulaiman. Tapi aku berusaha untuk menjaga imanku. Modalku yang paling berharga. Karena aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberiku seorang bidadari yang tak pernah memikirkan materi duniawi.

Maka, di sinilah aku berdiri saat ini, Kawan. Di pintu gerbang Pondok Pesantren Ar – Rayyan. Niatku hanya satu, ingin menyempurnakan setengah dien yang mulia ini. Menghadap ketua Ponpes yang sangat kukagumi itu. Dengan pakaian koko terbaikku, walau tanpa teman atau pendamping. Menatap megahnya gedung putih bak mutiara ini dengan menelan ludah. Berbekal niat dan nekad. Bismillahirrahmanirrahiim.

Aku melangkah masuk gedung ini. Menuju gedung utama yang beberapa orang sibuk berlalu lalang. Bukan santri, tapi sepertinya para pengurus ponpes ini. Dengan segan aku bertanya kepada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan pintu utama.

“Assalamu’alaikum,” panggilku kikuk. Lelaki yang sedang sibuk membaca sebuah koran menatapku ketika kusapa.

“Wa’alikumssalam. Ada apa ya, Mas?” tanyanya padaku.

“Eh, saya mau bertemu dengan Kyai Luthfi. Di mana saya bisa bertemu dengan beliau?” tanyaku sopan.

“Oh, iya. Ruangannya di dalam. Mari saya antar,” jawabnya.

Aku pun mengikutinya masuk ke dalam gedung itu. Di belakangnya tampak halaman yang sangat luas dan beberapa asrama dan bangunan lain. Duhai, gusti, mudahkanlah semuanya, doaku. Dan setelah sampai di ruangannya, senyum ramah dari seorang Kyai ini langsung menyambut dan memelukku hangat. Seakan-akan dia telah pernah bertemu denganku bertahun-tahun lamanya.

“Saya Rizal, Ustadz. Rizal Saifullah. Saya ingin bicara sesuatu dengan Ustadz,” kataku.

“Ah, iya. Rizal yang bekerja di tempat Cohang ya? Aku sering melihatmu mengikuti pengajian di sini. Kau sangat sering hadir, bukan? Duduklah, anggap saja rumah sendiri,” katanya ramah.

Aku pun duduk. Lelaki yang mengantarkanku tadi juga ikut duduk. Sebenarnya, aku lebih suka berdua saja. Tapi, tak apalah.

“Ini nak Firdaus. Dia Staf pengajar di sini. Nah, apa yang bisa saya bantu?” tanya Kyai Luthfi. Hening agak lama.

“Maaf, Ustadz. Kalau ternyata cara yang saya tempuh salah. Tapi, saya rasa, beginilah yang terbaik. Sebenarnya, saya ke sini untuk...,” kelanjutannya tinggal di tenggorokan cukup lama. “Meminang santri di sini, Ustadz, yang bernama Aisyah Nurjannah,” kataku akhirnya.

Jutaan palu serasa menggebuk-gebuk dadaku hingga sesak. Wajahku mungkin memerah, sangat malu. Jantungku serasa meloncat sana sini tak karuan. Inikah ujungnya? Ujung dari doaku selama ini.

Kyai Luthfi diam sejenak dan berpandangan dengan Firdaus. Firdaus malah terang-terangan menahan tawa. Sungguh, aku tak suka dengan posisi seperti saat ini.

”Berapa umurmu, Nak. Siapa ayahmu? Apa kau dulu pernah nyantri juga?” tanya Kyai Luthfi.

”22 tahun, Ustadz. Ayah saya sudah meninggal. Ibu saya tinggal di Sragen sama adik saya yang kecil. Saya, tidak pernah nyantri. Tapi, saya tamatan MTS,” jawabku agak bersemangat.

Kyai Luthfi tersenyum ramah, sementara Firdaus kini sedikit terkekeh. Apa ada yang salah? Apa prosedurnya bukan demikian?

”Saya hargai niat adik untuk menikah. Sangat berani melamar seseorang yang belum dikenal benar. Tapi, saya mohon maaf. Nak Aisyah, semalam sudah dilamar oleh pengajar ilmu Fiqh di sini, dan dia menerimanya. Seandainya kau yang datang lebih dulu, barangkali ceritanya akan lain,” jawab Kyai Luthfi. Tapi, dua minggu yang lalu? Dan palu-palu itu makin keras memukul dadaku yang bertambah sesak.

***

Semalam lagi aku berjalan melewati taman kota. Masih dalam hiruk pikuk kendaraan dan ditemani bulan nan setia. Berjalan lunglai karena sesak. Melewati beberapa muda-mudi yang sibuk bercinta di tengah gelap. Sesekali aku menendang kerikil dengan lemah. Bedanya malam ini aku tak langsung pulang. Tapi memilih duduk di bangku taman yang kosong. Menengadah menatap rembulan, berharap bertemu wajah Tuhan di sana. Tersenyum, memberiku semangat.

Apa harus menjadi santri dulu, baru aku bisa mendapatkan bidadari, ya Rahman? Apa harus mapan dan tampan dulu baru bisa mendapatkan wanita sholehah?

Sementara di kanan-kiriku, pasangan muda-mudi yang aku yakin mereka belum menikah, sibuk saling merangkul, tertawa dan saling menggelitik. Membuatku makin jijik. Ya Allah, seberat inikah ujian bagi seorang lelaki yang memilih jalan-Mu? Jalan menuju cinta yang bermuara kepada-Mu? Tapi, jika terus begini, alangkah cepat iman ini rusak. Seperti para manusia yang ada di sini.

“Ganteng, sendirian ya? Aku temenin boleh?” kata seorang wanita tiba-tiba menghampiri. Belahan dada dan lipat paha membuatku semakin sesak. Dengan senyuman nakalnya.
Ya Allah, seberapa lama ujian ini akan berlangsung? Seberapa kuat aku menjaga iman dan hati ini agar tetap di jalan-Mu? Hingga, di suatu saat nanti, doaku akan disampaikan. Bukan wanita seperti ini, tapi untuk meminang bidadari.

Selengkapnya...

1546

Senja baru usai. Ditemani rintik-rintik hujan yang sedari tadi menari-nari di lekukan jingga mayapada. Mengantarkannya pada langit yang kini sudah berubah kelabu. Gelap, siap mengguyur bumi dengan bahari simpanannya. Kini, rintik-rintik itu menggebu. Tak lagi menyejukkan, tetapi menusuk-nusuk kulit karena tajamnya.

Seorang laki-laki berlari tergopoh dengan dada sesak. Sesak karena sengal dan juga karena berita yang baru saja ia dapat. Nada batinnya masih belum percaya. Akal sehatnya belum bisa menerima. Gusti, ujian apa yang Kau berikan kepada kami?

Larinya dipercepat. Ia ingin menyampaikan berita ini segera. Kepada siapa saja. Tapi serasa ia sendiri yang ada di dunia kini. Sepi. Mungkin karena tak ia temui siapa lagi di sepanjang jalan. Tapi, ia harus menyampaikannya. Ia terus berlari tergopoh-gopoh, terkadang sesekali roboh. Ia tak peduli akan sesaknya. Juga akan luka yang menganga di lengannya yang terus ditusuki jarum-jarum langit. Sebentar lagi. Di balik tikungan itu.

Tangannya dulu yang mencapai tiang teras rumah itu. Dia berhenti sejenak. Menghela nafasnya yang timbul hilang. Lalu dengan segera ia mengetuk pintu di depannya.

“Assalamu’alaikum! Kanjeng, buka pintunya. Kanjeng!” Desaknya.

“Wa’alaikumsalam. Iya, sebentar,” jawab yang empu rumah.

Lelaki itu bersandar ke dinding rumah. Menahan sakit lengannya yang tadi entah hilang kemana.

“Kamu? Lho..lho… Kenapa bisa basah kuyup begitu? Lenganmu luka lagi. Ayo masuk!”

Seorang lelaki sepuh membuka pintu. Pancaran matanya menyejukan. Aura wibawanya terpancar. Wajahnya tua, tapi semangat pemuda. Rambutnya yang putih menyembul rapi di balik sorbannya yang juga putih. Pemuda itu spontan menunduk hormat. Luar biasa. Di usia senjanya, tetap menunjukkan pancaran yang tak bisa dikatakan apa.

Pemuda itu masuk ke rumah dengan takjub. Duduk dengan iringan senyum sang tuan rumah. Wangi bak kasturi tambah menyesaki dadanya. Oh, iya. Berita itu.

“Saya di utus Kanjeng Fatahillah. Menyampaikan berita, bahwa...” suaranya tercekat. Tubuhnya yang kuyup tambah menggigil. Sesak yang hinggap sedari tadi keluar menganak sungai.

“Apa yang terjadi?” Tanya lelaki tua itu. Wajahnya yang bersih tampak cemas.

“Dinasti Jin Bun sudah runtuh, Kanjeng. Raden Fatah sudah kalah. Kerajaan Demak, sudah dikalahkan,” tangisnya makin menjadi. Benar-benar tak percaya pemerintahan bijaksana yang ia cintai, direbut begitu saja.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” Raut lelaki tua itu berubah. Tangannya gemetar. Kerajaan yang dipimpin oleh orang yang sangat ia kenal kalah? Kerajaan Islam yang mereka bina sudah hancur?

“Saya juga tidak tahu, Kanjeng. Semua begitu saja. Saya..,” pemuda itu tambah menangis. Tak kuat melanjutkan bicaranya.

“Siapa? Siapa yang sudah mengalahkan Raden Fatah?” wajah lelaki tua itu bertambah cemas. Mungkinkah kerajaan Hindu itu yang merebutnya. Keturunan Majapahit yang membalas dendam akan keruntuhannya?

“Saya tidak tahu pasti, Kanjeng. Tapi kalau tidak salah namanya Pajang Adiwijaya,” jawabnya.

Ternyata benar. Lelaki tua itu tidak habis pikir. Cucu Pengging Dayaningrat yang melakukan semunya. Tidak, bukan kerajaan yang ia takutkan. Bukan kekuasaan yang ia pikirkan. Tapi, Islam.


***



Saat Raden Fatah masih berkuasa…

“Saya utusan Sultan Al-Fatah,”

“Oh, suatu kehormatan keluarga kerajaan mau berkunjung kemari. Ada apa gerangan?” Ki Ageng Pengging tersenyum remeh. Ia sudah menduga atas kunjungan kali ini.

Wanapala sedikit geram. Kalau tidak di utus oleh sultan, tak akan sudi dia datang ke tempat orang sombong seperti ini. Rumahnya sedikit menyeramkan. Beberapa patung menyembul dari balik kitab-kitab tua di dindinnya. Suasana temaram membuatnya tidak nyaman.

“Sultan Fatah ingin bertemu dengan kamu. Terkait dengan, ajaran yang kau sebarkan,” kata Wanapala memaksa tersenyum.

“Bertemu denganku? Ha..ha..ha…. Kenapa tidak dia saja yang datang kemarin? Heh?” jawab Pengging mengejek.

“Tolong sopanlah sedikit kau bicara. Ini yang kau pelajari dari Syaikh Siti Jenar? Tidak sopan,” kata Wanapala semakin geram.

Wajah Pengging memerah. Ia tak suka gurunya disebut-sebut saat ini.

“Dengar, utusan. Sampaikan kepada Sultanmu yang mulia itu. Kalau dia mencari Ki Ageng Pengging, maka jawablah dia tidak ada. Yang ada adalah Allah. Dan jika ia mencari Allah, maka jawablah tidak ada. Yang ada adalah Ki Ageng Pengging. Dan saya akan terus menyebarkan ajaran saya ini ke seluruh warga demak,” jawabnya singkat.

Wanapala tersentak. Sinting, ajaran apa yang mengaku dirinya Tuhan? Emosinya meledak.

“Hei, lelaki sombong. Saya anjurkan kau untuk bertaubat atas yang kau lakukan itu pada Gusti Allah. Menyembahmu sebagai Tuhan? Cih,” Wanapala berbalik pergi.

Emosinya meluap. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Sementara Ki Ageng Pengging tertawa terbahak-bahak.


***


Tak berapa lama setelah peristiwa itu…

Malam itu angin bergemuruh. Langit tak ramah. Juga dengan suasana rumah mungil di daerah Pengging. Keluarga Ki Ageng Pengging gempar. Ki Ageng Pengging meninggal dengan sikut terbelah.

“Aku bersumpah akan membunuh siapa saja yang membunuhnya,” kata salah satu keluarganya. Semua keluarganya bekumpul. Dendam menyala dalam bilik hati mereka.

Semua penganut aliran yang bernama Syi’ah meradang mengetahui murid Syaikh Siti Jenar wafat. Tidak salah lagi, pasti keluarga kerajaan yang melakukannya. Mereka yang merasa diri mereka benar, dengan paham Hanafiahnya.

“Kita harus berbicara pada Sultan,” kata salah satu dari mereka.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Sekarang kita pergi ke sana. Aku yakin, salah satu ulama mereka yang membunuh Ki Ageng,” kompor salah seorang.

Sisanya menyahut setuju. Entah apa yang ada dalam dada mereka. Kemarahan berselimut dendam yang membara panas. Atau juga karena pemberontakan mereka atas kepemimpinan Sultan mereka.

Maka, berangkatlah mereka ke kedemangan. Menaiki kuda mereka masing-masing. Pergi berlalu dari daerah Pengging menuju Demak. Menyusuri hutan Bintara yang lebat. Membelah dingin malam yang menusuk. Kuda mereka dilaju cepat. Melewati pemukiman penduduk. Hingga sampailah pada kerajaan Demak yang perkasa.

“Hei Sulthan Fatah. Keluar kau. Kau harus bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Pengging!” teriakannya membahana. Dengan kemarahan, mereka terus berteriak-teriak di atas kuda mereka. Menebas siapa pun hulubalang yang henda menghalangi mereka. “Keluar kau!” teriak mereka.

“Assalamu’alaikum. Ada apa rupanya kisanak berteriak-teriak di kerajaan?” Tanya seseorang yang keluar dari dalam istana.

“Wa’alaikumsalam. Panggilkan Raden Fatah kemari. Aku ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian Ki Ageng Pengging,” kata mereka marah. Yang lain menyahut ribut. Ada sekitar 20an orang yang mengamuk.

“Kenapa Sultan Fatah yang harus bertanggung jawab? Kupastikan bahwa bukan dia ayang membunuh Ki Ageng Pengging,” katanya.

“Aku tahu semuanya, Fatahillah. Sudahlah, kau tidak usah ikut campur. Aku menghormatimu sebagai Panglima Perang kerajaan Demak. Tapi, bukan berarti aku tidak bisa membunuhmu jika kau menghalangi niatku. Jika perlu, akan kupenggal sendiri kepala Raden Fatah itu,” kata keluarga Pengging marah.

“Maaf, bukan mau mencampuri masalahmu. Tapi yang kukatakan itu benar. Bukan Sultan yang harus bertanggungjawab atas kematian Pengging. Kau tidak punya bukti!” kata Fatahillah tenang.

“Bukti kau bilang? Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan dari kalian? Heh?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas kalau kalian menuduh kerajaan tanpa bukti seperti itu, maka jangan salahkan saya jika kalian akan kami hukum,” jawab Fatahillah tegas.

“Baik, jika kalian memang tidak mau mengakui. Jangan kau pikir kami akan berhenti begitu saja. Kami tidak akan lupa bahwa ulama kalian lah yang menghukum mati Syaikh Siti Jenar, pemimpin kami. Lalu sekarang Ki Ageng Pengging. Suatu saat, kami akan runtuhkan kekuasaan kalian. Ingat itu baik-baik!” kata keluarga Pengging.

Mereka pun pergi. Fatahillah tersenyum tenang. Ya, dia juga tidak lupa. Syaikh Siti Jenar yang telah menyebarkan aliran entah apa yang juga mengaku agamanya Islam. Seorang yang mangaku dirinya Allah. Bahkan juga itu ia turunkan kepada murid-muridnya. Dia tidak akan berubah pikiran. Menurutnya, aliran itu tetaplah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru-gurunya terdahulu. Bahwa, Allah adalah Zat Yang Mahakuasa. Tidak akan sebanding dengan makhluk mana pun di bumi ini.


***

Di rumah tua berhias hujan deras…


Ia tidak percaya. Pajang Adiwijaya. Yah, lelaki tua itu mengenalnya. Seorang aliran Syi’ah. Pengikut ajaran Syaikh Siti Jenar. Kakeknya adalah Bupati Pegging, dari kerajaan Majapahit. Raden Fatah sudah mengalahkan mereka dan menyebarkan Islam ke sana. Apakah secepat ini Raden Fatah yang sangat ia kenal itu mengakhiri masa kepemimpinannya.
Sebutir airmata menetes dari bilik matanya. Tangannya gemetar memegang kuat kursi kayu di sampingnya. Hingga bayangan Ki Ageng Pengging yang berdarah terbayang di pelupuk matanya. Yang sikutnya telah ia belah.


Selengkapnya...

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.