Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Hari ini, telah diputuskan akan mem-post semua karya yang telah kubuat. tulisan-tulisan ini adalah cerminan kerangka pelajaran seorang penulis muda dari jambi. Dulu sekali, menulis jelas bukan salah satu pilihan untuk kugeluti. senang membaca "ya". tapi tidak untuk menulis. Rasanya seperti dipaksa untuk menuangkan pikiran dan itu sangat menekan.

Baiklah, akan kuceritakan sedikit, mengapa akhirnya muncul tulisan-tulisan ini dari tangan seorang yang tak suka menullis.


Suatu ketika, di hari Ahad (lupa tanggalnya), jam 14.00, bertempat di Masjid IAIN Sulthan Taha Jambi, aku bergabung dengan komunitas kecil penulis muda Jambi yang diketuai oleh Syarifah Lestari (yang hingga kini, tulisan2nya masih sangat aku kagumi). Forum Lingkar Pena wilayah Jambi, yang kala itu baru berusia 1 tahun. Kesan pertama: aku dicuekin.

Beberapa anggota sekaligus pengurus saat itu yang kuingat: Ketua, Syarifah Lestari. tampangnya bikin aku dan temanku gemetar di hari pertama bergabung. Cuek, tampang sangar, kalo marah bikin orang nangis. tapi, ternyata dia sangat romantis di balik kata-katanya yang bikin ngakak abiss..

Bendahara, Nabilla Zahra. Tulisanku kata kak Tari menyainginya(sombooonnggg). Orangnya manja dan jadi adik kak tari yang paling manis. Setelah beberapa tahun bergabung, baru kami sepakati beliau adalah bendahara terbaik selama ini. Tinggal bilang : “kak laper, beli sate donk” duit keluar.

Mei Sarah. Beliau saat itu menjabat sekretaris *bener gay a?*. Orangnya, sangat keibuan dan penuh kasih sayang. Tulisan-tulisannya sangat mengaggumkan dan bikin aku selalu minder.

Citra, kakakku yang satu ini adalah penengah terbaik diantara kami. Puisinya, aduhai banget.

Jiharka Flower, pujangga terbaik semassa itu. Puisi-puisnya selalu lolos dari kritikan kak tari atau kak mei sarah. Dikembalikan dengan applause yang meriah.

Siapa lagi ya? Oh iya, ikhwannya satu. Kabur Dika. Keras kepalanya sama dengan ketua. Kalau rapat, mereka yang selalu mencetus perang.

Mbak Inur. Ini “istri” ketua yang pertama. Orang yang mengenalkan dan mengajakku gabung dengan komunitas aneh ini.

Anggota baru saat itu: aku dan Hanifah Innayatun Nuha.


Dengan bangga aku bawa cerpen perdanaku pekan kemudian. Dan setelah dibedah, badanku demam dan pipiku serasa ditampar. Gila, pedes banget komentnya.

“EYD kacau. Penggalan huruf depan aja nggak tau. Format penulisan salah. Judulnya nggak banget deh,” koment ketua.

“ Lucu sih. Tapi masih anak-anak banget. Idenya terlalu gembung,” koment Mbak Inur.

“Amanatnya nggak dapat dek. Amanat nggak harus ada di akhir cerita lho,” kali ini Kak Wid.

“Kakak nggak ngerti ceritanya,” ini suara kak citra.

“untuk pemula bagus lah,” hibur si ikhwan.

Lembaran cerpen perdanaku dikembalikan. Penuh coretan di semua sisi. Masukan-masukan tertulis di sisi-sisi yang kosong. Dalam hati, “kayaknya salah masuk nih.”

Di hari itu aku terpukau dengan cerpen kelas atas “senior-senior”ku. Nyaris tanpa cela, atau aku yang ga bisa nyari celanya. Ditanganku, lembaran-lembaran itu tetap utuh tanpa coretan.

“Komen dek,” perintah yang punya karya.

“Bagus kak,” kataku. Hampir kepada semua aku jawab seperti itu. “Bagus kak,” (doh)


Sebelum pulang, ketua punya amanat padaku “Jadi penulis itu, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya karyamu nggak maju-maju. Gitu-gitu aja terus. Simpan cerpennya. Buat tulisan baru. Suatu saat jika adek sudah terbiasa menulis, buka lagi karya itu. Rasakan bedanya.”

Untuk semua yang baca. Bakat itu Cuma ngaruh 1 %. Sisanya kemauan dan latihan. Buatlah karya, dan biarkan orang lain membacanya. Kritik itu justru yang membuatmu lebih maju. Karya itu baru nyata, jika orang lain membacanya. Selamat membaca.
Selengkapnya...

Aurora
        Tidak ada yang mengerti tentang cinta, di sini. Bait-bait kata nan indah itu begitu dalam tertanam. Sangat dalam, hingga tetesan air mata yang jatuh pun takkan menjumpainya. Semua seakan sudah ternoda oleh virus cinta dunia. Tergambar dengan lembaran-lembaran harta yang berserakan. Di mana-mana sama saja. Di petak-petak sawah, di ladang-ladang kopi, di atas rumah panggung, hingga di dasar telaga biru. Akan kau lihat mata orang-orang yang sedang menghitung uang dan menciumi harta mereka. Ketulusan yang selama ini aku agung-agungkan ternyata hanyalah pucuk impian saja. Semua senyuman dan nasehat itu hanya gelak tipuan semata. Hingga tirani biadab itu kini memasung hati dan pikiranku. Memenjarakan tangan yang hendak mencapai angan-angan.
       “Apalagi yang kau pikirkan, Dinda?” tanya Une Lin, kakaku.
       “Banyak. Tentang ideologi idiot, adat sampah, teatrikal tempo dulu yang tak kenal kata maju,” jawabku sedikit marah.
       Une membelaiku dengan sayang. Seperti dulu, ketika aku membutuhkan seorang ibu yang mendekapkan rasa aman dalam gelapku. Dialah sang malaikat itu. Menggantikan wajah lembut yang tak pernah kulihat sekali. Membayangkan wajah mujahid yang syahid karena melahirkanku, sama saja dengan memunculkan wajah kakakku tersayang. Yah, barangkali wajah Mak memang mirip dengannya.
        ”Jangan berbicara demikian. Apa salahnya kan? Untuk kebahagiaanmu juga,” bujuknya lembut.
        Aku memilih diam sejenak. Lebih nyaman rasanya menyandarkan kepalaku di sisi jendela, dan aku memanjat menaikinya. Memandang jalan raya desaku yang dulu kucinta, dari atas rumah panggung tua yang konon warisan buyutku.
       ”Kau pun takkan berkata demikian, saat dulu masalah ini menimpamu kan?” tanyaku ketus. Masih memandangi jalan raya, bukan matanya.
       ”Tapi kau lihat aku bahagia sekarang kan? Dengan si kecil Anggie dan keluarga kecil kami. Nanti kau akan mengerti, Meila. Cinta itu datang setelah pernikahan,” jawabnya.
       ”Benar, tapi bukan dari pernikahan tak adil semacam itu. Kau bahagia dengan bekas merah tiap kali kau ke sini?” tanyaku yang kini marah.
       ”Keras kepalamu ini, yang lama-lama akan membuatmu menjadi perawan tua!”
       Une tampak tersinggung lalu pergi menuju ke belakang rumah. Dia tak mengerti apa-apa tentang cinta. Cinta bukan hanya secangkir kopi yang hanya lezat dinikmati sewaktu panas. Bukan pula ikrar pernikahan yang disebut ketika seseorang lahir, yang diucapkan ayah-ayah mereka. Cinta bukan duri yang tiap kali disebut, berarti kau sudah siap tersakiti.
       Lagi-lagi aku menangis dalam diam dan tanpa air mata. Memandangi bukit-bukit indah negeri Kerinci yang tampak sedikit angkuh dengan julangnya. Apakah setiap yang tinggi itu selalu angkuh? Semena-mena karena mereka orang berpunya. Tak meraba setitis pun hati seorang perawan yang juga berhak menjelaskan apa arti cinta. Hanya adat semata yang mereka junjung, ketika tersebutlah nama Anak Datung.
***



       “Anak perempuan seharusnya membuatkan kopi, saat abaknya pulang,” kata Abak mengagetkanku yang tengah melamun melipat baju.
       “Deuh, kapan Abak pulang? Aku tak sadar,” jawabku seketika bangkit dan menyalami tangannya. Tubuh lelahnya bersandar di kursi keras di samping televisi.
       “Sekitar dua menit penuh untuk melihat anak gadis Abak melamunkan seseorang,” godanya padaku, mau tak mau membuatku tersenyum.
       “Kopi Abak sudah ada di atas meja. Abak terlambat, kira-kira sepuluh menit. Semoga masih panas. Habis salah siapa?” tanyaku manja.
       “Ah,dua orang anak gadisku sangat mirip ibunya. Yang satu telah diboyong suaminya, yang satu tinggal menunggu waktu saja,” katanya tenang sambil meraih gelas kopi dan mulai menyerupnya.
       Perutku agak menegang mendengar hal ini. Dengan sedikit marah mulai melipat baju kembali. Drama apa lagi yang akan terjadi? Siti Nurbaya lagi? Yang juga dialami Mak, Une Lin, dan gadis-gadis lainnya?
       “Anak Datungmu itu, si Ari sudah lulus PNS. Kabar ini sangat membahagiakan Abak,” lanjutnya.
       “Kenapa pula abak yang jadi bahagia?” tanyaku agak tinggi.
       “Calon mantuku sudah bekerja. Apa lagi yang ia tunggu untuk naik ke rumah kita dan meminangmu?” tanyanya langsung.
       Tanpa sadar baju ditanganku kuremas, bukannya kulipat. Anak datung lagi. Sampai kapan drama ini akan berakhir. Fenomena adat yang seharusnya sudah terkubur ketika roman Siti Nurbaya terkuak. Di zaman ini, masih ada juga adat basi seperti itu.
       Aku tak menyalahkan siapapun yang menikah dengan anak datungnya. Kalau ternyata itulah jodoh mereka, tak mengapa. Agama pun tak melarangnya. Banyak juga yang hidup bahagia, seperti Mak dan Abak. Tapi, jika semua itu perihal menjodohkan secara paksa, sungguh aku tak terima. Jika ini semua adalah sekadar permainan harta, aku tak rela. Aku punya hak untuk bicara aku suka atau tidak, aku mau atau malu. Jika suara ini tak didengar, siapa yang tak marah dengan adat ini?
       ”Kalau yang abak maksud adalah mantu untuk anak gadis di depan abak ini, maka ia tidak sudi bersanding dengan lelaki keparat semacam Ari!” jawabku marah dan beranjak pergi ke kamar.
       ”Meila!”
       ***
       ”Meila, bersiaplah. Temani aku ke rumah Itek Nuri. Ada kenduri di sana. Anaknya yang lanang akan menikah malam nanti,” kata Une Lin yang sudah berdiri dengan baju kebaya rapi di depan pintu kamarku. Si kecil Anggie tampak tertidur lelap di gendongannya.
       ”Anaknya si Deni itu? Sama siapa, Ne?” tanyaku kaget. Dia teman SMA-ku.
       ”Sama anak datungnya, Shinta, yang rumahnya di ujung simpang tiga itu,” jelasnya.
       Sekali lagi perutku menegang. Sampai kapan pernikahan antar anak datung ini akan berakhir di desa ini. Pernikahan antar sepupu yang banyak sekali bahayanya.
       ”Tunggulah sebentar. Biar aku bersiap dulu. Une tunggulah di laman.”
       Une Lin pun pergi. Aku bergegas menyelesaikan membersihkan mukaku dan bersiap mengganti baju.        Sebenarnya aku malas pergi ke acara seperti itu. Tak nyaman rasanya. Tapi, inilah kesempatanku bertemu dengan teman-teman SMA-ku di sana. Sebulan sudah aku kembali dari kota, tak ada media untuk jumpa dengan mereka.
       Sepuluh menit kemudian, aku sudah berjalan menyisir petak-petak sawah yang menguning. Sedikit berhati-hati agar baju kami tak kotor. Berjalan di tengah-tengah sawah dengan gunung-gunung naik turun rapi yang memagari. Atapnya biru agak kelabu dengan sinar matahari yang tak terik menyengat kulit. Berjalan dengan tiupan angin gunung dan kicau burung merdu yang mencoba mencuri padi. Inilah salah satu alasan kenapa aku kembali ke sini. Betapa aku cintai keindahan alam desaku ini. Desa yang menggiringku untuk selalu bertasbih akan tiap molekul ciptaan Sang Maha Segala.
       Setelah berjalan agak lama dari jalan pintas ini, sampai pula kami di jalan raya yang terlihat agak sibuk. Diseberangnya terlihat sebuah rumah kayu dengan tenda-tenda dan hiasan lainnya. Beberapa anak kecil sibuk bermain kejar dengan senapan mainan di tangannya. Asap rokok beradu di atas langit-langit rumah dengan asap gulai dari dapur.
       ”Une!” panggil seseorang, dan kami pun menoleh.
       ”Engkau rupanya, Ri. Apa kabar? Aku senang mendengar kabar bahwa kau lulus PNS,” kata Une Lin menjabat tangannya.
“Iya, Ne. Terima kasih,” sahutnya seraya agak membungkuk.
Senyumnya mampir di mataku. Cih, sungguh aku sangat membenci laki-laki itu. Yang telah merebut semua angan dan cita-citaku. Aku pun langsung naik ke atas tangga. Tak sudi membiarkan mata jahatnya merontokkan tubuhku dari kepala hingga ke kaki.
Di dalam rumah sudah ramai. Beberapa gadis desa yang tak kukenal tertawa mengikik. Di sudut ruang, terlihat sahabatku Risma yang tengah duduk bersama beberapa orang ibu. Aku pun melangkah ke arahnya.
“Katanya kau tak pulang?” kataku menepuk pundaknya.
“Hei, kau rupanya. Sedari tadi aku mencari-carimu, kukira kau tak ke sini. Kemarin aku baru sampai,” katanya memelukku.
“Iya, sebenarnya aku malas mau ke sini, karena...”
“Meila? Ya Allah. Dari tadi datung mencarimu kemana-mana. Apa kabar nak? Kenapa kau tak singgah ke rumah datung? Sudah lama datung menunggu, kau tahu. Apa kau sudah bertemu Ari? Dia banyak cerita tentangmu.”
Bodohnya aku. Kenapa aku tak terpikir, bahwa jika aku ikut ke kenduri ini, maka aku akan bertemu dengan adik Abak yang satu ini. Tubuhnya gendut, dengan baju yang agak sempit dipaksakan. Tangannya penuh dengan gemerincing gelang-gelang emas. Wajahnya bundar, dengan hidung pesek dan bermata bulat. Sangat mirip kodok.
“Tidak sempat, datung.” Aku hanya tersenyum sedikit.
”Ya sudah. Tidak apa-apa. Eh, tolong perhatian sebentar ibu-ibu. Ini Meila yang aku ceritakan. Calon isteri Ari. Cantik bukan?” katanya pada beberapa ibu-ibu dan semuanya terkikik geli.
Badanku agak gemetar menahan marah. Bicara apa dia?
”Tidak salah? Kenapa kau tak bilang padaku kau akan menikah dengan si jahat Ari?” bisik Risma di belakangku.
***
Seekor lagi kupu-kupu terbang dari hatiku. Membawa muatan cinta yang selama ini aku catat dalam hidupku. Arti-artinya, keindahannya, angan-angannya. Semua terbang. Tapi sebelum kupu-kupu itu pergi jauh, maka sebaiknya aku lah yang pergi. Menuju ke desa antah berantah, di mana seorang pangeran baik hati akan dengan penuh kasih sayang, mengangkatku ke atas kuda putihnya dan barsanding denganku. Tak perlulah seorang pangeran, lelaki yang beriman saja sudah cukup. Yang penting tidak dengan dia.
“Mau kemana kamu?” pintu kamarku terbuka.
Abak dengan matanya yang memerah dan kulitnya yang lelah berdiri di ambang pintu.
”Pergi, mencari cinta,” kataku.
Aku terus memasukkan baju-bajuku ke koper kecil yang berbaring lesu di tempat tidur.
”Kau marah karena kau kujodohkan dengan anak datungmu?” tanyanya padaku. Aku terus saja memasukan baju. Kali ini dengan agak kasar, upaya sederhana untuk menangkis air mata yang hendak jatuh.
”Abak tidak mengerti. Apa yang salah dengan dia? Kalau kau tidak suka dengan adat kita, tidak apa-apa. Anggap saja dia bukan sepupumu,” kata Abak yang masuk dan duduk di atas tempat tidurku.
”Bukan adatnya, Bak. Aku bersedia menikah dengan anak datungku yang mana saja, asalkan dia memang pantas jadi imamku nanti. Tapi kalau adat itu menjadi kata wajib, maaf. Aku tak sudi,” jawabku.
”Tapi apa kurangnya dia? Abak rasa, dia pantas-pantas saja. Apa yang salah?” tanya Abak kembali.
”Aku sudah bilang bukan? Aku tidak sudi bersanding dengan dengan dia,” jawabku sebiasa mungkin, tapi terdengar janggal akhirnya.
”Dia lelaki yang baik, Mei. Dia tampan, sarjana, sama sepertimu. Dia dari keluarga baik-baik. Dari keluarga kita yang terhormat. Dia kaya raya, dan sekarang punya pekerjaan tetap. Masa depannya bagus, apa lagi maumu?” tanya abak sekarang mulai tinggi. Dan akhirnya, kesabaranku hilang.
”Aku kenal dia karena aku teman SMA-nya dan teman kuliahnya. Abak, tidak kenal dia. Dua kali dia menghamili anak gadis orang, dan yang satu bunuh diri. Kabarnya memang tak tersiar karena uangnya mungkin bisa membeli media. Jadinya pun sebagai sarjana, karena ayahnya mengeluarkan banyak uang. Tiga kali tertangkap polisi karena mencoba mengedar ganja. Mantu seperti itu yang abak inginkan?” tanyaku panas.
Aku sudah muak. Kaya bukan berarti bisa membeli segalanya. Mungkin ia bisa membeli nilai dan pekerjaan, tapi aku tak sudi menjadi barang dagangan yang bisa ia beli seenaknya.
”Kau sudah dengar kata datungmu kan? Kita sudah pernah membahas itu. Semua itu tidak benar. Dia tidak terbukti memakai narkoba. Jadi bagaimana mungkin ia mengedarnya?” tanya abak.
”Bagaimana dengan perempuan yang sudah ia hancurkan masa depannya? Sudi tangan kotornya memegang tubuh putrimu ini, Bak?” tangisku sekarang. Akan kukeluarkan segalanya sekarang. Biar semua melihat.
”Mereka memang mantan pacarnya, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa Ari sudah menghamili mereka. Kau tak mengerti, Nak. Ketika kau sudah menjadi istrinya, maka ia akan selamanya mencintaimu,” kata Abak tegas.
”Aku tak percaya Abak tega menjualku kepada bajingan seperti dia.”
Dengan cepat aku menarik koper dan hendak pergi.
”Jika kau pergi, maka kau akan melihat tubuh abakmu ini sudah mati. Dan sedikitpun tak kan pernah kuridhoi apapun yang akan kau lakukan. Dan bersumpah akan melaknat seperti apapun keluargamu nanti!” suara Abak bergetar.
***
Suara gembira orang lain terasa terdengar sayup-sayup jauh. Semua pemandangan kabur karena air mata. Selamat tinggal cinta, seperti apapun keindahanmu. Wajah Abak, Une Lin dan Risma terlihat buram, ketika sepasang tangan memegang lenganku.
”Kau milikku, Mei,” kata Ari. Tubuhku bergetar hebat.

Jambi, November 2009
Ket :
Une = kakak perempuan
Datung = Adik/kakak perempuan ayah
Itek = Tante perempuan
Lanang = Laki-laki
Laman = halaman rumah

Selengkapnya...

Surat An-Naas itu berakhir khidmat. Serak suara isak agaknya terdengar. Abah diam. Aku juga diam dari balik dinding kamarku yang menjadi tameng persembunyian mendengarkan mereka. Hanya ada suara isaknya. Serak haru bercampur bangga.

“Alhamdulillah, Kyai. Terima kasih atas bimbingannya. Terima kasih sekali. Aku, aku ndak tahu bisa membalas apa,” suaranya tak berapa lama.

“Dengan ini gelarmu bertambah satu, Nak Aris. Menyandang gelar hafidz sangatlah berat. Berat sekali. Jika kamu ndak ngamalin, dosanya sangat besar. Artinya kamu tahu, tapi ndak melaksanakan. Gusti Allah sangat murka dengan sifat seperti itu. Saya ucapkan selamat. Semoga Allah membimbingmu menjadi manusia sholeh,” ujar abah manjawabnya.

Alhamdulillah. Aku juga bersyukur mas Aris bisa menyelesaikan hafalan 30 juznya. Aku ingin melihat wajahnya yang bahagia walau sebentar saja. Tapi, rasanya terlalu malu. Jantungku melompat-lompat nakal menggodaku. Perasaanku kacau semenjak tadi. Bahagia mendengar suaranya melantunkan ayat Al-Qur’an, malu, takut, cemas, rindu, ah, terlalu banyak. Aku juga tak mengerti mengapa. Jika kubertanya, hanya desiran darah yang menjawab. Aku tak ingin menebaknya terlalu jauh. Tapi, aku tak bisa memungkiri aku tahu jawabnnya. Mungkinkah ini...

“Nurul, coba bantu ibu sebentar!”

Ketukan pintu kamarku dan dilanjutkan suara ibu membuatku tersentak. Ah, ibu mengganggu saja. Keluar? Lagi-lagi suara nakal degup jantung menggodaku. Membuatku tersipu malu. Buru-buru kuambil jilbabku dan melangkah keluar. Tanpa melirik ke arah ruang tamu.

“Kamu tuh ada tamu kok di dalam terus sih? Nih, bawain makananya keluar. Sama minumnya sekalian. Hati-hati tumpah,” sahut ibu menyodorkan nampan berisi kue dan air teh. Aku menyambutnya hampir gemetaran. Untung otakku bisa mengatasi.

Dengan perlahan kubawa nampan itu ke ruang tamu. Hati-hati sekali. Menerobos gelak tawa candaan abah, pakde Kardi dan Mas Aris.

“Nih dia, cah ayu baru keluar. Lama tenan tho, Nduk? Pakde sudah haus,” komentar pakde Kardi saat kutiba. Aku hanya tersenyum.

Duh mata ini tak sabar melihatnya. Refleks aku menatapnya sekilas. Ya Allah, yang terlihat dua bola matanya yang juga menatapku. Tanpa basa-basi, kuberlalu meninggalkan ruang tamu.

***

“Jenenge mas Aris. Tapi ndak tahu Aris apa. Dia seangkatan sama masku. Tiga tahun di atas kita,” jawab Siti saat kami mau shalat ashar ke masjid.

Jadi nama lelaki itu Aris. Aku tak pernah tahu namanya sebelum ini. Lelaki sederhana yang sering menjenguk abah ke rumah. Dia lelaki beruntung yang bisa belajar ngaji sekaligus menghapal Al-Qur’an langsung dari abah. Maklum, abah sudah cukup tua. Jadi, kegiatan da’wahnya tidak seperti dahulu.

Sejak ke rumah, lelaki itu mencuri hatiku. Aku memang tak pernah berbicara langsung dengannya. Juga berkenalan secara resmi. Aku cukup tahu malu sebagai putri ulama, untuk tidak seenaknya mengajak lelaki asing berkenalan. Dia juga cukup pintar mengolah sikap. Namun, keteduhan wajahnya membuatku terpesona. Apalagi jika melihat sifat santunnya.

Abah sering memujinya di depan ibu. Aku pun bengal sering mencuri dengar. Sifat ingin tahunya, membuatnya menjadi seorang pembelajar yang tekun. Setidaknya itu yang membuat abah berdecak kagum. Yah, walau di pesantren, remaja tetaplah remaja. Haus kenakalan membuat mereka terkadang melepaskan jubah iman mereka. Seperti yang ada dalam buku-buku pelajaran smp dulu. Kenakalan remaja. Walau di balut apologi islami, dan menyandang nama santri, tetaplah ada yang nekat melintas di jalan berduaan. Dengan tangan menggenggam pasangan masing-masing, meski konsep non-muhrim sudah hafal dalam kepala. Tetap pula ada rokok yang tersulut di belakang pesantren, meski ceramah mudharat rokok masih terngiang di kepala.

Tetapi dia tidak begitu. Aku yakin dengan yang abah bilang. Dia seorang tua yang kenyang asam garam. Tentulah gampang baginya melihat karakter orang dari tutur dan tingkah lakunya. Pandangannya yang penuh pengalaman jarang meleset.

Mas Aris, kata abah, bukan seperti remaja edan lainnya. Perawakannya rapi, mencontoh rapinya Kanjeng Nabi. Mukanya selalu bercahaya terbilas air wudhu. Konon katanya, mas Aris istiqomah menjaga wudhunya. Tutur katanya lembut. Pikirannya cerdas. Hampir belum ada cela yang kutemui hingga hari ini. Entah jika aku sudah kenal dekat.

Ada secercah warna pink yang masuk ke hati ini. Warna yang sebelumnya belum pernah terlukis di kanvas hatiku. Ah, siapa yang tak memimpikan dirinya menjadi suami? Yah, suami. Aku takkan puas jika hanya menyandang status pacar. Selain tak ada dalam islam, dia juga mana tentu mau berpacaran.

Aku tersenyum memikirkannya di balik meja belajarku. Aku belum mengerti, ini perasaan apa. Tapi buku harianku yang kosong melompong di atas meja jadi tak sabar ingin kuisi. Tanganku bergerak menuliskan beberapa kata dengan ejaan l-e-l-a-k-i i-m-p-i-a-n-k-u. Sifat sepertinya tentu.

***

”Mas Aris mau pergi?” tanyaku saat bertemu di kantin. Kira-kira empat bulan setelah dia menyandang status hafidz.

Iya tak memandangku. Namun dengan jelas kulihat anggukan wajahnya.

”Ke luar negeri?” tanyaku tak sabar. Anggukannya membuatku lemas.

Ada bening yang ingin mengalir. Aku tak percaya saat Siti bercerita. Ternyata jawaban langsung dari orangnya juga tak sanggup kudengar.

”Ada LSM yang memberikan beasiswa keluar negeri,” jawabnya singkat. Aku tak berani menatap wajahnya. Bumi berguncang.

”Maaf, mas tidak bisa secepatnya memenuhi janji mas tempo hari untuk meminangmu. Tapi, mas janji akan kembali secepatnya dan kita akan menikah,” jawabnya melarikan kakiku menjauh. Bumi sekarang rubuh.

Bunga hatiku masih menari beberapa minggu lalu. Mas Aris tiba-tiba menghadap abah dan berkata ingin menikah. Dan calon yang di pilihnya aku. Bisikku didengar Gusti Allah. Membuatku bingung berteriak girang, menangis syahdu, atau diam membisu. Bulan depan ia dan keluarganya akan datang meminangku secara resmi. Tapi, tarian bunga itu kini terhenti, layu, serta hancur. Dalam tangisku, tetap kudoakan yang terbaik baginya.

***

Riuh suara di bawah sana membahana. Seluruh santri tumpah. Menyambut ulama baru yang baru saja pulang mencari ilmu. Aku tak berani bertemu dengannya. Empat tahun sudah dia pergi. Ke tanah orang mengais ilmu. Apa dia masih ingat aku? Tak ada surat yang mengantar komunikasi kami. Alasannya, tak ingin menjerat bahkan mengotori hati. Apa gadis-gadis bule di sana ada yang tertambat di hatinya?Aku hanya melihatnya nanar dari teras lantai dua gedung Pondok Pesantren Al-Hidayah.

Semua di bawah berebut memeluknya. Mencium tangannya. Menggotong dirinya. Berharap akan menular keberkahan Allah yang menempel di tubuhnya. Ia hanya tersenyum bangga. Tapi, ada yang lain dari penampilannya. Baju kokonya berubah menjadi jas hitam dengan kaos putih di dalamnya. Sarungnya memang tak pantas dengan pakaian modern itu. Celana dasar membuatnya tampak tampan. Hanya kopiahnya saja yang tidak hilang. Ah, mungkin kebiasaan barat merubah adaptasinya.

Aku pun beranjak pulang. Tak enak terlalu lama menunggu sendirian di atas sini. Baru pertama kali ini aku malas bertemunya. Takut ia lupa pada gadis 21 tahun ini. Biarlah para santri lain menyambutnya.

***

Baru hendak terlelap ketika malam menyapa, suara lelaki terdengar dari ruang tamu. Suara tua abah tampak berbincang dengan orang itu. Mungkin pakde, pikirku. Mataku kembali menutup. Namun, digelapnya pandangku, baru kusadari itu bukan suara pakde. Itu suara Mas Aris.

“Nurul, ada nak Aris baru pulang dari Amerika. Ayo temui dulu,” suara ibu terdengar mengaminkan dugaanku.

Dengan ragu, kuambil juga jilbabku. Rasa degup jantung itu telah hilang. Namun rindu masih berbekas. Aku menuju ruang tamu. Abah tampak asyik ngobrol dengan mas Aris. Dengan malu kuambil posisi duduk di sebelah ibu.

“Nurul makin cantik ya, Pak,” ujar mas Aris tiba-tiba. Aku terhenyak. Abah dan ibu sepertinya juga. Mas Aris?

“Oh, maaf. Bukan bermaksud lancang. Tapi, kalau di Amerika itu biasa aja, Pak. Yah, sekedar basa-basi. Maaf, jadi kebawa-bawa, Pak,” kilahnya. Abah mengagguk.

Bukan, ini hanya perasaanku saja. Mas Aris nggak mungkin berubah. Ini Cuma pengaruh dari Amerika. Mas Aris tetaplah yang dulu. Baik, pendiam, dan bersahaja. Aku mencoba menenangkan hatiku yang bertanya-tanya.

”Ngomong-ngomong nak Aris, coba ceritakan sekolahmu di luar negeri. Pasti banyak ilmu yang kamu dapatkan dibandingkan di sini?” tanya abah mengalirkan suasana.

”Alhamdulillah, di sana banyak ilmu yang bisa saya dapatkan. Ini berkat pak Kyai juga. LSM yang mengurusi keberangkatan saya sangat baik. Saya dibiayai semuanya. Mulai dari makan, kuliah, penginapan bahkan uang saku. Makanya, saya ingin mencari santri yang cerdas di sini, untuk dibeasiswakan juga ke Amerika,” jawab mas Aris.

”Subhanallah. Semoga niat baiknya di ridhai Allah. LSM apa nak? Insya Allah nanti saya lihat dulu di pesantren, siapa saja yang kira-kira berpotensi dikirim ke sana,” tanggap abah.

“Simon Wiesenthal Center namanya, Pak. Insya Allah di sana kita bisa mendapat ilmu lain yang akan semakin membuka wawasan kita tentang Islam,” kata mas Aris. Raut kebanggaan terpancar dari wajahnya. Ingatanku tak lepas. Mirip seperti saat dia mendapat gelar hafidz. Namun, ada yang lain dari senyum bahagianya.

***

“Nurul!” teriak seseorang dari belakangku. Membuatku menoleh. Ternyata Mas Aris.

”Tadi mas ke rumah. Tapi kata ibu, kamu menyusul abahmu ke pesantren,” lanjutnya ketika berhasil mencapaiku. ”Kamu mengajar di sana ya?” tanya mas Aris selanjutnya. Kaki kami melangkah melewati beberapa rumah penduduk. Jalan pintas penuju pesantren.

”Alhamdulillah. Yah, membantu abah sedikit-sedikit,” jawabku. Jika dulu mungkin aku akan senang bisa berjalan berdua dengan mas Aris, tapi sekarang berbeda. Risih sekali. Apa mas Aris lupa syaitan ada di mana-mana? Kupercepat langkah mendahuluinya.

”Tunggu, kok cepet banget? Mas mau bicara sebentar dengan kamu,” tangannya menahan tanganku, menggenggam lenganku. Aku menariknya paksa. Lancang! Tapi kakiku diam.

”Kita bicara di sana aja!” tangannya menunjuk ke arah persimpangan jalan. Di sana ada kursi kayu untuk duduk. Aku hanya mengekor lelaki yang dulu pernah menyentuh hatiku ini.

”Aku akan tetap menyuntingmu. Kalau tak ada halangan, bulan depan,” katanya saat kami telah duduk di atas kayu itu. Aku tak bisa bicara.

”Nurul,” tangannya menggenggam tanganku. Aku menariknya kasar.

”Aku belum menjadi muhrimmu, Mas,” jawabku lantang.

”Tapi akan kan? Sebentar lagi kita menikah,” jawabnya.

”Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok. Lagi pula, Mas lupa hukumnya bersentuhan tangan dengan bukam muhrim kita?” tanyaku emosi. Dia hanya tersenyum.

”Nurul, ayolah. Jangan berpikiran kolot begitu. Dari dahulu agama Allah adalah agama yang mengikuti perkembangan zaman. Dari zama nabi Adam dahulu. Zaman telah berubah. Bersentuhan tak lagi menggunakan nafsu,” jelasnya. Aku tercengang.

”Ajaran apa yang telah mas pelajari di sana? Hukum Allah itu berlaku kekal hingga akhir zaman. Nggak ada yang bisa merubahnya segampang itu,” sahutku. Dia bukan lagi lelaki sholeh pikirku tiba-tiba. Dia gila.

”Kalau kamu berpikir begitu, kenapa Allah tidak mengizinkan kita menikahi saudara kandung kita seperti zaman nabi Adam? Atau membolehkan poligami sedangkan di zaman nabi Isa tidak di bolehkan? Karena Islam mengikuti zaman. Sekarang bukannya zaman seperti Rasulullah dulu. Lihat anak sekolah di sana? Orang tua mereka tak keberatan jika mereka berjalanan beriringan. Tidak seperti zaman nabi dulu yang tidak mengizinkan. Karena saat ini itu sudah biasa,” jawabnya panjang lebar.

Aku tak bisa berkomentar. Bingung ingin menjawab apa.

”Maaf jika omonganku terlalu emosi. Mungkin, lebih baik jika aku sekarang pergi. Tapi, aku ingin mengatakan satu hal. Berpikirlah liberal, Nurul. Berpikirlah universal. Dogma agama terkadang membuat kita tidak berkembang,” ujarnya menutup. Sosoknya beranjak dan berlalu dari sampingku.
Aku tak kuat menahan bendungan air mata ini. Sosok yang kucintai menghilang. Entah monster apa yang mengubah segalanya, merebut sifat sahajanya, menghancurkan impianku. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Tak akan ada wajah teduhnya, bias wudhunya, juga jaga pandangannya. Kedua kalinya bumi berguncang. Dan dengan keji melindas isi kepalaku. Semua pun hilang.
Selengkapnya...

Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***




Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***

Harapan Semesta, di sinilah aku bekerja sejak lima bulan yang lalu. Toko serba ada milik Haji Cohang. Menjual segala macam perlengkapan sehari-hari. Begitulah kira-kira slogan yang tertera di balehonya. Toko ini dipenuhi banyak sekali barang yang tak sepadan dengan luas gedungnya. Aku berkerja sebagai apa saja di sini. Kuli, kurir, kasir, apa pun yang penting halal. Satu-satunya toko yang mau menerima tamatan MTS di tengah-tengah kerasnya hidup di kota besar.

Bosku sangat cerewet. Jika dia berhenti sejenak saja dari berbicara, maka hujan akan turun sore harinya. Pegawai lain Darmo, kira-kira lima tahun lebih tua dari aku. Mukanya sangat keras dan selalu marah-marah. Aku selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaanya, mengingat kekuatan ototnya luar biasa. Lima kantung beras sekali angkut. Dan yang paling membuatku jengkel tiap harinya adalah Susi. Cantik tidak, menarik apalagi. Dengan pakaian seadanya dia bertekad untuk mendekati setiap langganan pria yang datang. Yang paling menyebalkan termasuk menggoda aku.

Tapi, dari segala hiruk pikuk Harapan Semesta ini, ada satu yang membuatku sangat betah. Letaknya persis di seberang Pondok Pesantren Ar Rayyan. Dengan bangunan yang sangat megah. Berwarna putih bak mutiara, setiap terdengar suara apa saja dari gedung indah itu, membuatku selalu merinding. Entah itu azannya, tilawah bersama yang sering terdengar hingga ketelingaku, ataupun pengajian mingguan yang selalu mengundang rakyat sekitar.

Kalau saja Bapak masih hidup, barangkali ia sanggup memasukan aku ke pesantren ini. Barangkali, aku lah yang keluar dengan gagah tiap hari sabtu untuk berjalan-jalan dengan memakai kopiah. Barangkali aku yang selalu tersenyum di goda oleh Susi, atau berpandang heran mendengar ocehan Haji Cohang saat berbelanja. Atau dilirik oleh ibu-ibu sekitar untuk dijodohkan dengan putri-putri mereka.

“Mas Rizal kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seseorang di belakangku.

“Eh, ndak apa-apa. Cuma ingat ibu aja di kampung,” jawabku asal.

“Oh, kirain lagi ngelamunin Susi. Susi kan jadi malu,” katanya tersenyum genit. Aku hanya nyengir sedikit. Jaga pandanganmu, Zal.Untuk bidadarimu nanti.

“Mas Rizal, dipanggil Bos tuh. Bungkusin gula katanya. Nanti Susi bantuin ya,” sambil melirik nakal.

Aku pun langsung ngeloyor pergi. Daripada mual. Yah, walaupun aku cuma kuli toko, aku masih ingat satu pesan Mak. Carilah wanita sholehah untuk kau pinang menjadi pengantinmu. Syaratnya cuma satu namun sulit di dapat zaman sekarang. Wanita sholehah, yang desahan suaranya membuat bidadari manapun merasa iri. Yang memandang wajahnya serasa memandang surga yang menyejukkan. Aku berharap, Gusti Allah bersedia mengantarkan salah satu bidadarinya yang ada di gedung putih itu ke pangkuanku. Yang mengaplikasikan ilmu ikhlasnya untuk menerima seperti apa pun jodoh mereka. Yang selalu berbakti dan tak pernah menghitung materi. Semoga saja.

***


”Jadi semuanya berapa, Mas?” katanya.

Seekor makhluk bergerak hidup dalam dadaku. Menggaung kesenangan, menendang-nendang jantungku, membanjiri kerongkongan dengan air liur yang mau tak mau kutelan. Perutku mengejang dan sedikit ada perasaan jungkir balik. Perasaan ini?

”Eh, tiga puluh lima ribu rupiah,” kataku sedikit gagap.

”Ini uangnya. Terima kasih,” katanya sambil berlalu.

Beginilah perasaanku setiap hari sabtu. Jika, aku bertemu dengan wanita yang dalam mataku adalah titisan bidadari. Wanita yang selalu berbelanja pekanan di Harapan Semesta. Balutan jilbab yang menghias gamis putih, yang beberapa malam lalu entah mengapa hadir dalam mimpiku. Sungguh, aku tak tahu ini perasaan apa ini. Apakah ini yang dulu kusebut nafsu yang berwarna merah jambu? Atau inikah signal yang manandakan jodohku akan tiba?

Aisyah Nurajannah. Begitulah nama lengkapnya, kata Susi. Dia teman satu smp dengan Susi, yang lebih beruntung bisa di masukkan ke pesantren ini. Akunya, mereka adalah sahabat dekat. Berarti, dia kurang lebih berusia empat tahun di bawahku. Pertama bertemu, tak lama sejak aku mulai bekerja di Harapan Semesta. Luar biasa, kesholehannya. Tutur katanya, tingkah lakunya, serta kedewasaan berpikirnya. Aku memang tak banyak bicara dengannya. Memandangnya pun aku malu. Tapi, entah mengapa ia terus menggedor-gedor sukmaku. Aku tak tahan, ini bisa merusak keimananku yang selama ini jatuh bangun aku jaga.

Serentak aku berdiri. Susi, cariku. Hari ini juga, aku tak tahan lagi.

“Eh, Sus. Aku bisa bicara sebentar?” tanyaku setiba di belakang. Dia tengah sibuk menyunting barang-barang.

“Ah, Mas Rizal. Ada apa? Wah, mas Rizal nyariin Susi ya? Ada apa ini? Wah, jangan-jangan Mas Rizal mau ngajak Susi jalan-jalan ya? Susi jadi malu. Boleh-boleh aja, Mas. Tapi jangan sampai ketahuan Bos. Nanti kita diomelin. Gimana kalo besok sore aja? Kalau nanti, Susi mau jalan sama Aisyah. Gimana? Mas mau ngajak Susi ke mana?” cerocosnya.

”Eh, bukan begitu. Eh, saya cuma mau...”

”Cuma mau apa? Kok mukanya jadi merah gitu?”

”Maksudnya, aku cuma mau nitip surat ini untuk Aisyah,” kataku.

Susi tiba-tiba langsung berubah cemberut.

”Oh, gitu. Jadi Mas Rizal suka sama temen Susi sendiri? Jadi selama ini Mas Rizal main cewek lain selain Susi? Gitu?” jawabnya. Main cewek lain?

”Bukan begitu, Susi yang baik. Mas cuma mau nitip ini, untuk Aisyah. Ndak ada apa-apa lagi kok, beneran,” bujukku.

“Oke, Susi kasihin nanti dengan Aisyah. Tapi Susi ingetin ya, Mas. Kita itu cuma kerja kuli bantu di sini. Ndak usah ngimpi deh mau dengan anak pondok. Jodoh mereka itu ganteng-ganteng dan sholeh-sholeh, kaya pula. Jadi, Mas siap-siap aja patah hati,” jawabannya.

Terserahlah. Aku tetap yakin Allah akan menjawab doaku. Doa tak henti di malam dan siangku. Untuk mempersunting bidadari.

***

Entah rasanya berapa dekade, Kawan, aku melalui hari selepas hari itu. Surat itu memang sudah di bacanya hari itu juga. Aku melihatnya sendiri, di gerbang pesantren setelah Susi memberikannya. Isinya singkat, intinya aku ingin melamarnya. Namun, dua minggu aku menanti, tapi tak ada berita menjawabnya. Ia sudah tidak datang lagi berbelanja di sini. Susi pun memberikan keterangan yang tak pasti. Apa karena malu atau marah karena kelancanganku?

Aku tak tahu, bagaimana caranya seorang nan sederhana ini mempersunting bidadari semacam dia. Apa caraku salah? Tapi, aku terus akan meyakini kata Tuhanku, tentang wanita yang baik nan sholehah, untuk lelaki yang baik pula. Lelaki, yang menjaga imannya, seperti puluhan tahun jatuh bangun aku berusaha. Aku bimbang. Dalam shalatku, hatiku mantap untuk meminangnya.

Tapi, di relung hati terdalam, aku berkaca dalam cermin kehidupan. Siapa aku ini? Budak toko sederhana yang berpenghasilan cukup rendah. Aku memang bukan Hafidz, tapi modalku hanya juz 30, yang kudapat dari mengaji suatu kecil. Apa itu cukup untuk mengimami bidadari? Aku juga tak setampan Yusuf, tak pula sekaya Sulaiman. Tapi aku berusaha untuk menjaga imanku. Modalku yang paling berharga. Karena aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberiku seorang bidadari yang tak pernah memikirkan materi duniawi.

Maka, di sinilah aku berdiri saat ini, Kawan. Di pintu gerbang Pondok Pesantren Ar – Rayyan. Niatku hanya satu, ingin menyempurnakan setengah dien yang mulia ini. Menghadap ketua Ponpes yang sangat kukagumi itu. Dengan pakaian koko terbaikku, walau tanpa teman atau pendamping. Menatap megahnya gedung putih bak mutiara ini dengan menelan ludah. Berbekal niat dan nekad. Bismillahirrahmanirrahiim.

Aku melangkah masuk gedung ini. Menuju gedung utama yang beberapa orang sibuk berlalu lalang. Bukan santri, tapi sepertinya para pengurus ponpes ini. Dengan segan aku bertanya kepada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan pintu utama.

“Assalamu’alaikum,” panggilku kikuk. Lelaki yang sedang sibuk membaca sebuah koran menatapku ketika kusapa.

“Wa’alikumssalam. Ada apa ya, Mas?” tanyanya padaku.

“Eh, saya mau bertemu dengan Kyai Luthfi. Di mana saya bisa bertemu dengan beliau?” tanyaku sopan.

“Oh, iya. Ruangannya di dalam. Mari saya antar,” jawabnya.

Aku pun mengikutinya masuk ke dalam gedung itu. Di belakangnya tampak halaman yang sangat luas dan beberapa asrama dan bangunan lain. Duhai, gusti, mudahkanlah semuanya, doaku. Dan setelah sampai di ruangannya, senyum ramah dari seorang Kyai ini langsung menyambut dan memelukku hangat. Seakan-akan dia telah pernah bertemu denganku bertahun-tahun lamanya.

“Saya Rizal, Ustadz. Rizal Saifullah. Saya ingin bicara sesuatu dengan Ustadz,” kataku.

“Ah, iya. Rizal yang bekerja di tempat Cohang ya? Aku sering melihatmu mengikuti pengajian di sini. Kau sangat sering hadir, bukan? Duduklah, anggap saja rumah sendiri,” katanya ramah.

Aku pun duduk. Lelaki yang mengantarkanku tadi juga ikut duduk. Sebenarnya, aku lebih suka berdua saja. Tapi, tak apalah.

“Ini nak Firdaus. Dia Staf pengajar di sini. Nah, apa yang bisa saya bantu?” tanya Kyai Luthfi. Hening agak lama.

“Maaf, Ustadz. Kalau ternyata cara yang saya tempuh salah. Tapi, saya rasa, beginilah yang terbaik. Sebenarnya, saya ke sini untuk...,” kelanjutannya tinggal di tenggorokan cukup lama. “Meminang santri di sini, Ustadz, yang bernama Aisyah Nurjannah,” kataku akhirnya.

Jutaan palu serasa menggebuk-gebuk dadaku hingga sesak. Wajahku mungkin memerah, sangat malu. Jantungku serasa meloncat sana sini tak karuan. Inikah ujungnya? Ujung dari doaku selama ini.

Kyai Luthfi diam sejenak dan berpandangan dengan Firdaus. Firdaus malah terang-terangan menahan tawa. Sungguh, aku tak suka dengan posisi seperti saat ini.

”Berapa umurmu, Nak. Siapa ayahmu? Apa kau dulu pernah nyantri juga?” tanya Kyai Luthfi.

”22 tahun, Ustadz. Ayah saya sudah meninggal. Ibu saya tinggal di Sragen sama adik saya yang kecil. Saya, tidak pernah nyantri. Tapi, saya tamatan MTS,” jawabku agak bersemangat.

Kyai Luthfi tersenyum ramah, sementara Firdaus kini sedikit terkekeh. Apa ada yang salah? Apa prosedurnya bukan demikian?

”Saya hargai niat adik untuk menikah. Sangat berani melamar seseorang yang belum dikenal benar. Tapi, saya mohon maaf. Nak Aisyah, semalam sudah dilamar oleh pengajar ilmu Fiqh di sini, dan dia menerimanya. Seandainya kau yang datang lebih dulu, barangkali ceritanya akan lain,” jawab Kyai Luthfi. Tapi, dua minggu yang lalu? Dan palu-palu itu makin keras memukul dadaku yang bertambah sesak.

***

Semalam lagi aku berjalan melewati taman kota. Masih dalam hiruk pikuk kendaraan dan ditemani bulan nan setia. Berjalan lunglai karena sesak. Melewati beberapa muda-mudi yang sibuk bercinta di tengah gelap. Sesekali aku menendang kerikil dengan lemah. Bedanya malam ini aku tak langsung pulang. Tapi memilih duduk di bangku taman yang kosong. Menengadah menatap rembulan, berharap bertemu wajah Tuhan di sana. Tersenyum, memberiku semangat.

Apa harus menjadi santri dulu, baru aku bisa mendapatkan bidadari, ya Rahman? Apa harus mapan dan tampan dulu baru bisa mendapatkan wanita sholehah?

Sementara di kanan-kiriku, pasangan muda-mudi yang aku yakin mereka belum menikah, sibuk saling merangkul, tertawa dan saling menggelitik. Membuatku makin jijik. Ya Allah, seberat inikah ujian bagi seorang lelaki yang memilih jalan-Mu? Jalan menuju cinta yang bermuara kepada-Mu? Tapi, jika terus begini, alangkah cepat iman ini rusak. Seperti para manusia yang ada di sini.

“Ganteng, sendirian ya? Aku temenin boleh?” kata seorang wanita tiba-tiba menghampiri. Belahan dada dan lipat paha membuatku semakin sesak. Dengan senyuman nakalnya.
Ya Allah, seberapa lama ujian ini akan berlangsung? Seberapa kuat aku menjaga iman dan hati ini agar tetap di jalan-Mu? Hingga, di suatu saat nanti, doaku akan disampaikan. Bukan wanita seperti ini, tapi untuk meminang bidadari.

Selengkapnya...

1546

Senja baru usai. Ditemani rintik-rintik hujan yang sedari tadi menari-nari di lekukan jingga mayapada. Mengantarkannya pada langit yang kini sudah berubah kelabu. Gelap, siap mengguyur bumi dengan bahari simpanannya. Kini, rintik-rintik itu menggebu. Tak lagi menyejukkan, tetapi menusuk-nusuk kulit karena tajamnya.

Seorang laki-laki berlari tergopoh dengan dada sesak. Sesak karena sengal dan juga karena berita yang baru saja ia dapat. Nada batinnya masih belum percaya. Akal sehatnya belum bisa menerima. Gusti, ujian apa yang Kau berikan kepada kami?

Larinya dipercepat. Ia ingin menyampaikan berita ini segera. Kepada siapa saja. Tapi serasa ia sendiri yang ada di dunia kini. Sepi. Mungkin karena tak ia temui siapa lagi di sepanjang jalan. Tapi, ia harus menyampaikannya. Ia terus berlari tergopoh-gopoh, terkadang sesekali roboh. Ia tak peduli akan sesaknya. Juga akan luka yang menganga di lengannya yang terus ditusuki jarum-jarum langit. Sebentar lagi. Di balik tikungan itu.

Tangannya dulu yang mencapai tiang teras rumah itu. Dia berhenti sejenak. Menghela nafasnya yang timbul hilang. Lalu dengan segera ia mengetuk pintu di depannya.

“Assalamu’alaikum! Kanjeng, buka pintunya. Kanjeng!” Desaknya.

“Wa’alaikumsalam. Iya, sebentar,” jawab yang empu rumah.

Lelaki itu bersandar ke dinding rumah. Menahan sakit lengannya yang tadi entah hilang kemana.

“Kamu? Lho..lho… Kenapa bisa basah kuyup begitu? Lenganmu luka lagi. Ayo masuk!”

Seorang lelaki sepuh membuka pintu. Pancaran matanya menyejukan. Aura wibawanya terpancar. Wajahnya tua, tapi semangat pemuda. Rambutnya yang putih menyembul rapi di balik sorbannya yang juga putih. Pemuda itu spontan menunduk hormat. Luar biasa. Di usia senjanya, tetap menunjukkan pancaran yang tak bisa dikatakan apa.

Pemuda itu masuk ke rumah dengan takjub. Duduk dengan iringan senyum sang tuan rumah. Wangi bak kasturi tambah menyesaki dadanya. Oh, iya. Berita itu.

“Saya di utus Kanjeng Fatahillah. Menyampaikan berita, bahwa...” suaranya tercekat. Tubuhnya yang kuyup tambah menggigil. Sesak yang hinggap sedari tadi keluar menganak sungai.

“Apa yang terjadi?” Tanya lelaki tua itu. Wajahnya yang bersih tampak cemas.

“Dinasti Jin Bun sudah runtuh, Kanjeng. Raden Fatah sudah kalah. Kerajaan Demak, sudah dikalahkan,” tangisnya makin menjadi. Benar-benar tak percaya pemerintahan bijaksana yang ia cintai, direbut begitu saja.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” Raut lelaki tua itu berubah. Tangannya gemetar. Kerajaan yang dipimpin oleh orang yang sangat ia kenal kalah? Kerajaan Islam yang mereka bina sudah hancur?

“Saya juga tidak tahu, Kanjeng. Semua begitu saja. Saya..,” pemuda itu tambah menangis. Tak kuat melanjutkan bicaranya.

“Siapa? Siapa yang sudah mengalahkan Raden Fatah?” wajah lelaki tua itu bertambah cemas. Mungkinkah kerajaan Hindu itu yang merebutnya. Keturunan Majapahit yang membalas dendam akan keruntuhannya?

“Saya tidak tahu pasti, Kanjeng. Tapi kalau tidak salah namanya Pajang Adiwijaya,” jawabnya.

Ternyata benar. Lelaki tua itu tidak habis pikir. Cucu Pengging Dayaningrat yang melakukan semunya. Tidak, bukan kerajaan yang ia takutkan. Bukan kekuasaan yang ia pikirkan. Tapi, Islam.


***



Saat Raden Fatah masih berkuasa…

“Saya utusan Sultan Al-Fatah,”

“Oh, suatu kehormatan keluarga kerajaan mau berkunjung kemari. Ada apa gerangan?” Ki Ageng Pengging tersenyum remeh. Ia sudah menduga atas kunjungan kali ini.

Wanapala sedikit geram. Kalau tidak di utus oleh sultan, tak akan sudi dia datang ke tempat orang sombong seperti ini. Rumahnya sedikit menyeramkan. Beberapa patung menyembul dari balik kitab-kitab tua di dindinnya. Suasana temaram membuatnya tidak nyaman.

“Sultan Fatah ingin bertemu dengan kamu. Terkait dengan, ajaran yang kau sebarkan,” kata Wanapala memaksa tersenyum.

“Bertemu denganku? Ha..ha..ha…. Kenapa tidak dia saja yang datang kemarin? Heh?” jawab Pengging mengejek.

“Tolong sopanlah sedikit kau bicara. Ini yang kau pelajari dari Syaikh Siti Jenar? Tidak sopan,” kata Wanapala semakin geram.

Wajah Pengging memerah. Ia tak suka gurunya disebut-sebut saat ini.

“Dengar, utusan. Sampaikan kepada Sultanmu yang mulia itu. Kalau dia mencari Ki Ageng Pengging, maka jawablah dia tidak ada. Yang ada adalah Allah. Dan jika ia mencari Allah, maka jawablah tidak ada. Yang ada adalah Ki Ageng Pengging. Dan saya akan terus menyebarkan ajaran saya ini ke seluruh warga demak,” jawabnya singkat.

Wanapala tersentak. Sinting, ajaran apa yang mengaku dirinya Tuhan? Emosinya meledak.

“Hei, lelaki sombong. Saya anjurkan kau untuk bertaubat atas yang kau lakukan itu pada Gusti Allah. Menyembahmu sebagai Tuhan? Cih,” Wanapala berbalik pergi.

Emosinya meluap. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Sementara Ki Ageng Pengging tertawa terbahak-bahak.


***


Tak berapa lama setelah peristiwa itu…

Malam itu angin bergemuruh. Langit tak ramah. Juga dengan suasana rumah mungil di daerah Pengging. Keluarga Ki Ageng Pengging gempar. Ki Ageng Pengging meninggal dengan sikut terbelah.

“Aku bersumpah akan membunuh siapa saja yang membunuhnya,” kata salah satu keluarganya. Semua keluarganya bekumpul. Dendam menyala dalam bilik hati mereka.

Semua penganut aliran yang bernama Syi’ah meradang mengetahui murid Syaikh Siti Jenar wafat. Tidak salah lagi, pasti keluarga kerajaan yang melakukannya. Mereka yang merasa diri mereka benar, dengan paham Hanafiahnya.

“Kita harus berbicara pada Sultan,” kata salah satu dari mereka.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Sekarang kita pergi ke sana. Aku yakin, salah satu ulama mereka yang membunuh Ki Ageng,” kompor salah seorang.

Sisanya menyahut setuju. Entah apa yang ada dalam dada mereka. Kemarahan berselimut dendam yang membara panas. Atau juga karena pemberontakan mereka atas kepemimpinan Sultan mereka.

Maka, berangkatlah mereka ke kedemangan. Menaiki kuda mereka masing-masing. Pergi berlalu dari daerah Pengging menuju Demak. Menyusuri hutan Bintara yang lebat. Membelah dingin malam yang menusuk. Kuda mereka dilaju cepat. Melewati pemukiman penduduk. Hingga sampailah pada kerajaan Demak yang perkasa.

“Hei Sulthan Fatah. Keluar kau. Kau harus bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Pengging!” teriakannya membahana. Dengan kemarahan, mereka terus berteriak-teriak di atas kuda mereka. Menebas siapa pun hulubalang yang henda menghalangi mereka. “Keluar kau!” teriak mereka.

“Assalamu’alaikum. Ada apa rupanya kisanak berteriak-teriak di kerajaan?” Tanya seseorang yang keluar dari dalam istana.

“Wa’alaikumsalam. Panggilkan Raden Fatah kemari. Aku ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian Ki Ageng Pengging,” kata mereka marah. Yang lain menyahut ribut. Ada sekitar 20an orang yang mengamuk.

“Kenapa Sultan Fatah yang harus bertanggung jawab? Kupastikan bahwa bukan dia ayang membunuh Ki Ageng Pengging,” katanya.

“Aku tahu semuanya, Fatahillah. Sudahlah, kau tidak usah ikut campur. Aku menghormatimu sebagai Panglima Perang kerajaan Demak. Tapi, bukan berarti aku tidak bisa membunuhmu jika kau menghalangi niatku. Jika perlu, akan kupenggal sendiri kepala Raden Fatah itu,” kata keluarga Pengging marah.

“Maaf, bukan mau mencampuri masalahmu. Tapi yang kukatakan itu benar. Bukan Sultan yang harus bertanggungjawab atas kematian Pengging. Kau tidak punya bukti!” kata Fatahillah tenang.

“Bukti kau bilang? Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan dari kalian? Heh?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas kalau kalian menuduh kerajaan tanpa bukti seperti itu, maka jangan salahkan saya jika kalian akan kami hukum,” jawab Fatahillah tegas.

“Baik, jika kalian memang tidak mau mengakui. Jangan kau pikir kami akan berhenti begitu saja. Kami tidak akan lupa bahwa ulama kalian lah yang menghukum mati Syaikh Siti Jenar, pemimpin kami. Lalu sekarang Ki Ageng Pengging. Suatu saat, kami akan runtuhkan kekuasaan kalian. Ingat itu baik-baik!” kata keluarga Pengging.

Mereka pun pergi. Fatahillah tersenyum tenang. Ya, dia juga tidak lupa. Syaikh Siti Jenar yang telah menyebarkan aliran entah apa yang juga mengaku agamanya Islam. Seorang yang mangaku dirinya Allah. Bahkan juga itu ia turunkan kepada murid-muridnya. Dia tidak akan berubah pikiran. Menurutnya, aliran itu tetaplah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru-gurunya terdahulu. Bahwa, Allah adalah Zat Yang Mahakuasa. Tidak akan sebanding dengan makhluk mana pun di bumi ini.


***

Di rumah tua berhias hujan deras…


Ia tidak percaya. Pajang Adiwijaya. Yah, lelaki tua itu mengenalnya. Seorang aliran Syi’ah. Pengikut ajaran Syaikh Siti Jenar. Kakeknya adalah Bupati Pegging, dari kerajaan Majapahit. Raden Fatah sudah mengalahkan mereka dan menyebarkan Islam ke sana. Apakah secepat ini Raden Fatah yang sangat ia kenal itu mengakhiri masa kepemimpinannya.
Sebutir airmata menetes dari bilik matanya. Tangannya gemetar memegang kuat kursi kayu di sampingnya. Hingga bayangan Ki Ageng Pengging yang berdarah terbayang di pelupuk matanya. Yang sikutnya telah ia belah.


Selengkapnya...

Aurora


Tusuk punggung kakakmu dengan pisau itu. Oh tidak, suara itu datang lagi. Sesaat aku tertahan oleh nurani yang tidak mau menuruti suara itu.

Sekarang, Welza. Sekarang! Suara itu kembali memaksaku melangkah mendekati Kak Riri yang sedang tilawah.

Tusuk Welza! Sekarang. Dia yang telah membunuh ayahmu. Tusuk. Suara itu terus menitah saat aku tepat berada di belakangnya.

Perasaanku kembali berkecamuk mengingat peristiwa itu. Saat Ayah harus meregang nyawa akibat kecerobohan Kak Riri. Tanganku pun mulai mengayun hendak menikam. Mataku memanas berpeluh dendam.

Namun, suara indah lantunan ayat suci yang dibaca Kak Riri sayup terdengar, membuat kesadaranku pulih dan bertarung dengan suara mengerikan itu. Ragu, kuhentikan jua mengayunkan pisau.

Jangan takut, Welza. Tusuk sekarang! Terdengar kembali suara yang entah dari mana datangnya.

Tidak... Tidaaakk. Nuraniku membantah. Gerak refleks memaksa sumsum tulang belakangku untuk melepas pisau itu. Aku pun berlari menjauh. Meninggalkan pisau yang terjatuh.

Kau pengecut, Welza. Kembali. Bunuh dia! Dia telah membunuh ayahmu. Suara itu menggema menghantui pendengaranku. Secepat kilat kututup telinga dengan kedua tanganku. Berharap suara itu pergi.

“Jangaaann...!” aku berteriak mencoba melawan. Memaksaku bergelut di bawah meja makan, berusaha berlindung dari suara itu.

“Ya Allah, Welza. Kamu kenapa?” Kak Riri tergopoh menghampiri. Rupanya dia mendengar suara pisau yang kujatuhkan

Bunuh, Welza. Sekarang. Jangan jadi pengecut! Suara itu kembali lagi.

“Kak lari, Kak. Suara itu mau membunuhmu. Lari, Kak. Plis!” pintaku di sela deraian isak tangis.

Kak Riri pun pergi, namun sejenak kembali dan menghujamkan benda tajam di lenganku. Seketika dunia menjadi gelap di mataku.

***

Sinar matahari menyentakku bangun ke alam sadar. Sekujur tubuhku melemas.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar, Za,” suara Ibu yang basah terdengar. Kucoba memutar otak, merakit peristiwa apa yang terjadi. Sia-sia. Kepalaku semakin berdenyut memikirkannya.

“Apa yang terjadi ?” tanyaku. Kak Riri tengah memeriksa suhu badanku.

“Penyakitmu kumat lagi. Kamu hampir membunuh kakakmu,” jawab Ibu. Matanya nampak berair. Tangan lembutnya meremas jemariku yang dingin.

Huh, Skizofrenia Paranoid. Yah, penyakit itu yang Kak Riri bilang. Kak Riri adalah dokter umum di kotaku. Penyakit yang sangat kubenci.

Kupejamkan mata yang lelah, seolah ingin membayangkan apa yang telah kulakukan. Di sisi kecil hati, aku bersyukur peristiwa itu tidak terjadi. Tak dapat kubayangkan, badan Kak Riri terbujur kaku di hadapanku. Sebutir air bening mengalir.

“Nggak apa-apa, Za. Mungkin kondisimu lagi labil aja kemarin,” ujar kak Riri sembari menyapu butiran bening itu dari mataku.

***

“Wa’alaikum salam. Eh Riri, ayo masuk!” sapa ramah seseorang saat aku dan Kak Riri mengucap salam di depan sebuah rumah sederhana nan luas. Wanita muda itu mengulurkan tangannya mengajak berjabat.

“Welza, ini kak Ernie, yang kemaren kakak ceritain,” ingat kak Riri.

Kak Ernie adalah teman SMA Kak Riri, yang sekarang sudah menjadi seorang psikiater. Kalau bukan karena tidak enak dengan kak Riri, malas aku datang ke tempat ini. Memangnya aku gila.

“Kakakmu udah cerita sedikit kok, Za. Tenang aja. Di sini bukan tempat orang gila kok. Dan Kakak juga yakin kalo Welza tidak gila,” sahut Kak Ernie menebak pikiranku. Aku tersenyum. Entah menghibur, atau mungkin ngibul.

“Ernie, Welza terkena penyakit Skizofrenia Paranoid. Itu terjadi sebulan setelah Ayah meninggal dalam kecelakaan mobil. Saat itu, dia merasa akulah penyebab kecelakaan itu. Hingga pada suatu saat, dia berubah total. Menarik diri dari orang banyak. Dan mengaku sering mendengar suara-suara aneh dalam pikirannya. Yang paling parah, dia sudah enam kali hampir membunuhku,” jelas kak Riri. Yah, enam kali.

Aku juga tak tahu kenapa bisa seperti itu. Yang aku ingat, aku hanya ingin melupakan almarhum Ayah. Namun suara itu datang menghiburku dan menguasai setengah jiwaku.

“Sebelumnya pernah ke psikiater?” tanya kak Ernie.

“Sudah. Psikiater itu bilang, penyakitnya kumat jika ia banyak melamun,” jawab Kak Riri.

Kak Ernie meminta agar dia dan aku bisa berbicara empat mata di ruang tertutup. Setelah anggukan iya dari Kak Riri, aku pun dibawa ke perpustakaan pribadi milik Kak Ernie.

“Apa yang dikatakan suara-suara itu, Welza?” tanya Kak Ernie saat kami telah duduk berhadapan.

“Dia menyuruhku untuk membunuh Kak Riri. Dia bilang Kak Riri yang membunuh Ayah,” jawabku jujur. Aku menanamkan sedikit kepercayaan padanya, dengan harapan dia bisa menyembuhkanku.

“Dan kau tidak sadar?” tanyanya kembali.

Aku menggeleng. Seandainya aku sadar, mana mungkin aku mau membunuh saudaraku sendiri.

“Apa tanggapan teman-temanmu di sekolah?” tanyanya lagi.

Deg. Aku tak kuat menahan bendungan air di mataku. Kak Ernie mencoba menenangkanku. Sedikit demi sedikit aku keluarkan juga cerita itu.

Suara itu muncul saat Kak Riri ke sekolah hendak mengambil raporku sebulan setelah kematian Ayah. Tiba-tiba suara itu datang, merayuku membunuh Kak Riri dengan batu runcing di halaman depan sekolah. Aku pun membabi-buta mengejar Kak Riri yang ketakutan.

Seisi sekolah tercengang. Ada yang bilang aku kesurupan, ada yang bilang aku gila, dan perkataan lain. Aku baru sadar saat kepalaku terhempas ke tanah karena terjatuh saat mengejar Kak Riri.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba untuk tidak melamun lagi dan bersikap seperti biasa. Namun, teman-temanku menjauh. Sebuah sikap yang sanggup mengiris hati ini. Saat aku butuh keceriaan mereka untuk membantu melupakan suara-suara itu, hampir tak ada anak yang mau bergaul denganku, karena takut aku akan menggila lagi. Itulah yang membuatku benci pada semua orang dan memilih diam. Ibu pun mengeluarkanku dari sekolah karena tak tahan aku di kucilkan oleh teman-teman.

Aku masih menangis saat Kak Ernie membelaiku laksana adiknya sendiri. Aku tak berdaya menimbulkan kekuatan berbicara lebih banyak. Aku bingung, takut, dan menyesal.

Kak Ernie mengulurkan tisue padaku. Dengan terisak kuterima, dan mulai menyapukannya ke bawah mata. Beberapa airmata nakal tetap keluar meski aku sudah menyapunya. Kuhela napas. Berat. Berharap rasa itu hilang.

“Sudah agak enakan?” tanya Kak Ernie.

Aku mengangguk.

“Bisa dilanjutkan?” tanyanya lagi.

Tetap kujawab dengan anggukan.

“Apa yang Welza rasakan saat Ayah meninggal?” tanyanya.

“Shock. Welza sayang sama Ayah. Welza nggak mau Ayah mati,” jawabku kembali terisak.

Kulihat Kak Ernie mengangguk. Kustabilkan perasaan gundahku.

“Lalu suara itu datang?” tanyanya menebak.

“Iya, menghiburku dan mengajakku melupakan semuanya,” jawabku.

“Seharusnya Welza tidak menuruti suara-suara itu,” argumennya.

Aku tersentak. Dia pikir aku sengaja mau mengikuti suara-suara itu?

“Kalau Welza dari awal tidak mendengar suara-suara itu, penyakit ini tak akan timbul,” lanjutnya memvonis.

Apa salah aku mendengar suara yang bisa membuatku tenang? Membuatku merasa dihargai dan dimengerti? Aku tak minta suara itu datang. Aku tak minta dia menguasai setengah jiwaku. Namun, alasan-alasan itu hanya sampai di tenggorokan. Tak berani kulanjutkan.

“Insya Allah bisa sembuh. Asal janji, Welza mau nyuekin suara itu,” kata Kak Ernie. Aku tertegun. Sanggupkah aku?

“Kakak bersedia menjadi penggantinya. Menjadi teman curhat Welza,” hiburnya.

Lagi kuhela napas. Mungkinkah?

Tidak, Welza. Dia akan terus menyalahkanmu. Terdengar suara lagi. Tak bisa kutebak, nuranikukah yang bicara, atau?

Kak Ernie melangkah ke arah rak. Mungkin ia mencari buku tentang penyakitku. Tak sengaja mataku melirik ke atas sebuah meja. Tepat di samping komputer, sesuatu yang berkilat menarikku melangkah ke sana.

Ambil, Welza, perintahnya. Aku beranjak pelan menuruti perintah suara itu. Sesaat, diriku berubah menjadi sosok lain dengan kepala penuh kebencian. Otakku mengecil. Tak bisa berbuat apa-apa. Dengan ringannya, kutancapkan pisau di punggung wanita yang sedang mencari buku itu. Sebuah suara menyadarkanku. Suara sakitnya kematian.

Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini? Otakku terlambat memikirkan. Terhuyung aku mundur dengan belati berdarah di tangan kanan.

“Ya Allah, Ernie!” Kak Riri masuk, mungkin ia mendengar suara Kak Ernie tadi.

Tajam tatapannya melesat menembus retina mataku, menuju otak belakang. Tatapan menuduh. Aku menggeleng. Lalu, gelap.

***

“Bukan salahku. Bukan salahku. Bukan salahku,” ucapku berulang-ulang. Kupeluk kakiku dengan tangan lesu.

“Dia mengidap kelainan jiwa, Pak,” terdengar suara. Batinku terasa sulit mencernanya. Yang terpikir hanya; bukan salahku.

“Kalau begitu, dia tidak mungkin kita penjarakan. Tolong rawat dia, Dok,” suara lain terdengar.
Airmataku menetes. Bukan salahku, batinku menjerit.

*pernah dimuat di majalah islam Sabili
Selengkapnya...

“Hati-hati ya, Dek. Kalau ada yang main fisik, lapor aja,” untaian nasehat itu terujar dari mulut Bang Tino yang tengah bersiap-siap menggas motornya kemballi.

“Oke deh. Makasih ya,” jawabku singkat. Deruan gas motor dan kepulan asap mengiringi laju motor tua itu.

Aku berbalik menatap gerbang emas bertuliskan nama Universitas ternama di kotaku. Kilauan kilatnya tampak menari indah yang dalam pengelihatanku mengukirkan kata selamat datang para pencari ilmu. Aku mendesah dengan Bismillah. Udara pagi bumi menyejukan rongga pernafasanku sekaligus menyiramkan hawa dinginnya ke seluruh tubuhku.

Riuh terdengar suara yang lain. Menyaingi ributnya itik yang entah kenapa menjadi tumbal untuk upacara sakral ini. Kutarik itikku yang semalam kubeli dari Nek Tiyem. Dengan berat menahan beban di punggung serta aksesoris jahil di badan, kuberanjak mencari grupku.

“Gimana ney, aku nggak dapat itik. Semalam ngerjain nih tali,” sambut Rea sembari menunjuk umbaian tali rafia di pinggulnya. Kujawab dengan mengangkat bahu.

“Udah, nggak papa kok. Paling dimarahin,” ujarku menghibur namun malah membuatnya tertegun. Wajah imutnya tertekuk panik.

“Untuk Fakultas Hukum langsung masuk ke area kampus, sekarang!” terdengar berat suara bariton dari sebuah toa. Beberapa makhluk yang kukenal berlari terseok mengimbangi itiknya yang berkejaran. Aku tak mau repot. Dengan sayang kuangkat itik yang semalam diberi nama Joy oleh Bang Toni. Lalu mulai berlari mengikuti arus mahasiswa Hukum lainnya.

Sekejap sudah terbentuk 10 barisan yang menghadap tetua-tetua kampus yang berlagak sok mengecak pinggang. Sengaja kupilih barisan terakhir, karena malas melihat wajah-wajah tengik yang haus kehormatan dan mungkin berpeluh dendam. Rea yang di depanku masih terlihat cemas karena tak membawa simbol mahasiswa baru Fakultas Hukum 2006.

“Hey, yang terlambat. Sini kalian!” bentak seorang mahasiswi yang entah tingkat berapa memanggil anggota maru yang terlambat. Wajah-wajah lesu dengan mata kantuk yang tak bisa ditutupi berjalan menuju para tetua-tetua itu.

Aku malas melihat adegannya. Dengan sembunyi aku malah mengeluarkan segenggam makanan Joy yang kusumputkan di saku bajuku. Kasihan dia belum sarapan, batinku. Joy mematuk-matuk serpihan jagung itu dengan nikmat. Aku tersenyum. Yah, ini tontonan lebih baik dari pada melihat muka bersalah dari mahasiswa tertuduh. Atau muka-muka bahagia dari senior-senior pendakwa.

“Semuanya coba lihat kemari. Coba beritahu apa kesalahan-kesalahan dari teman-teman kalian yang pembangkang ini,” ujar salah satu senior membangkitkan rasa penasaranku. Dengan malas kuolengkan wajahku menatap mereka. Namun silau matahari yang baru muncul membuat mataku menyipit.

“Terlambat, Kak,” ujar beberapa anak serempak. Aku diam saja, lebih memilih tak jadi pengkhianat dengan memaki kesalahan pada teman seperjuangan.

Tapi, tunggu. Siapa wanita itu? Suara-suara berisik masih membilang kesalahan mereka. Aku tak ambil pusing. Rasa penasaran pada wanita yang baru kulihat sekarang, membuatku tak fokus lagi. Sepertinya dia sadar aku memperhatikannya. Mata kami beradu dan saling berkomunikasi. Seakan berbincang tentang kenestapaan dan acara tak penting ini. Senyumku terukir. Begitupun dia. Yah, sebuah awal yang indah mungkin.

“Sebagai hukumannya, kalian berempat lari keliling lapangan kecuali kamu yang pake jilbab putih!” bentak salah seorang senior lagi. Yang lain menurut. Aku menatap iba pada saudaraku di seberang sana.

“Saya baru lihat kamu! Kenapa kamu nggak datang kemarin?” bentak seorang senior wanita yang tadi memerintahkan lari keliling lapangan. Wanita berkerudung putih kusam dengan sendu melirik ke bawah.

“Heh, kamu dengar nggak kalo ditanya?” masih bentaknya. Yang lain senyap. Kecuali beberapa itik yang sedari tadi ribut karena dikekang.

“Ibu saya semalam sakit, Kak,” jawabnya lirih namun terdengar hingga kebelakang. Ke telingaku.

“Oh, ibu nona cantik ini sakit toh. Terus, apa hubungannya dengan kami? Tuan putri mau ibunya kami antar ke rumah sakit?” kali ini suara senior lelaki yang disambut sorakan seru dari para senior lainnya. Huh, ingin kurobek mulut-mulut jahil yang telah menurunkan harga diri sahabat baruku itu.

“Untuk kelompok satu. Silahkan lepas itik yang kalian bawa!” perintah lelaki tadi. Kelompok di sebelahku tanggap dan melepaskan itik-itik mereka yang kini berlarian di area kampus.

“Nah, tuan putri, tugas kamu sekarang tangkap itik-itik itu dan bawa ke sini. Harus lengkap. Sekarang!” bentaknya.

“Ayo tangkap!” susul temannya.

Dengan lesu ia mengejar itik-itik berkeliaran yang tak mau ditangkap itu. Otakku memerintahkan mengejar dan membantunya. Namun entah siapa, ada yang memakukan ujung sepatu ketsku hingga masih berada di tempat semula.

Tak tega melihatnya berkeringat mengejar itik yang baru tertangkap satu dua. Riuhan suara tontonan senior dan senyuman para maru mengiringi geraknya menangkap itik. Sakit. Kutundukkan wajahku memilih menatap bumi.

“Sekarang yang tidak lengkap peralatannya silahkan maju,” teriak seorang wanita mengalihkan pandangan semua dari sahabat berkerudung putihku.

Aku menatap Rea. Tungkainya terlihat melemas. Yah, kali ini gilirannya yang dibantai. Aku memeriksa barang-barangku. Kelihatannya lengkap. Syukurlah. Karena bantuan abang tersayangku dan penghuni rumah lainnya aku bisa mengerjakan semuanya. Lengkap.

Sebagian anak menunduk berjalan menuju senior yang tersenyum mendapat pekerjaan baru. Aku hanya melirik iba. Perpeloncoan itu dimulai. Arena yang katanya ajang balas dendam para senior. Atau arena ngeri dan deg-degannya para yunior. Aku hanya menyimpan rapi kata-kata batinku yang mencerca tentang acara yang tak bermanfaat ini.

***



Terik matahari jam satu an itu, membentang tanpa ampun di atas kami. Entah sebagai bukti tak sukanya Allah hambanya disakiti. Atau memang beginilah tugas sang surya di atas sunatan illahi.

Kelompok terakhir itu pun datang juga. Melewatiku menyerbakan hawa keringat yang tak sedap. Wanita berkerudung putih berjalan melewatiku dan tersenyum. Kutebak senyuman pemberi semangat. Kubalas tulus. Sayang, waktu istirahatnya terlalu singkat. Tak ada waktu berbicara lisan sekedar mengucap salam atau menanyakan nama. Tapi kuyakin, hati kami tetap berkomunikasi. Yah, sebuah komunikasi kuat dan erat yang bernamakan ukhuwah.

“Sekarang, kami ingin memperkenalkan sesuatu pada kalian,” ujar seseorang setelah kelompok terakhir itu membentuk satu berisan. “Makam ini, adalah makam salah satu pahlawan pendiri kampus ini. Namanya Sultan Kusumo. Tapi kita memanggilnya dengan sebutan makam Mbah Kusumo. Nah, sekarang kalian berjalan melewati makam ini dengan menunduk dan mengucapkan ‘numpang lewat Mbah, ampuni kami. Jangan sakiti kami’, Gitu. Sekarang ya, mulai dari kelompok 1,” jelasnya kembali. Aku mengenalnya sebagai ketua ospek Fakultas.

Aku deg-degan. Menggadaikan salam penghormatanku kepada makam yang isinya entah diapakan di alam baka sana? Huh, jangan harap. Penghambaanku pada Tuhan ogah kugadaikan.

Mataku melirik ke perempuan yang kusebut sahabat. Mencoba meminta pendapat. Rona parasnya sama. Cemas, namun tegas. Kembali mata kami berbincang. Aku mengagguk dan mengerti maksudnya. Senyum lagi terukir.

“Sekarang kelompok dua,” laki-laki itu memerintah ke kelompokku. Kembali aku mendesah dengan Bismillah.

Lama terasa, akhirnya sampai jua ke tempat yang katanya dikeramatkan itu. Terus kuberjalan. Namun, tidak. Tidak sambil menunduk seperti yang lain. Yah, kuberanikan diri berjalan tegap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ini hanya tempat peristirahatan terakhir. Bukan Tuhan tempat sesuatu meminta, batinku. Sesampainya di seberang sana, tidak ada apa-apa. Kelompok berikut melanjutkan hingga kelompok terakhir. Sikap yang sama kulihat pada wanita berkerudung putih. Aku yakin, pikir hatinya sama denganku.

“Baik, sekarang kalian ikuti pemandu gugus masing-masing untuk tugas berikutnya. Kecuali kamu yang pakai jilbab biru!”tunjuknya kepadaku. Aku menengadah. Aku? “Dan kamu yang jilbab putih,” lanjutnya menunjuk sahabat baruku.

Semua pun berlalu. Meninggalkan aku dan seorang teman serta beberapa senior yang terlihat bengis menatap kami.

“Kalian berdua kemari,” perintahnya. Dengan tak suka kuturuti. “Kenapa kalian nggak menunduk dan hormat pada Mbah Kusumo? Sudah merasa hebat?” tanya sang ketua ospek. Kami memilih diam.

“Jawab!” bentaknya.

“Kami nggak mau berbuat syirik, Kak,” alasanku diwakilkan oleh wanita ini.

“Saya tidak menyuruh kalian menyembah makam ini. Cuma lewat. Sekarang ulangi!” perintahnya. Kami tetap mematung. “Cepat!” bentaknya, lagi kami mematung.

“Kalian tidak mau?” tanyanya. Kami serempak menggeleng.

“Baik, hukumannya. Sekarang kalian lari keliling lapangan dengan mengatakan ‘kami sok suci’ sekarang!” perintahnya. Yah, daripada berdosa. Kami pun mulai berkeliling lapangan.

***

Matahari keesokannya terlihat sama garangnya. Tajam menghujam hingga menusuk ke bawah jilbabku. Dengan pakaian yang sama dengan kemarin, kurapatkan barisanku dengan yang lain.

“Sekarang, kalian diberi waktu 2 jam untuk meminta tanda tangan pada senior,” ujar seorang wanita kepada kami.

“Tapi sebelum kalian meminta tanda tangan, kalian wajib meminta tanda tangan dari ketua Ikatan Fakultas Hukum dan ketua OSPEK. Yang laki-laki silahkan meminta tanda tangan dari Kak Susan ketua Ikatan Fakultas Hukum di sana,” jelasnya menunjuk ke arah wanita berbadan agak gemuk dan kurasa panitia tergalak itu.

“Silahkan rayu kakak itu. Untuk yang wanita, minta tanda tangan pada ketua OSPEK, Kak Erik. Rayu sampai dia mau ngasih tanda tangan. Kalau perlu kalian elus kek pipinya, atau dipuji sampai dia mau. Kalau belum dapat, kalian tidak akan dapat tanda tangan dari senior lain,” lanjutnya.

Beberapa mahasiswa langsung menyerbu. Meninggalkan aku dan mungkin juga sahabat baruku yang memaku. Aku wanita. Aku muslimah. Apa pantas mengemis-ngemis pada seorang lelaki dengan menjatuhkan harga diri?

“Kalian lagi! Kenapa diam saja? Cepat bergerak!” bentak wanita tadi. Aku masih terdiam.

“Mau di hukum lagi?” tanyanya. Geram kutatap mata menyebalkan itu.

“Eh, melotot lagi. Hukuman untuk kalian berdua. Kamu sapu semua sampah yang ada di kampus ini. Dan kamu, karena berani melotot pada senior, lari keliling lapangan sepuluh kali. Dalam waktu 10 menit. Kalau nggak selesai, hukuman kalian ditambah. Cepat!” lanjutnya kesal.

Aku mulai berlari. Dan sahabatku mulai menyapu sampah-sampah yang berserak. 10 menit? Yang benar saja. Di SMA saja perlu waktu 12 menit untuk mengelilingi 5 kali lapangan ini. Baru hitungan ke 3, nafasku tersengal. Mataku berkunang. Hampir terjerembab menyusuri jalan. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Ini lebih baik dari pada menjatuhkan harga diriku sebagai wanita. Mataku terlirik pada teman baruku. Senyum semangatnya terkembang. Aku harus berusaha.

“Stop, sudah sepuluh menit. Gimana sih? Sesuai perjanjian hukuman kalian ditambah. Sekarang, kalian berdiri di bawah bendera itu, hormat sampai dua jam kemudian. Sekarang!” bentak wanita tadi.

Aku masih mengatur nafasku yang tersengal. Sungguh aku tak kuat lagi. Seberat ini kah yang harus kubayar? Ya, ini kebenaran, batinku. Kami berdiri menengadah menatap bendera di atas sana. Aku mulai goyah. Aku tak kuat.
Genggaman erat kurasakan dari sampingku. Genggaman semangat dengan bumbu sayang dari sahabat yang tak kutahu namanya. Kubalas genggaman tangannya. Yah,ini lebih baik. Ini lebih baik. Batinku berulang-ulang. Genggam kami menguat. “Bertahanlah, ini kebenaran,” bisiknya.

*pemenang I lomba menulis cerpen PSM Universitas Jambi

Selengkapnya...

Aurora


Seorang tua duduk dengan raut serius di balik meja kerjanya. Uban di kepalanya tak menutupi ketampanannya. Mungkin karena keriput belum sepenuhnya menjalari wajah. Yah, belum terlalu tua. Cukup muda untuk seukuran gelar yang terukir di atas papan nama di meja kerjanya. Abraham Carlivan. Seorang jendral tertinggi.

Malam baru hinggap. Bau asap makan malam setidaknya masih tercium. Si lelaki tua itu benar-benar disibukkan aktivitasnya. Sesekali tangan kanannya mencoret-coret tulisan berupa tanda tangan di beberapa kertas. Ke dua matanya sibuk membaca tebaran kertas di mejanya. Hingga tiga ketukan dari pintu masuk ruang kerjanya terdengar.

“Excuisme, Sir,” terdengar suara seorang wanita di luar sana.

Mr. Carlivan seperti telah mengenal suara itu. Agak lambat ia berpikir. Sebenarnya saat ini dia sedang tak ingin diganggu.

“Masuk!” perintahnya.

Pintu itu terbuka. Seorang wanita berblazer rapi dengan rok agak mini mengagguk dan masuk beberapa langkah.

“Ada yang ingin bertemu, Sir,” katanya tegas.

“Siapa?” tanya Carlivan.

”Seorang pemuda yang tak mau menyebutkan namannya,” jawab wanita itu.

”Pemuda? Ah, usir saja! Aku sedang tak ingin diganggu,” jawab Carlivan agak tersinggung. Ia kira ada seorang penting yang ingin bertemu dengannya.

“Tapi, dia bersikeras ingin bertemu dengan Anda, Sir. Dia bilang ingin memberi kabar tentang si brengsek yang tak tertangkap,” bantah wanita itu hati-hati. Sebisa mungkin ia berusaha agar tak salah mengingat kata-kata terakhir.

Carlivan mendelik setengah kaget. Namun, dengan cepat dia memperbaiki posisinya seelegan semula. Mau apa dia kemari?

”Baik, suruh ia masuk,” katanya singkat.

Wanita itu pun berlalu. Hati Carlivan masih diliputi tanya. Pintu kembali terbuka. Seorang lelaki bertopi masuk dengan santainya. Seperti teman lama yang baru bertemu. Namun, jika dilihat tentu saja itu tidak mungkin. Usia mereka lumayan jauh. Bisa dikatakan seperti ayah dan anaknya.

Tanpa disuruh, si lelaki duduk di hadapan Carlivan dan membuka minuman kaleng yang ada di lemari kecil di sebelahnya.

”Ada apa kau kemari?” tanya Carlivan dingin. Ia tak suka dengan sikap cueknya. Terlalu meremehkan seorang jendral. ”Kau sudah berhasil menangkap si brengsek keparat itu?” lanjutnya tak sabar.

Pemuda itu menggeleng. Membuat Carlivan semakin geram dan kesal.

”Aku sudah bilang padamu, Josh. Jangan pernah kau datang kemari jika kau belum berhasil menangkap teroris sialan itu. Reputasiku sudah dianggap hancur saat ini, kau ingat? Yang tertangkap selalu penjahat kacangan. Aku ingin dia. Pemimpinnya,” bentak Carlivan mengamuk. Dia tak peduli lagi dengan imagenya.

”Kau tenang dulu, Pak Tua. Aku belum bicara kan?” jawab Josh sesantai mungkin.

Carlivan menatap geram. Dengan sekuat tenaga ia kuasai emosinya. Jika ia tak ingat pemuda di depannya ini adalah seorang mossad licik yang cukup ditakuti, sudah ia usir atau pecat barangkali.

”Aku memang belum berhasil menangkap penjahat terhebat Abdurrahman As Shidiq itu. Dia sangat licik. Pengikutnya banyak. Hampir seluruh rakyat Palestina mendukungnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk menangkapnya,” jawab Josh tenang.

”Aku sudah bilang persetan dengan dukungan Palestina. Negara itu sebentar lagi hancur. Seluruh rakyat Israel telah dibayar supaya mau pindah ke Palestina. Jika Abdurrahman As Shidiq itu tertangkap, gerakan mereka akan kacau. Dan kita semua akan menang. Kau mengerti itu?” bentak Carlivan tak mau kalah.

Dia seudah geram dengan aksi pemberontakan Palestina sejak dulu. Negara sialan yang berani menentang Israel Raya. Dia bersumpah akan memusnahkan Palestina.

”Iya, aku tahu. Jangan remehkan aku, Sir. Aku yang bergulat dengan tentara Hamas di bawah sana. Bukan kau yang hanya duduk di balik meja besar ini. Aku tahu betul seluk beluk gerakan mereka,” suara Josh menekankan.

Carlivan terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Josh tadi. Dia yang telah memilih Josh sebagai ketua dalam Tim khusus untuk menangkap Abdurrahman As Shidiq, yang konon tangan kanan setia teroris terkemuka Osamah Bin Laden. Carlivan tau betul isi otak Josh. Sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan uang yang banyak. Namun, ia bukan pekerja kacangan yang mungkin visi mereka sama dengan visi Josh tadi. Kerjanya benar-benar profesional.

”Aku memang belum berhasil menangkap Abdurrahman itu. Tapi aku berhasil menangkap orang yang sangat dekat dengannya. Tangan kanannya sekaligus menantunya. Fakhrul Ahsan,” suaranya meninggikan nama terakhir.

Carlivan terbelalak tak percaya. Fakhrul Ahsan adalah nama ke dua yang ia cari setelah Abdurrahman As Shidiq. Motor penggerak yang sangat berpengaruh di Palestina. Seorang bekas panglima perang Hamas.

”Kau? Kau serius telah menangkapnya?” tanya Carlivan tak percaya. Josh mengangguk dengan malas. Dia sedikit kesal Carlivan tak mempercayainya.

”Di penjara bawah tanah,” jawab Josh.

”Wow, luar biasa. Kau menyelamatkan karierku, Josh,” Carlivan memekik girang. Ini benar-benar sebuah kejutan.

Fakhrul Ahsan telah tertangkap. Ia tahu betul ikatan antar sesama muslim di Palestina. Mereka sanggup menukar apa saja demi saudara mereka. Atau mungkin juga demi orang lain. Fakhrul Ahsan adalah orang yang terdekat dan mungkin juga yang paling disayangi Abdurrahman As Shidiq. Langkah selanjutnya akan terasa ringan. Karena pemerintahannya, ia berhasil merebut Palestina. Dunia akan bangga pada mereka, karena telah menundukkan negeri agama teroris itu.

***


”Di bawah sini, Sir. Di penjara khusus,” ujar josh menuntun Carlivan memasuki lift.

Mereka turun hingga bawah sekali. Berada di lift jadi terasa membosankan. Carlivan yang mengusulkan mendirikan penjara khusus, untuk orang-orang yang benar-benar pembangkang. Termasuk Fakhrul Ahsan. Yah, dia pantas di sini.

Mereka tiba di dasar. Gelap dan sunyi. Yang terdengar hanya suara air yang menetes. Keramaian jauh berkilo-kilo di atas sana. Josh menyalakan obor dan berjalan dengan suara decitan sepatu yang menginjak lantai yang lembab. Tidak ada apa-apa kecuali tiga pintu di sana.

Josh melangkah ke salah satu pintu dan membukannya. Sengaja tidak ada penjaga, karena tidak akan ada yang sanggup tinggal sehari di sana. Atmosfir dan gravitasi sangat tinggi. Tekanan udara pun tinggi. Pikiran terasa melayang. Otak tidak akan mampu berpikir optimal. Semua semangat mengendur. Yang tertinggal hanyalah rasa pesimis. Benar-benar penjara yang mengerikan.

Mereka berjalan melewati beberapa kamar berjeruji besi. Ada enam tepatnya. Satu kamar berpenghuni satu orang. Jangan dikira antar penghuni sel akan bisa berkomunikasi. Jarak yang terbentang cukup jauh. Cukup menghabiskan tenaga jika berteriak ingin berbicara. Mereka seakan sendiri. Di ruangan yang nyaris membuat mereka gila. Tidak, pada akhirnya mereka benar-benar gila dan mati. Sungguh pantas untuk para teroris yang berbahaya.

Semua penghuni jeruji besi terdiam. Tak beranjak meski ada yang datang. Entah sibuk memikirkan apa. Entah berada di hayalan mana. Mereka sampai di ruang terkahir. Seorang pemuda tampak lesu duduk di sana.

”Kau senang di sini, Fakhrul Ahsan?” tanya Carlivan pada si pemuda. Fakhrul Ahsan tetap diam.

Josh membukakan pintu jeruji. Carlivan masuk dan mendekati. Josh bilang sudah dua hari ia masuk ke sini. Otaknya sekarang benar-benar hilang fungsi. Mendengar pun sepertinya tak sanggup.

”Kasihan sekali nasibmu. Sekarang kau harus mengakui, Israel lebih hebat dari kalian. Kalian hanya segilintir orang sombong pengikut agama kejam. Sebentar lagi Palestinamu akan hancur dan benar-benar tak akan tertera di peta dunia manapun,” ujar Carlivan bangga.

Carlivan terbahak. Hatinya benar-benar senang. Suaranya membahana ke penjuru ruangan. Tiba-tiba, Fakhrul Ahsan bangkit dan meninju Carlivan.

”Allahu Akbar!” Carlivan terjengkang ke belakang.

Carlivan tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seharusnya ia tak punya tenaga lagi. Belum sempat ia berdiri, Fakhrul Ahsan bergegas keluar. Josh menyambut dengan mengunci kembali jeruji itu dan mengurung Carlivan di ruangan itu. Carlivan berlari ke arah pintu.

“Josh, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku. Kau membiarakan seorang penjahat kabur,” Carlivan mengguncang-guncangkan jeruji itu.

“I am a muslim, Sir. Bukan Josh. Tapi Jarrash. Umar Al Jarrash,” kata Josh tiba-tiba. Carlivan terkejut.

“Pengkhianat. Kau benar-benar bodoh mau bergabung dengan mereka. Agama mereka monster, Josh. Kau akan menjadi pembunuh. Teroris, sama seperti mereka,” Carlivan berteriak.

“Kalian yang pembunuh. Sudah cukup aku menyaksikan kebiadaban kalian menyiksa rakyat tak bersalah demi kepuasan kalian. Kukira Yahudi benar-benar menjadi juru damai dunia. Kalian tak lebih dari seekor anjing berkepala dua. Sudah cukup kesenanganmu menghina agama Allah. Sekarang kau bisa lihat, kebenaran yang akan berkibar. Islam yang menang. Bukan kau, penjahat. Selamat tinggal jendral perang yang agung,” jawab Josh agak berteriak.

Ia pun berlalu meninggalkan Carlivan yang memberontak. Fakhrul Ahsan mengikutinya. Matanya hampir leleh dengan air mata. Selamat datang Al Jarrash. Islam kembali bangga, sama seperti ketika Sayyidina Umar Bin Khathab menerima hidayah. Sungguh, Engkau memberi hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki, Rabb.

***

“Semua pasukan di Gaza telah ditarik. Juga di timur Palestina. Carlivan mendengar saranku untuk menarik pasukan karena Fakhrul telah tertangkap. Alhamdulillah. Perdana menteri kejam itu mungkin telah gila di penjara yang ia buat sendiri. Tidak akan ada yang tahu ia ada di sana kecuali kalian. Aku telah mengurusnya. Yang mereka tahu, Carlivan kabur dari jabatannya karena malu reputasinya telah hancur,” jelas Jarrash di majelis itu.

Semua yang hadir berteriak takbir dan dzikir. Air mata mereka mengalir. Semua bersujud di hadapan Allah atas apa yang telah Allah kirimkan kepada mereka.

“Semoga Allah merahmatimu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah memilihmu menjadi orang-orang yang ikhlas berjuang di jalan Allah,” doa seorang tua yang akrab dipanggil Syekh Abdurrahman As Shidiq kepada Jarrash.

“Hanya itu yang bisa aku lakukan, Syekh. Dosa-dosaku terlalu banyak. Tangan ini telah membunuh jutaan nyawa. Telah merampas ribuan kehormatan. Aku merasa tak pantas untuk diampuni.” Kini giliran Jarrash yang menangis.

“Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Jika kau benar-benar ingin bertaubat, Allah pasti akan mengampuni. Seorang Umar pun juga melakukan kesalahan yang juga nista sebelum hidayah datang padanya. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang bertaubat dan berbuat kebaikkan. Malah ia yang menjadi mujahid terdepan dan menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah saw,” hibur Syekh Abdurrahman.

Jarrash benar-benar bersyukur bisa diselamatkan oleh Allah. Ia terbayang saat dia hendak menangkap Fakhrul Ahsan. Senjatanya telah siap ingin menembus dadanya. Namun, tiba-tiba sabetan pedang menghantamnya dari belakang. Beberapa orang mengeroyoknya. Ia tak kuasa melawan.

Ia benar-benar merasa itu akhir hidupnya. Seorang di antara mereka berbalik hendak menghujamkan pedang ke dadanya. Namun, sebuah tangan menahan. Tangan dari orang yang tadi hendak dibunuhnya.

“Jangan. Rasulullah melarang membunuh karena emosi. Kau sedang marah Zaid. Lagipula, dia sudah tidak berdaya. Tidak baik melawannya,” ujar Fakhrul Ahsan.

Hati Jarrash benar-benar tertegun. Muslim yang ia kira selama ini tak berperikmanusiaan, ternyata membawa ajaran yang baik. Jarrash meminta mereka untuk mengobatinya, karena ia sudah tak sanggup berjalan. Jarrash benar-benar terpukau oleh keindahan akhlak mereka. Jauh dari kesan teroris yang diumbarkan dunia barat.

“Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Kalian duluan yang menyerang kami, tentu saja kami mempertahankan diri. Kami adalah bangsa yang mempunyai izzah. Kami tidak takut kecuali kepada Allah. Kami akan terus bertahan hingga apa yang menjadi hak kami kembali. Kami yang dirampas, kami yang dizhalimi, bukan kami yang teroris,” ujar Fakhrul Ahsan menjelaskan kepada Jarrash.

Setetes embun menyusup ke hatinya. Sangat damai. Dengan mantap, ia memproklamirkan kemuslimannya di hadapan Fakhrul Ahsan. Ia telah bersyahadat dan merubah namanya menjadi Umar Al-Jarrash.

Bintang tersenyum melihat hamba-hamba Allah malam itu bersujud dan bemunajat kepada Allah. Ia iri pada khalifah di bumi, yang dibanggakan Allah di hadapan malaikat dan seluruh alam. Keikhlasan mereka, menambah terang panji Agama Allah yang berkibar di seantero alam. Bintang ikut bertasbih, memuji kebesaran-Nya. Rabbul seluruh Alam.


Jambi,

18 Agustus 2007

For kakakku, Mei Sarah..

Syukron inspirasinya.

Selengkapnya...

Azan Ashar sudah lama menggema. Para penghuni masjid, tampak telah usai menunaikan panggilan Rabb mereka. Satu persatu, masyarakat yang ikut melaksanakan shalat Ashar bersama, meninggalkan masjid. Namun tidak semua yang berlalu, masih ada sekitar 20 pemuda yang tampak enggan melangkah keluar mesjid.

Pemuda-pemuda tersebut tanpa dikomandoi langsung membentuk lingkaran. Menanti pimpinan mereka yang belum selesai membaca kitab suci Al-Qur’an. Terlihat guratan semangat dalam wajah mereka untuk merebut kembali kedamaian mereka yang dirampas oleh penjajah biadab.

Setelah puas ‘berbincang’ dengan Rabb-Nya, pemimpin yang dinanti langsung menggabungkan diri ke dalam lingkaran. Semua orang tersenyum menyambut, selalu ada kekuatan semangat jika telah bertemu sosok ini. Sosok yang sangat di takuti keberadaannya oleh tentara Belanda.

Pertemuan itu pun dimulai. Setelah bertahmid dan bershalawat, Ahmad Farhan, pemimpin para pemuda itu langsung menuju ke topik pembicaraan.
“Serangan kita selanjutnya adalah markas besar Belanda yang ada di Sungai Penuh, masih dengan cara yang sebelumnya. Saya harap penyerangan ini akan memukul mundur penjajah dari Sungai Penuh. Jika daerah itu sudah kita kuasai, hubungan kita dengan luar Jambi akan berjalan lancar. Kita bisa menguhubungi pejuang-pejuang lain di kota Padang, untuk membantu membebaskan Sarolangun, Bangko dan Tebo.” Ungkap Abdul Aziz panjang lebar.

Terlihat semua pemuda disana begitu khidmat mendengarkan keterangan dari pemimpin mereka. Mereka hanyalah satu dari banyak kelompok kecil lainnya di Bumi Sakti Alam Kerinci yang menentang kedatangan Belanda ke Jambi. Di luar sana, masih banyak lagi kelompk kecil lainnya yang disebut oleh penjajah Belanda sebagai pemberontak. Saat mereka sedang serius membicarakan strategi apa yang harus dijalankan besok, tiba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Sekujur tubuhnya bersimbah darah.
“Assalamu’alaikum... Ustadz.Farhan, Adaoa marsose kek perbatasan, uhang tuh nak ki niek, lari keh..”(1) ujar laki-laki tua itu. Semuanya terpana dalam keterkejutan.
Dengan perintah Ustadz. Farhan, begitu warga kerinci memanggilnya, beberapa pemuda langsung membawa laki-laki tua itu ke rumah penduduk setempat.

Menurut laki-laki itu, serdadu Marsose dengan brutal menembaki rakyat yang tidak mau memberi keterangan dimana Ahmad Farhan berada. Marsose adalah sebutan untuk tentara bayaran Belanda yang ditugaskan mencari otak dari pemberontakan di berbagai daerah di Nusantara.
***

“Kamu geriliyawan ya...!”, bentak Marsose bengis sambil menghunus bayonet ke dada Iskandar matanya yang tajam menahan geram.

“Saya Petani, Tuan” jawab Iskandar. Sebelum menjadi pengikut Ahamad Farhan, ia memang seorang petani.

Saat Belanda mulai masuk ke Kerinci, Iskandar muda sudah sering melihat kebengisan penjajah. Puncaknya, saat ayahnya yang menolak bergabung dengan para pengkhianat disiksa oleh tentara Belanda. Didepan matanya, tubuh ayahnya diseret oleh penjajah dengan jip hingga tewas. Ibunya, di nodai dan dibunuh didepan matanya. Ia berhasil kabur saat itu, saat tangan sang paman membawanya pergi ke hutan.

Iskandar yang masih shock dengan apa yang ia lihat hanya pasrah ketika adik ibunya itu membawanya menjauh tanpa sepengetahuan serdadu penjajah. . Di tempat pengasingan ia dikenalkan dengan Ahmad Farhan. Sejak saat itu, dirinya resmi menjadi anggota geriliyawan.

“Kamu tahu dimana Ahmad Farhan, hah!” bentak yang lain. Hanya ada lima tentara Marsose di ruangan itu.

“Tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa-apa kecuali tentang sawah” jawab Iskandar. Penampilan para pengikut Ahmad Farhan, memang layaknya seorang petani. Hal ini bertujuan agar tentara Belanda tak curiga.

Salah seorang Marsose menuju ke arah Iskandar sambil menghunuskan pisau. Disaat seperti ini, pemimpinnya mengajarkannya untuk tetap tenang.
Allah, sungguh aku tidak takut dengan kematian. Aku hanya takut padaMu. Lindungi hambaMu ini ya Rabb.... Berikan kekuatan kepada hamba, untuk selalu ada di jalan juang ini... Batin Iskandar sibuk berdoa dan berdzikir.

Paras mukanya tetap datar. Hal ini lah yang membuat Penjajah Belanda bingung. Dari sekian banyak pemberontak yang di tangkapnya, tak satu pun dari mereka yang mau berkerja sama. Tak satupun dari mereka takut dengan ancaman-ancaman mengerikan yang mereka lontarkan. Meskipun, penjajah dengan kejam menyiksa mereka, mereka tetap kukuh dengan pendiriannya. Bahkan, saat kematian menjadi alternatif terakhir yang diberikan penjajah kepada mereka, mereka tetap bisa tersenyum. Seolah itulah yang mereka nantikan.

“Tadi Ahmad Farhan, shalat bersamamu kan?” tanya mersose itu sambil mengiriis pundak Iskandar dengan belatinya. Iskandar menjerit tertahan menahan sakit.

“Jangan siksa saya. Saya petani, Tuan” Iskandar masih bersikukuh. Dzikir di hatinya semakin memacu. Allah.... lindungi hamba...
Marsose yang tampak bosan dengan aksi diam Iskandar berdiri dan memerintahkan mersose yang lain untuk bertindak.

“Bawa dia ke rumah siksaan” ujarnya.
***
Iskandar tampak tenang saat tentara Marsose, membawanya dengan kasar. Ia di bawa ke sebuah rumah yang cukup luas dengan halaman yang tak terurus, rumput dan ilalang tumbuh dimana-mana.

“Ayo masuk” bentak seorang tentara. Iskandar terungkur saat Marsose penjajah mendorongnya lagi dengan lebih kasar. Tertatih dia berdiri sambil menahan sakit di dada bekas dihantam bayonet Marsose, belum lagi luka menganga di pundaknya yang tadi di sayat oleh Marsose lain.

Ruangan rumah itu cukup lebar dari sudut-sudutnya tercium bau anyir. Bau darah manusia. Iskandar pernah mendengar tentang rumah ini dari Ahmad Farhan, rumah penyiksaan bagi pejuang-pejuang Kerinci yang memberontak terhadap tentara Belanda. Di dinding dan lantai rumah itu, terlihat bercak-bercak darah yang telah membeku. Sangat ketara bahwa telah terjadi penyiksaan terhadap para tahanan disini.
Iskandar di masukan secara paksa ke salah satu kamar di rumah itu. Kesan pertama saat baru memasuki kamar itu adalah pengap, sepertinya sengaja dikondisikan demikian untuk menekan keberanian tahanan secara psikologis. Udara yang tak bergerak dalam ruangan membuat bau anyir darah manusia menyesakkan ruang pernapasan Iskandar, terbatuk ia menangapi hawa aneh dari ruangan itu. Untungnya, dengan segera ia dapat menyesuaikan diri.

Dia tak sendirian diruangan itu. Di sudut ruangan ada seseoarang yang terbaring lemah. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kelihatannya ia baru saja disiksa.
Iskandar tak tahu, orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Ia batalkan kehendaknya menghampiri orang itu, karena teringat ia belum shalat Magrib. Iskandar bergegas mencari daerah yang menurutnya cukup bersih, dan bertayamum disana. Kemudian, shalat magrib dilanjutkan dengan membaca Al-Quran. Anggota pasukan geriliyawan pejuang muda Kerinci pimpinan Ahmad Farhan memang dituntut untuk menghapal Al- Qur’an.

Dengan lirih dia membaca ayat demi ayat surat At-Taubah. Jiwanya menggigil saat membaca ayat peringatan dari sang pencipta. Peringatan yang keras apabila hambaNya menolak untuk berjihad. Namun disaat yang lain, Iskandar kembali bersemangat saat ayat-ayat berisi ampunan dan balasan yang akan diperoleh, selama dia tetap berada dalam jalan juang ini, untuk menegakkan yang haq dan meruntuhkan yang batil.
Saat melantunkan ayat-ayat suci, pipi Iskandar yang menghitam basah oleh deraian air mata, lisannya lirih dalam dzikir dan munajat kepada Allah. Dalam kenikmatan mengadu itu, ia menyadari bahwa Isya pun telah bertandang. Iskandar menunaikan kewajibannya dengan begitu khusyuk.

“Tak ada gunanya shalat disini” sebuah suara mengejutkan Iskandar, yang baru saja menutup ibadahnya dengan doa.

Iskandar menatap pemuda itu, kira-kira lebih muda dari usianya. Iskandar tersenyum dan melangkah menghampiri sang pemuda. Tangannya terjulur, mengajak pemuda itu berkenalan.

“Aku Iskandar. Kayo(2) siapa?” sapa Iskandar ramah. Pemuda berwajah letih itu menyambut uluran tangan Iskandar, nyaris tanpa senyum.

“Darma” jawab pemuda itu singkat. Posisi pemuda itu tak lagi terbaring. Entah kekuatan dari mana dia bisa mendudukan badannya.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Iskandar, setelah duduk disebelah pemuda bernama Darma itu.

“Dulu aku juga sepertimu. Mengharap perlindungan Tuhan, dari penyiksaan-penyiksaan Belanda. Shalat dan ibadah lainnya tak pernah tinggal. Namun lama kelamaan aku baru sadar, bahwa Tuhan itu tidak akan membantu orang-orang seperti kita. Dia hanya mau membantu orang-orang seperti Marsose kejam itu” jelas Darma. Nada bicaranya mengisaratkan bahwa dia sangat benci dengan penjajah.

Iskandar hanya tersenyum menjawab pertanyaan pada pemuda itu. Namun, sekilas ada perasaan ngeri di hatinya. Akankah ia tak bisa mempertahankan pendiriannya? Akankah dirinya akan menjadi pengkhianat negara dan agamanya?

“Kau salah teman. Allah itu selalu menolong hambaNya yang benar. Tapi, sudahlah. Ngomong-ngomong sepertinya kau sudah lama ada di rumah ini?” tanya Iskandar mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membuat emosi teman barunya ini meluap lagi.
“Tiga bulan yang lalu. Saat desaku dijarah oleh Marsose sialan itu. Aku tertangkap setelah meludahi muka Marsose yang hendak menodai adikku.” Jawabnya. Matanya menatap Iskandar kosong. Seolah sedang membayangkan peristiwa yang sepertinya cukup membuatnya murka.

“Maaf. Aku tak bermaksud mengingatkan kenangan yang kau alami,” kata Iskandar sopan. Pemuda itu, untuk pertama kalinya tersenyum. Terlihat satu gigi depannya patah. Iskandar mengira, pasti karena siksaan penjajah.

“Tidak apa-apa. Kalau kau? Kenapa bisa ada disini?” tanya Darma. Kelihatannya dia mulai bisa bersahabat.

“Kalau aku, tertangkap karena mereka melihatku shalat berjamaah dengan Ahmad Farhan,” jawab Iskandar.

“Heh, Ahmad Farhan rupanya. Pejuang licin yang sering menjadi bahan perbincangan para Marsose disini,” sahut Darma. Suara gebrakan pintu kamar ruangan itu, membuat mereka berhenti berbicara. Seorang Marsose masuk dan membawa sebuah ember. Ia melemparkan ember itu sekenanya. Darma yang sepertinya telah terbiasa dengan hal itu, mencoba menangkap embernya. Untungnya berhasil.

“Itu makan malam kalian. Jangan ada suara. Aku mau, jika nanti aku kesini lagi, ember itu telah kosong dan mata kalian telah terpejam,” kata Marsose singkat. Setelah pintu tertutup, Iskandar menatap Darma yang ingin memulai makan.
Ember itu berisi nasi yang telah dilembekan oleh air. Iskandar menahan mual diperutnya. Itu seperti makanan anjing pemburu para petani Kerinci.

“Kau tak usah jijik. Hanya inilah sumber kekuatan kita nantinya. Mereka hanya memberikan makanan kepada kita hanya malam hari” kata Darma. Diraupnya nasi berair itu dengan tangannya yang memerah karena darah. Di wajahnya tak terlihat guratan jijik sedikitpun. Sedangkan Iskandar, sudah hampir muntah dibuatnya.
Setelah agak lama makan dari ember itu, Darma kembali menatap Iskandar.

“Aku tahu kau tidak biasa dengan makanan ini. Tapi, seperti itulah disini. Mereka memang memperlakukan kita seperti binatang. Makanan anjing ini buktinya. Kalau kau tak mau makan, aku habiskan” kata Darma. Iskandar menggeleng lemah. Nafsu makannya telah hilang. Seperti orang yang tak makan berhari-hari, Darma meraup lagi makanan itu.

Iskandar memilih membaringkan tubuhnya. Lebih baik ia menistirahatkan tubuhnya yang telah lelah.
***

Iskandar menahan sakit di tangan kirinya, yang dipanggang Marsose diatas bara merah tadi. Kulit yang memerah mengelupas dikipasnya perlahan.

“Biarkan saja luka itu. Lama-lama juga kering” sambut Darma. “Aku juga pernah mengalami itu”.

Iskandar meringis. Ia hanya menurut pada saat seorang Marsose membawanya sehabis shalat subuh. Iskandar hanya pasrah dengan apa yang mereka sebut sarapan.
Lisan Iskandar terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah ingin melupakan sejenak rasa pedih ditangan kirinya.

“Aku heran. Kenapa sih tak kau beri tahu saja Ahmad Farhan berada. Kalau aku punya kesempatan sepertimu, sudah pasti aku tinggalkan neraka ini” tanya Darma. Tangannya membantu Iskandar mengipas-ngipas lukanya.

“Karena Allah”jawab Iskandar. “Aku lakukan semua ini karena Allah” lanjutnya.

“Apa hubungannya Allah dengan semua ini? Kau lihat, Allah sama sekali tidak membantu kita. Kita sudah kalah Bung. Indonesia sudah kalah” bantah Darma.

“Allah pasti membantu kita Darma. Mungkin saat ini Dia belum mengijinkan kita untuk menang. Tapi yakinlah, kebenaran itu pasti menang”kata Iskandar tenang.

“Iya. Tapi kapan? Sampai kiamat? Kita ini sudah dijajah Bung. Sangat mustahil bisa bebas” kata Darma emosi.

“Insya Allah Dar. Insya Allah. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah. Dia tidak akan mengingkari janjiNya. Suatu saat pasti kita kan bebas. Mungkin, saat ini Allah ingin melihat siapa saja hambaNya yang ikut berperan dalam kemenangan itu. Siapa saja yang ingin membela agama dan bangsanya. Dan tentu saja, kau tak mau jadi orang yang merugi kan?” kata Iskandar.

Darma terdiam mencermati kata-kata Iskandar. Betapa teguh pendirian pejuang ini. Seandainya semua orang memiliki pendirian seperti dia, tentu kemenangan itu akan terwujud.
***
Tinggal semalam saja dirumah ini, cukup membuat para tahanan yang tak tahan uji untuk buka mulut. Setiap waktu tak henti-hentinya suara pekikan tahanan yang disiksa oleh penjajah Belanda membahana keseluruh penjuru rumah. Kadang suara laki-laki, tak jarang perempuan, orang tua, bahkan pernah pula terdengar suara anak kecil yang menangis memanggil ibunya. Iskandar paham betul bagaimana perasaan anak itu, sebagaimana yang ia rasakan ketika orang tuanya di bantai oleh penjajah biadab. Semakin berkobarlah kebenciaannya pada Penjajah Belanda.

Malam ini, dengan tubuh lemah dan muka babak belur di kamarnya, Iskandar mendengar teriakan dari seorang pemuda yang telah seminggu ini menjadi temannya. di ruang penyiksaan. Teriakan memelas, diiringi derai tawa dari Marsose. Iskandar teringat tentang apa yang dilakukan Marsose tadi padanya. Didudukan di sebuah kursi dengan tangan terikat, muka disunsut rokok, kuku ibu jarinya dicabut, lalu luka-luka yang baru itu ditaburi garam halus. Pedih, tapi takkan sepedih azab Allah yang Maha Adil di akhirat nanti untuk mereka yang mendustakan hari pembalasan.

Setelah satu persatu tentara Marsose puas menghajarnya, Iskandar kembali disuguhi
pertanyaan dimana Ahmad Farhan berada. Namun ketakutannya pada Allah lebih besar dari rasa takutnya pada Marsose itu. Dengan hati yang terus berdzikir dan lisan yang hanya menjerit menahan rasa sakit disekujur tubuh, ia tetap bungkam. Keputusan tetaplah keputusan. Bagi seorang pejuang seperti Iskandar, pantang mengambil keputusan karena makhluk. Keputusan karena Allah, tentu saja lebih mereka pertahankan, keputusan yang kadang beresiko tinggi. Besok eksekusi matinya digelar.

Iskandar tak ingin menambah dalam sakit batinnya mendengar teriakan mengiba itu, ia sengaja melayangkan pikiran untuk sedikit meredam kepedihan. Seandainya Iskandar tak tertangkap oleh tentara Marsose saat penyerbuan di masjid itu, mungkin malam ini ia sedang bersantap malam dengan teman-temannya di hutan sana, menikmati gurihnya ubi bakar atau singkong rebus yang diiringi dengan serita sedih atau lucu para geriliyawan lainnya.

Setelah makan malam, biasanya pemimpin mereka memanggil mereka untuk membicarakan apa yang akan mereka lakukan malam itu. Selalu saja ada rasa ingin tahu dari para pejuang, siasat jitu apa lagi yang akan diutarakan oleh sang pemimpin. Setelah rapat kecil itu selesai, mereka mulai menjalankan tugas. Di tengah malam, saat semua orang mulai lelap termasuk penjajah Belada yang mulai lengah terbuai sejuknya tiupan angin malam, mereka beraksi. Dengan bambu runcing di tangan, para geriliyawan merayapi tanah hitam yang lembab.

Saat waktunya telah tepat, Pemimpin mereka, Ahmad Farhan, akan memberikan kode suara burung hantu tiruan. Tentu saja, hanya mereka yang mengerti. Setelah itu, mereka yang sebelumnya telah mengepung tempat itu menyerbu Kamp Belanda dari segala penjuru. Penjajah yang kaget mendapat serang tiba-tiba hanya bisa menembakan perulu secara membabi buta.

Tentu saja itu sudah di perhitungkan. Berkat latihan yang di berikan oleh panglima mereka, dengan mudah mereka menghindari peluru-peluru yang berseliweran tanpa arah. Cukup dengan melempar bambu runcing yang sedari tadi mereka pegang, begitu senjata sederhana itu menancap didada penjajah, mereka rampas senjatanya. Setelah membebaskan tahanan, mereka kabur kehutan sebelum tentara bantuan datang. Sederhana, namun cukup membuat pertahanan Belanda kocar-kacir.

Itulah yang selama ini menggeramkan Belanda. Para geriliyawan, yang hampir semuanya adalah penduduk asli Kerinci, lebih menguasai medan, terlebih lagi hutan. Mereka dapat dengan mudah bersembuyi di hutan atau menyamar sebagai penduduk biasa. Wajarlah mereka menjadi buruan nomor satu tentara Belanda di Kerinci. Terlebih, pimpinan mereka, Ahmad Farhan, pria muda yang dikenal sebagai ustadz di desa-desa di Kerinci namun dikenal juga dengan pemberontak terlicin oleh Belanda.

Memang, masih banyak Ahmad Farhan - Ahmad Farhan lainnya di masa itu. Namun tentara Belanda lebih takut kepada sosok cerdik ini. Penyamarannya yang lihai sering kali menipu tentara lainnya. Walaupun telah bertatap muka langsung, penjajah Belanda sering terkecoh karenanya. Siasatnya yang jitu, benar-benar memporak porandakan pertahanan Belanda.

Huh, Iskandar mendesah. Tidak, ia tidak boleh menyesal. Toh, jika besok tiba ajalnya, ia lebih suka mati dalam keadaan seperti ini. Iskandar kembali teringat kata-kata sang pemimpin, orang yang terus berada dalam jalan kebenaran hingga maut menjemputnya, ada balasan yang tidak tanggung-tanggung; surga, yang hanya didapatkan oleh orang-orang terpilih.

Tiba-tiba suara teriakan Darma menjadi senyap.

“Buang dia ke hutan” terdengar sayup suara bariton dari kejauhan. Degup jantung Iskandar kembali berdebar. Tak terasa, air hangat di matanya mengiringi kepergian sang sahabat.
***
Siang itu, matahari menjadi garang, sinarnya yang terpancar seolah memberi gambaran marahnya tentang kezhaliman yang di lakukan oleh sekelompok makhluk. Makhluk remeh yang tak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Pencipta. Makhluk yang sombong, hanya karena kekuatan semu yang dimilikinya.

Di tengah terik, para Marsose bengis itu masing-masing menyandang senjata kebanggaan, dengan pongah mereka menatap mangsa baru yang hendak diserahkan pada maut.

“Kau masih tak ingin mengatakan dimana Ahmad Farhan, heh?” ancam seorang Marsose kepada Iskandar.

“Maaf, Tuan, saya tidak tahu. Saya benar-benar petani, Tuan” jawabnya.
BUG !!!

Satu hantaman telak mengenai mata yang telah balu sebelumnya. Iskandar meringis,
makin kencang dzikirnya di hati.

“Dengar, orang kampung! Kami masih berbaik hati padamu. Satu kali kesempatan lagi kami berikan padamu. Jika kau masih tetap diam, kau tak kan tau dari senjata mana peluru yang masuk ke jantung mu” bentak Marsose. Tentara penjajah lainnya, tertawa beriringan, seolah pagelaran komedi sedang menghibur mereka.

“Saya benar-benar tidak tahu, Tuan, saya petani”jawab Iskandar lagi.
Allah, seandainya sebentar lagi hambaMu ini Engkau panggil untuk menghadapMu, hamba siap Ya Allah... Ridhai perjalanan hambaMu ini. Hamba serahkan segalanya, namun jika waktunya bukan sekarang, selamatkan Hamba, Ya Rabb......

“Baik kalau kau pilih begitu. Dasar orang kampung bodoh! Rey, tutup matanya” intruksi Marsose itu.
Iskandar hanya bisa memberontak lemah mencoba melepas ikatan tangannya yang tertempel pada kursi yang ia duduki. Sia-sia, ikatan itu begitu kuat. Marsose yang dipanggil Rey menutup mata Iskandar. Dengan tenaga yang tersisa, Iskandar mencoba membuka ikatan itu tapi gagal lagi.

Seketika, dunia menjadi gelap di mata Iskandar. Yang terdengar hanya derai tawa para Marsose yang ada di hadapannya tadi, seolah ingin mengejek tentang pilihan yang ia putuskan.

Iskandar memejamkan matanya yang telah gelap. Allah, ampuni hambaMu yang tak bisa meneruskan perjuangan ini... Hamba benar-benar pasrah pada ketentuan Mu..
Suara tembakan akhirnya terdengar juga, ia pejamkan matanya kuat-kuat menyambut peluru itu. Dzikir di lisan dan hatinya semakin memacu.
Suara tembakan semakin terdengar brutal. Iskandar merasa waktu berjalan lambat.

Kemudian dia tersadar, kalau peluru-peluru itu bukan mengarah kepadanya, meski desingan timah panas terasa melewati.
Tak lama, terdengar suara teriakan kesakitan, ia tak tahu itu suara siapa. Ada apa ini? Iskandar heran, kenapa sebutir peluru pun tidak menembus tubuhnya. Apa yang terjadi?
“Allahu Akbar !!”

Di tengah golakan batinnya yang terus menjerit menuturkan pertanyaan-pertanyaan, terdengar olehnya pekikkan takbir yang bersahut-sahutan. Sepuluh orang, dua puluh orang, ah mungkin lebih.

Tiba-tiba suara di sekitarnya menjadi gaduh. Batinnya masih tak mengerti apa yang terjadi. Tunggu, suara takbir pertama tadi? Jangan-jangan itu suara Ahmad Farhan.
“Serang !!!”

Terdengar suara lagi. Kali Iskandar kenal suara itu. Itu suara penjajah yang mengintrogasinya tadi. Mendadak suara menjadi bergemuruh. Tak berapa lama, ikatan tangannya mengendur, ada yang melepaskannya. Setelah tangan penuh luka itu terbebas, segera Iskandar melepas penutup matanya.

Allahu Akbar!! Terlihat pemandangan ajaib dimatanya. Tentara Marsose yang hanya sekitar 20 orang diserang oleh manusia ratusan orang. Siapa mereka? Pasukan Ahmad Farhan, tak sebanyak ini.

“Assalamu’alaikum, kau tidak apa-apa?” sapa suara yang tak asing baginya, pemilik suara itu rupanya yang melepaskan ikatan tangan iskandar.

“Alaikumsalam Ustadz. Alhamdulillah tidak apa-apa” jawab Iskandar. Senang rasanya bisa bertemu sosok ini lagi.

“Ustadz, tahanan telah di bebaskan” teriak seseorang dari belakang. Ahmad Farhan mengangguk.

“Mundur!!!” teriaknya membahana.

“Allahu Akbar” jawab seluruh pasukan serentak.
***
“Salah satu geriliyawan mendengar, kalau kau akan di hukum mati siang ini. Kami, yang semula akan menyerang nanti malam terpaksa mengatur strategi baru. Tapi dengan pasukan yang jumlahnya hanya sedikit ini, tak mungkin bisa melawan penjajah yang kuat di siang hari. Untunglah penduduk disini, yang sudah gerah dengan tingkah penjajah mau membantu” kata Ahmad Farhan menjelaskan.

Mereka saat itu tengah berkumpul di Masjid, setelah menunaikan shalat zuhur berjamaah. Iskandar tertunduk mensyukuri semua pertolongan yang telah Allah berikan kepadanya. Batinnya terus melayangkan doa kepada Allah, bersyukur akan kesempatan berjuang yang masih disediakan. Suatu saat, ia akan menceritakan kisah perjalanannya kepada generasi penerusnya. Tentang biadabnya para penjajah yang merampas tanah ini. Tentang, perjuangan para mujahid yang bukan sekedar pahlawan.

Kamis, 10 Agustus 2006
Azizah Yuindra
(1) Ada Marsose di perbatasan, mereka sedang menuju ke sini, cepat lari.
(2) Kamu
Selengkapnya...

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.