Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Kenapa bisa berbeda?
Kurasa banyak yang berubah. Ternyata sudah dua tahun lalu,ketka aku dan teman-teman masih melingkar dan rapat di teras masjid Ar-Raudhah. Membicarakan angan-angan, celotehan, impian, candaan bahkan teriakan. Menulis semua cita kami, ingin mewujudkannya dengan sebuah acara megah, tertawa melihat isi dompet yang ternyata nol, dan beroptimis bahwa “ Allah kan kaya!”
Mengingat satu persatu mata orang yang telah pergi meninggalkan kenangan itu. Keramahannya, keceriaannnya, kasih sayangnya, bahkan kemarahannya. Semua sungguh kurindu. Ketika tangis kami menyeruak di suatu subuh, meneriakkan kekhilafan kami atas salahnya motivasi. Saat derum motor kami membelah langit jambi, entah untuk memeriahkan walimahan teman, menjemput salah satu kawan, ngebut-ngebutan menghindar tilangan, atau hanya untuk pergi jalan-jalan ke seberang sungai. Saat candaan  irinya kami melihat seorang akhwat, saat gelak tawa ketika setitik kekonyolan datang, atau bahkan rapatnya pelukan saat salah seorang berduka. Saat dengan lantang kami melawan bahkan memberontak.  Aku rindu.
Di pojok lain, suasana itu. Ramainya interupsi dari sebuah sidang, rapat kerja, bahkan forum istimewa. Ketika bersitegang bahkan bentakan terucap. Ketika seorang akhwat menangisi kerasnya kepala mereka. Dan aku hanya diam menahan marah. Lalu sesudahnya, semua hanya jadi alasan untuk kami tertawa. Macan kampus masih terus mengaum.  

Seperti kusebut tadi, ada yang berubah. Satu per satu wajah itu pergi. Mundur dan menghilang dari kenangan masa kini. Wajah-wajah baru yang tak sama dan tak kan pernah sama mulai bermunculan. Gaung suara itu telah tergantikan, mengutip ucapan dari teman, “ apa yang kami tanam, telah diganti bahkan dicabut orang.”  Genggaman tangan mengendur bahkan derum motor kami pun mati.
Macan kampus itu tak lagi punya gigi, bahkan serak. Tak berani lagi menatap mata pimpinan sidang, bahkan tak pernah lagi hadir dalam tiap forum mereka. Maaf, aku benar-benar belum mengerti kenapa semua itu bisa terjadi. Semua amanah itu terasa sangat berat dan tak lagi senikmat dulu. Kalian mau marah? Silakan marah. Bukan tak pernah kubaca tiap tausyah yang kalian kirim. Atau bukan aku tak merasa setiap tatapan kecewa yang kalian layangkan tiap kali memandangku lewat.
Tidak, aku tidak berubah. Kalianlah yang berubah. Idealisme kutetap yang dulu. Masih sama saat aku masih berani menunjuk bahkan mengancam hidung orang-orang yang memusuhi kita. Hanya saja, dalam suatu renungan malamku, baru aku temukan jawabannya. Konyolnya, jawaban itu sudah pernah tersebut saat awal aku menginjakkan kaki di dunia kalian. Murabbiku dulu berkata “ Suatu saat nanti, kalian akan mengerti. Seiring bertambahnya usia kalian, maka tantangan dakwah akan semakin berbeda. Lingkungan yang baru, situasi yang baru, bahkan musuh yang baru. Kumpulkan bekal itu dari sekarang, hingga suatu saat, ketika muncul pengganti-pengganti kalian, kalian akan siap melepas mereka melanjutkan estafet ini, dan juga siap melangkah menuju dakwah baru yang tak akan sama dengan saat itu.”
Dalam tangis aku mengerti, dan aku memahami. Saat ini mahasiswa baru yang dulu aku dan teman-teman kenalkan dengan materi awal “ma’rifatullah” dan “ukhuwah islamiyah”, siap menjelaskannya kembali dengan calon pengganti mereka. Aku mengerti kemana wajah orang-orang yang sangat aku sayangi itu pergi, meninggalkan kenangan atau malah bekal dalam kehidupan mereka selanjutnya. Aku menyadari, bahwa detik ini aku sudah semakin tua.
miss this forum
Selengkapnya...

“Esti, belajar fisika yuk. Aku masih banyak yang nggak ngerti nih,” kataku ketika bel istirahat berbunyi. Beberapa teman tampak bergairah keluar ruangan. Namun, ada yang memilih tinggal, seperti aku.

“Males ah. Sendirian aja ya,” jawabnya. Tangannya mengeluarkan N-Gagenya dan mulai menghidupkan mp3, sehingga mengalir alunan lagu yang tak kukenal.

“Ayo lah. Besokkan ulangan. Kerjain pe-er barusan aja yuk. Kan kata Bu Asma kemungkinan soalnya kayak gini,” lanjutku.

“Duh, males yu. Sama Ati aja. Tuh dia lagi ngerjain pe-er juga,” kilahnya.
Aku bingung menatap teman sebangkuku ini. Aku tahu otaknya sangat cerdas kalau dia mau berpikir sedikit.

“Ih, ni anak. Emang udah ngerti ya? Ulangan kemaren remidial. Mau ulangan yang ini remidial juga?” tanyaku.

“Duh, nggak usah diungkit-ungkit deh. Kayaknya emang udah takdir aku jadi orang bego,” jawabnya santai. Dengan perlahan ia bangkit dari sebelahku dan berjalan santai keluar dengan mulut bersenandung mengikuti alunan lagu dari mobile phone nya.

Aku terus menatapnya hingga langkah kakinya menghilang di balik pintu. Sebegitu sempitnya ia mengartikan takdir.

“Esti kemana yu?” tanya seseorang disebelahku mengaggetkan.
Reflek aku memandang ke sebelah. Wajah tirus Ati tersenyum manis.

“Tau tuh. Paling ngumpul sama temen-temen gengnya,” jawabku singkat.
Ati mengambil sebuah novel yang tergeletak begitu saja di meja Esti dan mulai membacanya. Aku melanjutkan mengerjakan pe-er fisika yang diberikan Bu Asma tadi. Untungnya soalnya tidak begitu sulit. Tinggal dimasukkan ke rumus.


“Ti, liatin dong. Bener nggak?” Kusodorkan buku tulisku ke arah Ati. Novel yang ia baca diletakkan kembali ke atas meja.

“Hmm, ada yang salah yu. Inikan jaraknya bolak-balik. Jadi dikalikan dua dulu baru dikalikan dengan konstantanya,” jawabnya singkat.
Aku menepuk jidadku. Oh, iya lupa. Dengan cepat aku membenarkan pe-erku.

“Makasih Ati. Nggak salah kamu jadi siswa terpintar di kelas ini,” pujiku. Dia tersenyum. “Kok nggak ke kantin?” lanjutku.

“Hahaha. Kamu menghina, Yu? Aku kan bukan orang kaya. Kalaupun ada duit, mending aku kumpulin buat spp,” candanya.

“Ah, kamu segitunya,” responku.

“Lha iya. Kalau kata bapakku, ditakdirin jadi orang miskin, ya miskin aja. Nggak usah sok kaya ngabis-ngabisin duit segala,” lanjutnya sambil tertawa.
Ati berdiri dan kembali ke bangkunya. Aku masih memutar perkataan terakhirnya. Apa benar takdir diartikan secara demikian?

Aku bukan tak percaya pada takdir. Jelas itu adalah salah satu rukun iman. Salah satu rukun iman adalah beriman terhadap qadha dan qadar (HR Muslim). Qadha dan qadar inilah yang biasa disebut orang sebagai takdir. Seperti yang Esti bilang, bahwa sudah takdirnya menjadi orang bego. Atau seperti yang diucapkan oleh Ati tadi, sudah takdirnya menjadi orang miskin. Benarkah takdir itu seperti yang mereka bilang?

Takdir bisa dikatakan hal gaib. Maksudnya, kita tak bisa mengetahui seperti apa wujud takdir itu sesungguhnya dan kita sama sekali tidak mengetahui seperti apa takdir yang akan menimpa kita. Jelas, hanya Allah saja yang mengetahui seperti apa nasib kita kemudian. Dan kita wajib menerima apa yang ditakdirkan Allah itu dengan ridha dan tawakal.

Inilah yang sering ditangkap salah oleh masyarakat. Mereka dengan pasrahnya menerima apa yang mereka sebut takdir. Misalnya, dipecat dari pekerjaan. Dengan sikap legowonya mereka meneriakan sudah takdirnya ia dipecat. Atau jika kita mendapat nilai jelek ketika ujian, maka dengan pasrahnya menjawab Allah sudah mentakdirkan aku mendapat nilai sekian. Atau seperti yang diungkapkan Esti tadi.
Sudah takdirnya menjadi orang bodoh. Atau yang dikatakan Ati, Allah sudah menakdirkannya menjadi orang miskin.

Tangkapan yang salah mengenai takdir inilah yang membuat begitu banyak masyarakat Islam khususnya menjadi tertinggal. Karena selalu mengkambing hitamkan takdir. Tanpa memikirkan sebab akibat. Bisa saja memang kitanya yang tak becus bekerja sehingga kita dipecat. Atau karena kita tak belajar nilai kita jelek. Atau kita tak pernah bergairah mencari ilmu sehingga kita bodoh. Atau usaha kita yang belum optimal sehingga kita terus terpuruk dalam kemiskinan.

Yang dinamakan takdir itu adalah jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan usaha itu kita optimalkan dengan doa yang ikhlas, namun hasilnya belum sesuai dengan keinginan kita, itu baru yang disebut takdir. Oleh karena itu, kita tak boleh sembarangan mendalihkan takdir atas sesuatu yang belum kita kerjakan.
Dahulu di zaman kekhalifahan Umar Bin Khathab, ada seorang pencuri yang hendak dipotong tangannya. Ia berkata “Aku mencuri karena takdir Allah,” kepada khalifah.
Namun Umar menjawab “Dan kami pun memotong tanganmu atas takdir Allah.”

Takdir memang hal gaib, tapi dengan usaha yang baik kita bisa merubah takdir kita menjadi lebih baik dengan izin Allah. Saat ini kita memang buta ilmu. Namun, jika kita ingin ditakdirkan Allah sebagai orang yang berilmu kita harus berusaha keras mencari ilmu dan tak lupa menyempurnakannya dengan doa. Atau saat ini kita bisa saja miskin. Namun ini belum menjadi takdir kita. Esok hari masih gaib. Jika kita mau berusaha dengan ikhlas dan jujur, bisa saja Allah merubah takdir kita menjadi orang kaya besok hari. Dan saat kita kaya, besok takdir kita belum tentu masih menjadi orang kaya. Namun, dengan usaha yang keras dan tak lupa menginfakkan sebagian harta kita, Allah tetap akan mentakdirkan kita sebagai orang kaya.

Rasul bersabda “Berbuatlah karena setiap orang dimudahkan dengan apa yang ia diciptakan untuknya,” (HR Muslim). Semua yang diberikan kepada kita adalah kemudahan untuk usaha yang akan kita lakukan. Jadi, tidak ada alasan menyalahkan takdir atas apa yang menimpa diri kita.

Namun, jika apa yang kita usahakan atau yang kita kerjakan dengan kerja keras belum mendapatkan hasil seperti yang kita harapkan, kita harus memahaminya sebagai suatu ujian atau cobaan.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi,” (QS Nisa : 78-79).

Bel berbunyi. Beberapa siswa masuk. Aku mengeluarkan buku Matematika dari tasku. Bismillah. Aku akan berusaha merubah takdirku untuk hari kemudian. Buku itu kubuka, dan mulai kuteliti huruf-hurufnya satu demi satu.
Wallahua’lam.


Mem-post kembali tulisan lama. dari pada hilang...
Selengkapnya...

Jambi layaknya kota di Arab. Di kanan kiri, rata-rata wanitanya menutup aurat. Walau, tak semua berlandas Al Qur’an. Masjid tampak ramai. Orang-orang berlomba mendapat kebaikan atau mungkin cuma sekedar ikut memakmurkan. Yah, Ramadhan telah tiba. Semua bersuka cita.

Menelusuri Jambi di bulan suci benar-benar menyejukkan. Hampir setiap sekolah di pagi hari membacakan ayat-ayat Al Qur’an yang mulia. Tiap-tiap Universitas dipenuhi berbagai acara yang akan memperkuat ruhani. Kehangatan keluarga di saat buka dan sahur, menjadi motivator yang tak tertandingi. Shalat malam pun, kini menjadi tradisi. Tiap-tiap masjid di malam hari, terisi muslim tangguh yang beri’tikaf menghambakan diri. Setidaknya, itu yang aku rasakan.


Terik menghanguskan udara. Membakar adrenalinku, mengusik tenggorakn dan kerongkonganku. Bis besar yang menuju kampusku tak jua tiba, entah ke mana larinya. Dalam diam, tetap tak kuhentikan doa. Walau sudah gerah rasanya.
Akhirnya, kepalanya menyembul di ujung jalan. Aku bersiap. Seseorang yang berjarak beberapa meter dariku juga berdiri dari bangku halte. Pintu terbuka. Kesejukkan ac melanda. Aku terus maju mencari tempat duduk kosong. Tapi, sepertinya tidak ada.

Dengan terpaksa aku berdiri. Sebenarnya, sudah letih kaki ini. Cukup jauh aku berjalan dari rumah temanku tadi. Di halte pun tak kebagian tempat duduk. Tapi, sudahlah. Lebih cepat aku sampai di kampus, jauh lebih baik.



Namun, tiba-tiba pemuda di sebelahku berdiri, dan mempersilahkan aku untuk duduk. Bukan pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, karena hatiku sedang kegerahan, kududuki juga tempatnya tadi. Ya Allah, semoga kau terima amal dan puasanya, semoga engkau balas dengan lebih baik lagi. Batinku berdoa.

Alunan lagu Opick mengiringi laju bus. Wanita di sebelahku sedang tilawah. Ah, dia lebih cepat dariku mencuri waktu. Aku juga mengambil mushaf di tasku. Bismilah, semoga aku mendapat keutamaan dengan membacanya.

Bus tiba tepat saat aku menghabiskan surat Fatir. Bergegas aku menuju masjid kampus, berjamaah tentu lebih utama. Azan bergema saat aku menginjakan kaki di lantai masjid. Alhamdulillah tepat pada waktunya. Namun, ternyata masjid ramai. Aku pun menanti antrian wudhu yang cukup panjang, belum lagi antrian mukena mesjid dan banyaknya muslimah memenuhi semua shaf. Alhamdulillah mesjid ini dimakmurkan. Aku pun mengikuti jama’ah ke dua.

Kampus ramai. Mahasiswanya pun tak seperti biasa. Sepertinya, lebih banyak mengenakan jilbab. Sebagian kantin tutup dan sepi. Tidak seperti biasanya, kajian rutin oleh masing-masing fakultas ramai. Subhanallah, lagi-lagi aku bertasbih. Lihatlah hambamu Ya Rabb. Bulan ini mencerahkan mereka. Pahala akhirat tujuan utama.

Tanpa terasa 30 hari berlalu. Gema takbir membahana. Alhamdulillah, bulan nan fitri menjelang. Sudut hatiku merintih, semoga aku masih bisa menjumpaimu Ramadhan. Semua bercuka cita. Silaturahmi menjamur. Hari kemenangan dirayakan. Usia bumi pun menua.
Siang yang sama teriknya, satu bulan kemudian. Langkah kupercepat menyongsong zuhur. Azan telah selesai menggema. Wah terlambat, pasti masjid sudah penuh, pikirku. Dengan cepat kuberwudhu dan langsung berlalu masuk mesjid. Cuma ada satu shaf wanita di sana. Itu pun tak penuh. Aku beristighfar. Ini kah buah Ramadhan?
Seusai shalat dan tilawah, aku berlalu ingin pulang. Setengah jam lagi, adik-adik mentoringku menanti. Aku usahakan cepat. Bus pulang sudah mulai berjalan. Dengan cepat kulambaikan tangan ke arah kondektur. Tidak ada waktu menunggu bis berikutnya, biarlah berdesakan.

Ternyata benar. Bus sesak. Beberapa orang berdiri, termasuk aku. Semua bangku penuh. Seseorang yang aku kenal juga berdiri di batasi 3 orang denganku. Muslimah yang aku tahu sebagai dosen muda di Universitasku. Tangannya tampak keberatan memegang buku. Kalau tak salah di sebelahnya seorang pemuda beransel. Apa tidak ada satu keinginan dalam hatinya untuk memberikan Bu Dosen itu tempat duduk.

Aku geleng-geleng. Rasanya baru kemarin ada seorang lelaki yang berani berkorban untuk membantuku. Yang duduk di kananku sangat berisik. Mengalahkan teriakan Pasha Ungu dengan lagu Di sini untukmu. Entah apa yang mereka bicarakan. Telingaku hanya menangkap cibiran dan sedikit aib nama seseorang yang tak ku kenal. Aku beristghfar kembali. Baru sebulan Ramadhan berlalu, ini kah buahnya?

Fenomena kecil yang sudah biasa dan dianggap biasa. Ramadhan nan suci tak dihargai, cuma dianggap sebagai tradisi. Jilbab cuma hiasan seremonial, dilepas kembali jika syawal datang. Kebajikan kembali langka. Masjid kembali berhuni sepi. Benar-benar tak berbekas walau pun hanya sekedar jejak kaki.

Jadi apa motivasi menghidupkan Ramadhan? Apa cuma karena semua orang berpuasa kita pun ikut-ikutan puasa? Apa karena semua pahala berlipat ganda di bulan ini, sehingga di sebelas bulan berikutnya tak menggiurkan untuk berburu pahala? Atau karena sekedar cari sensasi baru, karena bulan selebihnya terasa monoton?

Sungguh munafik jika pikiran itu terlintas. Salah satu indikator keberhasilan berpuasa di bulan suci ini adalah berhasilnya diri kita membawa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, untuk diterapkan pada sebelas bulan berikutnya. Bukannya mengambang ditelan waktu. Sewaktu Ramadhan tiba, kita dengan susah payah menahan nafsu untuk berpuasa, menyediakan waktu untuk membaca Al Qur’an, menginfakan sebagian harta untuk orang-orang yang membutuhkan, dan menahan ucapan dari kata-kata kasar dan yang tak bermanfaat. Namun, apa manfaatnya jika itu hanya kita lakukan hanya di bulan ramadhan?

Orang-orang ramai beri’tikaf di masjid. Mengharap malam Lailatul Qadar menyapa diri mereka. Itu tidak salah, malah diperintahkan. Namun, jika di bulan-bulan lain kita bahkan jarang menghampiri masjid, untuk sekedar shalat zuhur berjamaah, apakah orang-orang seperti ini yang berhak mendapat keutamaan malam seribu bulan?

Sebuah hadits meriwayatkan “Amal Rasulullah saw tak ubahnya hujan turun rintik-rintik. Bila beramal beliau melanggengkannya. Sebaik-baiknya amal adalah amalan yang berkesinambungan walau amal itu sedikit” (Riwayat Muslim).

Membaca satu halaman mushaf Al Qur’an setiap hari itu lebih baik, daripada menghantamkan 1 juz Al Qur’an pada waktu Ramadhan namun setelah itu Al Qur’an mulia tak pernah disentuh lagi. Itu salah satu contoh dari hadits tersebut. Amal sedikit yang berkesinambungan itu lebih mulia, daripada amal yang banyak tapi cuma sekali-kali kita lakukan.

Hadits tersebut mungkin sedikit menyindir kita. Ramadhan memang bulan yang lebih mulia daripada bulan-bulan lain. Semua amalan jauh dilipatgandakan. Tapi, bukan untuk dilakukan sekali-kali amalannya. Bukan itu yang dimaksudkan Allah dengan memuliakan Ramadhan. Namun, sebagai latihan pada diri kita, dalam menapaki hari-hari panjang sebelas bulan lamanya.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka lanjutkanlah dengan sungguh-sungguh (urusan )lain” (Al-Insyirah:7).
Dengan melanjutkan apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan, itulah tujuan

Ramadhan sesungguhnya. Seperti sabda Rasulullah saw ”Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan syawal, seakan-akan ia berpuasa selama satu tahun”(Riwayat Jamaah kecuali Bukhari dan Nusa’i dari Abu Ayyub Al-Anshari). Seperti itulah yang diperintahkan baginda Rasul. Meninggalkan Ramadhan, namun tidak melepaskan amalannya.

Laksana seorang perternak kambing. Awalnya hanya dua ekor kambing. Namun, jika rutin dirawat, dipelihara dengan baik, maka lambat laun kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semua kesabaran kita untuk merawat dan menggembalakan kambing itu setiap hari akan berbuah baik. Kambing itu akan tumbuh besar dan nantinya akan menghasilkan keturunan yang banyak. Berbeda jika kita langsung membeli 100 ekor kambing sekalipun, namun tidak pernah kita rawat dan kita biarkan saja di padang rumput yang luas, maka kambing-kambing itu pastilah akan habis. Entah dimakan srigala, atau lepas ke hutan. Namun, yang jelas dikemudian hari kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian.

Seperti itulah amal. Amalan yang berkesinambungan, akan menuai hasil yang lebih baik setiap waktunya. Dan yang kita dapat adalah keuntungan yang terus-menerus. Sebaliknya, amalan yang hanya kita lakukan hanya semalam atau satu bulan saat Ramadhan, maka bulan-bulan berikutnya amalan itu akan hilang dan kita tidak pernah mendapatkan apa-apa melainkan kerugian.

11 Agustus 2007
Menanti sebulan datangnya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan

Selengkapnya...

Air mata neneknya Uti (bukan nama sebenarnya) tumpah. Bukan hanya ia yang bersedih saat itu. Uti sekeluarga juga sedih. Sebenarnya Uti juga malas membicarakan ini.

Sedih rasanya. Sudah sebulan lebih buyut perempuannya meninggal dunia di usianya yang sangat tua. Hampir delapan puluh tahun. Saat ini nenek dan kakek Uti sedang berlibur di rumahnya. Entah kenapa topik perbincangan mereka beralih ke sini.

Yah, pastilah nenek sangat sedih. Selama ini yang Uti tahu beliaulah yang menemani buyut. Walaupun jarak mereka jauh, tapi secara garis besar Uti tahu betul kehidupan mereka. Papanya sering menceritakan kehidupan mereka sepulangnya dari desa.
“Aku ikhlas menerima kepergian ibu. Tapi, aku sedih jika melihat hari-hari sebelum ia meninggal,” lirihnya. Suara itu seperti suara terdalam yang selama ini ia pendam.

Yang Uti tahu, buyut tinggal dengan kedua anaknya yang tinggalnya sebelahan rumah. Kadang di rumah neneknya, kadang di rumah adik neneknya. Selalu berganti jika saat idul fitri Uti pulang.

Uti jadi teringat ramah wajahnya. Senyumnya yang ramah menampakkan giginya yang sudah ompong. Lembutnya memanggil nama Uti, seakan Uti adalah cicit kesayangannya. Wajar ia rasa buyutnya senang saat mereka berlibur ke sana saat lebaran tiba. Papa adalah cucu kesayangannya. Ah, Uti benar-benar rindu pada keramahannya.


Pikiran Uti melayang ke setahun silam. Uti terkejut saat hendak bertemu buyut sewaktu lebaran. Kamarnya pindah lagi. Yang Uti tahu, tempat itu adalah gudang beras jika saat panen tiba.

Uti dan mamanya masuk ke kamarnya. Ia terbaring lemas. Mama mendekat dan memijit kakinya. Matanya terbuka. Dan terkejut menatap mereka. Tapi sepertinya ia tak sanggup untuk berdiri. Ia mengucap nama Uti perlahan. Dia masih mengenal wajah Uti. Setelah itu, Uti tak pernah melihat wajahnya lagi.

“Dia nggak pernah mau menemani ibu. Selalu marah-marah jika ibu berteriak memanggil dia,” kata nenek emosi. Sepertinya dia sedikit marah pada adiknya. “Namanya juga sudah tua, ibu sudah balik seperti anak kecil lagi. Buang air ke wc saja sudah tak mampu,” lanjutnya. Tak ada lagi air mata yang keluar. Sepertinya ia sudah mulai tegar dan sabar.

“Sakit aku melihat ibu dibentak. Membersihkan kotoran ibu saja dia tak mau. Padahal ibu yang dulu membersihkan kotorannya ketika ia masih kecil. Masuk kekamar ibu pun dengan cemberut sambil menutup hidung,” adunya entah sama siapa. Pertahanannya luntur. Air matanya membuncah keluar kembali.

Papa Uti mendekat dan menghibur. Kakek mengalihkan pembicaraan. Namun pikiran Uti mengembara ke mana-mana. Sedih, jika membayangkan wajah buyut yang lesu, kadang marah juga membayangkan perilaku adik nenek kepada buyut.

Hati Uti tiba-tiba bertanya. Jika nanti, itu terjadi dengan mamanya, apakah Uti
juga akan ikhlas merawat beliau seperti yang dilakukan nenek? Uti ingin menangis. Pasti sangat berat menjadi ibu. Berjuang bertaruh nyawa saat ia kan melahirkan kita. Berkeringat bercucurkan air mata saat menghadapi kita yang mulai durhaka.

Bahkan, hatinya pasti sakit sekali jikalau tahu anak-anak yang telah ia besarkan, ternyata menelantarkan dia di masa tuanya. Ah, sungguh tak bisa Uti bayangkan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah nyata, yang tak seberapa jika dibandingkan juataan kisah lain yang mengharukan di dunia ini. Kukutip, untuk menyentakkan alam tak sadar kita akan rapuhnya bakti anak kepada orang tua saat ini.

Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23-24 “Dan Tuhanmu telah memerintahkna agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaan mu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangnlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku sewaktu kecil’.” Yah, sesuatu yang sangat wajar, mengingat besarnya pengorbanan mereka terhadap kita.

Sebuah kisah di televisi yang kutonton suatu hari tiba-tiba terbayang. Tentang seorang wanita paruh baya yang hidup sederhana. Dia dan keluarganya tinggal bersama ibunya yang lumpuh dan tua. Hidupnya sudah beralih seperti anak bayi yang tak bisa apa-apa. Namun, sang anak dengan ikhlas merawat ibunya, membersihkan kotorannya setiap hari, memandikannya setiap hari, dan dengan sabar menemaninya jika sang ibu mulai rewel.

Sungguh beruntung orang tua yang memiliki anak seperti itu. Tak perlu khawatir tak ada yang menjaganya, karena sang anak begitu setia merawatnya. Namun, dalam kehidupan nyata, hanya segelintir orang-orang seperti nenek Uti atau wanita paruh baya tadi, yang mau merawat ibunya. Apalagi jika kesuksesan sudah di tangan, tentu meletakkan orang tuanya di panti jompo merupakan pilihan yang tepat bagi mereka.

Fasilitas di panti memang lengkap, juga ada banyak perawat yang akan membantu mereka dengan sabar. Namun, apalah arti semua itu jika menjelang habis waktunya, tak ada sang anak yang menemani di sisinya. Pasti sangat hancur hati mereka saat tahu yang merawat mereka orang lain, bukan anaknnya.
Seorang Ibu pernah dibentak oleh rentenir saat meminjam uang untuk sekolah anaknya.

Ibu temanku menggadaikan waktu istirahat mereka dengan berkeliling dari rumah ke rumah mencuci pakaian agar anaknya bisa bersekolah dengan layak. Bahkan aku yakin, ibumu punya kisah mengharukan sendiri dalam usaha kerasnya membesarkanmu. Membalas pengorbanannya tak kan cukup dengan harta satu bumi. Mengabdi dan berbakti adalah cara termahal untuk membalasnya. Walau sebaik apa pun engkau berbakti, hutang asinya tak kan terbayar. Keringat pengorbanannya tak kan pernah terganti. Cinta sucinya tak kan ada yang bisa menandingi.

Rasulullah saw pernah ditanya oleh sahabatnya,
"Ya Rasul, setelah Allah dan engkau rasulnya, sipakah orang yang harus aku hormati dumuka bumi ini?"
Rasulullah Saw menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul kembali menjawab "Ibumu!"
“Lalu setelah itu siapa ya Rasul?”
Kemudian Rasulullah saw baru menjawab "Ayahmu!"

29 Juli 2007
Mengenang Jasamu Ibu...

Selengkapnya...


Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
Terselip berhala-berhala kecil
Sembilan senti panjangnya
Putih warnanya
Ke mana-mana dibawa dengan setia
Satu kantung dengan kalung tasbih 99 butirnya

Di tengah hiruk pikuk terminal bis kota, stasiun kereta, keramaian pasar, hingga ke bangku-bangku terhormat anggota dewan, berhala kecil ini jelas sangat mudah ditemukan. Hampir sebagian kaum lelaki menghirupnya, dan lantang menggemakan dirinya jantan. Barangkali inilah tanggapan yang pantas atas puisi Taufiq Ismail di atas. Kegelisahan atas berhala kecil yang merusak uang, potensi dan kesehatan.

Di suatu seminar kesehatan, pernah disebutkan bahwasanya produksi rokok di Indonesia mencapai 224 milyar batang rokok yang diproduksi per bulannya. Bayangkan, seberapa banyak zat-zat racun itu masuk dalam paru-paru rakyat Indonesia perharinya, perbulannya, dan pertahunnya. Sebesar apa pengaruh zat-zat yang akan merusak otak generasi muda kita lantaran mereka diwariskan tradisi menghisap zat racun tiap harinya.

Belitan keuangan, semua harga yang melonjak mahal, krisis ekonomi yang tak kunjung tuntas, menjadi problema tersendiri bagi rakyat Indonesia kini. Jangan kan mau nyekolahin anak, buat makan hari ini aja susah. Namun mirisnya, para bapak-bapak yang bekerja seadanya itu mengeluhkan semua permasalahan hidupnya itu sambil merokok. Seolah membeli sebungkus rokok, menghisapnya, mengendapkan zat kimia berbahaya dalam tubuhnya, dan menghembuskan asapnya sia-sia itu bukan merupakan salah satu kesulitan dirinya bahkan keluarganya.

Jika seandainya sehari bisa mengkonsumsi rokok 3 batang, maka perbulannya harus membeli 7 bungkus rokok. Kita anggap saja satu bungkus Rp 12000, maka setahunnya ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1.008.000. Enam tahun saja sudah Rp 6.480.000 yang terbang melayang bersama kepulan asap rokok yang dibakar setiap harinya. Bayangkan jika uang tersebut digunakan untuk membiayai sekolah anak 6 tahun di Sekolah Dasar.
Survei juga membuktikan bahwasanya rata-raata keluarga yang tergolong miskin di Indonesia mengeluarkan 12 persen pendapatan bulanannya untuk rokok. Hal ini 6 kali lebih besar dari alokasi biaya pendidikan yang hanya 2 persen, biaya untuk membeli ikan 6,89 persen, susu dan telur 2,43 persen dan daging 0,85 persen. Benar-benar pembodohan masal.
Pemerintah Indonesia juga hanya bisa melihat industri rokok yang semakin pesat di negara ini. Membiarkan mereka mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari kantong rakyat-rakyat Indonesia yang miskin. Lihat saja, orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes diduduki oleh pemimpin industri rokok. Selidik punya selidik, pemerintah Indonesia hanya bisa angkat bahu, karena mereka telah mengantongi uang pajak yang sangat besar dari industri rokok. Yang paling besar malah. 42 Triliyun rupiah pada tahun 2006. Padahal menurut hasil penelitian pada tahun 2003, setoran industri rokok pada negara hanya 1,1 persen.
Bagaimana dari sisi kesehatannya? Tercatat 1027 orang meninggal per harinya akibat rokok. Setara dengan 8 bulan berulang berturut-turut tragedi tsunami Aceh 2 tahun silam.
Bukan saja pemerintah yang merasa rugi jika industri rokok di hambat, rakyat kecil terutama petani tembakau juga merasa dirugikan. Alasannnya angka pengagguran akan tinggi dan mereka akan kehilangan mata pencaharian mereka. Padahal tembakau sendiri tidak hanya digunakan untuk rokok. Petani tembakau akan tetap bekerja untuk obat anti kanker dari tembakau yang saat ini sedang di kembangkan. Lebih bermanfaat.
Lalu apa yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Fatwa haramnya merokok oleh MUI memang sudah dibicarakan serius. Namun, hingga kini masih belum jelas batasan ”haram” seperti apa yang akan difatwakan MUI. Namun ternyata, beberapa ulama di Jawa Timur ikut menolak fatwa haramnya merokok oleh MUI. Alasannya tidak jelas. Bahkan ada yang malah menjadi tolak ukur agama. ”Rokok itu tidak haram, karena saya sendiri juga merokok,” ujar pemimpin salah satu Pondok Pesantren di Jawa Timur ini. Luar biasa, bahkan PBNU meluncurkan produk rokok yang bernama Tali Jagat tahun 2002 silam. Rokok Tali Jagat ini pun tertempel di setiap kampanye pasangan calon wakil Bupati Lumanjang, Juli 2008 lalu.
Masih sambungan bait puisi yang berjudul ”Tuhan Sembilan Senti” karya Taufiq Ismail,
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging Khinzir diharamkan
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Selengkapnya...

Suatu ketika, pernah terbaca sebuah kisah. Kisah ini terjadi pada zaman Nabi Daud as. Suatu hari, telah datang seorang perempuan tua kepada Nabi Daud as. Dia bertanya, “Ya Nabiyullah, Allah itu adil atau dzalim?” tanyanya.

Nabiyullah menjawab, “Allah Maha Adil dan tidak menyukai kedzaliman,” jawabnya. “Mengapa anda bertanya demikian?” lanjut Nabi bertanya.

“Saya seorang penenun kain. Kemarin, saya bekerja seharian menenun kain untuk menghidupi anak dan keluarga saya. Kain itu hendak saya jual ke pasar. Lalu tiba-tiba, seekor burung mengambil kain saya dan membawanya pergi. Saya sedih. Tidak ada lagi yang bisa saya jual untuk menghidupi anak-anak saya,” katanya sedih.


Sebelum Nabi Daud as menjawab, tiba-tiba pintu diketuk dan masuklah beberapa orang.
“Ya Nabiyullah, kami membawa 100 dinar. Berikanlah uang ini kepada yang berhak,” kata salah seorang di antara mereka.

“Ada apa gerangan sehingga kalian menyerahkan uang sebanyak ini?” tanya Nabi Daud heran.


“Kami adalah nelayan. Kemarin kami hampir mati, karena kapal kami hendak karam karena ada yang berlubang. Lalu tiba-tiba ada seekor burung menjatuhkan selembar kain, sehingga kami bisa menambal kapal kami dengan kain itu. Alhamdulillah kami semua selamat,” jawab seorang yang lain.

Lalu Nabi Daud as pun berkata pada perempuan tua dihadapannya, “Allah memperdagangkan kainmu, di laut dan di darat, dan kau sempat menuduhnya sebagai Dzat yang dzalim”. Nabi Daud pun memberikan uang 100 dinar itu kepada perempuan tua tadi.


Mungkin di antara kita sering mengalami cerita serupa. Dihadapkan dengan kenyataan yang menurut kita bukan yang terbaik. Lalu dengan sombongnya mengatakan Allah berlaku dzalim, Allah tidak adil, atau pun prasangaka buruk lainnya. Tanpa pernah berpikir itu adalah yang terbaik bagi kita.

Sebagai contoh. Jika misalnya kita kehilangan handphone. Rasanya Allah sangat jahat sehingga membiarkan pencuri mengambil handphone kesayangan kita. Kita pun sibuk dengan prasangka-prasangka negatif kepada Allah. Namun, pada kenyataanya kita diberikan yang terbaik yang padahal sebelumnya tidak pernah kita pikirkan. Karena kasihan, orang tua kita pun akhirnya membelikan kita hand phone yang lebih bagus dan lebih mahal dari hand phone kita yang hilang. Atau bentuk rezeki lain yang nilainya lebih baik.

Rasanya sangat disayangkan jika kita kerap belum ridha menerima ketentuan yang barangkali tidak kita harapkan kedatangannya. Mungkin, hati kita terlalu memenuhi bisikan syaithan yang menghembus untuk selalu berprasangka buruk pada Allah. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, siapa sih kita ini? Nabi bukan, orang suci bukan, malaikat pun bukan. Hanya sekecil debu dibandingkan ciptaan Allah yang lebih besar lainnya. Apakah pantas seorang kita menuduh Allah yang menciptakan kita, memberikan kita hidayah, melindungi kita dari entah berapa juta kali syaithan membisikan kemaksiatan pada kita, sebagai Dzat yang tidak adil dan dzalim kepada hamba-Nya? Na’udzubillah...


Jika kita mengeluh dengan masalah hidup yang kita hadapi saat ini, percayalah bahwa itu belum seberapa. Allah masih sangat menyayangi kita, sehingga Dia memberikan ujian yang kecil seperti itu. Terkadang, kitanya saja yang terlalu mendramatisir masalah ringan sehingga bisa menjadi terasa sangat berat.


Kita mengeluh apa yang kita dapatkan saat ini tidak sesuai dengan harapan kita. Padahal Rasulullah yang tercinta pun juga mangalami hal demikian. Bayangkan, umur 6 tahun, beliau menjadi yatim piatu. Apa ada anak dengan umur sekecil itu bersedia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya? Tapi dia tetap tegar. Apa Allah dzalim padanya? Tidak. Bahkan Allah menggantinya dengan kasih sayang kakek dan paman-pamannya yang lain. Meskipun berat, tapi dia bisa menjadi manusia unggul walau tak lama merasakan belaian kasih ayah bundanya.


Sedangkan kita? Orang tua kita masih ada. Ditambah dengan kasih sayang adik dan kakak kita. Juga dengan saudara-saudara yang Allah bolakan hatinya untuk menyayangi kita. Apa itu tidak cukup?


Atau harapan kita tidak tercapai. Padahal barangkali apa yang kita harapkan justru akan membuat kita menjadi jauh dari Allah, atau akan mencelakakan diri kita. Ada sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh seorang ulama yang bisa kita petik hikmahnya.


Suatu hari, ada dua orang penjual kembang tahu dari desa yang sama. Untuk menjual kembang tahunya, mereka harus naik angkutan umum yang jaraknya cukup jauh. Mereka harus melewati pematang sawah untuk sampai ke sana. Lalu, keduanya bersiap pergi. Namun, di tengah perjalanan, pikulan kembang tahu salah seorangnya patah sewaktu mereka melewati pematang sawah. Karena tidak seimbang pedagang itu jatuh ke sawah dan pakaiannya kotor karena lumpur. Dengan mendengus ia pun terpaksa kembali ke rumahnya. Sedangkan temannya tetap pergi ke kota.


Pedagang yang jatuh tadi merasa takdirnya sangat sial. Ia merenung, apa yang akan ia berikan untuk menafkahi keluarganya jika ia tidak pergi ke kota. Sedangkan untuk pulang ke rumah dan mengganti pakaian dan dagangannya tidak akan cukup untuk mengejar angkutan kota. Ia pun merasa sedih, dan tanpa sadar su’udzhon kepada Allah. Dan berkata Allah itu pilih kasih dan berlaku dzalim. Namun, tak seberapa lama saat ia sampai di rumah terdengar kabar bahwa angkutan umum yang berangkat dari desanya pagi itu mengalami kecelakaan. Temannya sesama pedagang itu pun dilarikan ke rumah sakit.


Subhanallah, sesuatu yang sebelumnya kita anggap sebagai hal yang buruk, atau pun hal yang membuat kita berprasangka negatif kepada Allah, ternyata sesungguhnya adalah yang terbaik yang diberikan Allah kepada kita. Allah yang mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Sebenarnya tidak ada alasan apa pun untuk mengecap Allah itu tidak adil. Sangat besar kasih sayang Allah kepada kita. Sangat luas ampunannya terhadap dosa yang kita lakukan. Maka berpikir positiflah menghadapi hidup ini. Allah bersama kita. Ia tidak akan mendzalimi kita. Jika saat ini anda mengalami hal yang sulit dan tidak anda harapkan, maka jangan berprasangka buruk dahulu. Yakin dan percayalah, ada bahagia yang akan menunggu kita di detik kemudian.



Pasca stress ujian nggak berhasil, hikz...


Selengkapnya...

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.