Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...


Allah, I wanna thank you...
I wanna thank you for all the things that You've done...

Bilangan menit menanti tanggal dan bulan bersejarah itu. Rasanya terlalu cepat. Sangat cepat langkah-langkah jarum detik bergulir, sedangkan aku sedikit berharap kadang berhenti saja sejenak. Aku masih ingin merasakan napas diusia ini. Masih ingin bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan puluhan tahun ini. Masih banyak lagi yang harusnya telah selesai aku jalankan. Tapi nyatanya, tugas-tugas itu masih menumpuk di keranjang peer yang semakin tinggi. Sedangkan kedewasaan menuntut dan mengejar di belakang bilangan usia, nyatanya aku tak sanggup untuk memberikan segalanya yang terbaik.

Setahun yang lalu, persis di bilangan menit yang sama, aku berkomitmen di hadapan Allah. Jika ternyata aku masih diijinkan untuk melangkah di dunia ini, aku akan berusaha untuk selalu mendekatkan diri padaNya. Mengabdi dan menjalankan perintahNya. Memungut kembali bekal-bekal yang masih sangat kurang. Di jam yang sama setahun silam, aku berkomitmen di antara suka dan duka saat usiaku bertambah. Bahagia karena ternyata aku bisa menghirup udara setahun lagi, duka karena malaikat telah mencoret lagi bilangan hari bahkan tahun waktunya aku di dunia ini.

Mencoba memuhasabah, ternyata komitmen itu tak sepenuhnya terlaksana. Jika kuingat, setahun ini hanya sedikit air mata yang mengalir karena kebodohan atas kesia-siaanku di dunia ini. Masih kurang ya Allah, masih kurang bekal jikalau sejenak lagi aku harus menghadapMu. Sementara di depanMu aku berkomitmen atas muluknya kebajikan yang akan aku lakukan, nyatanya kemaksiatan yang terus menerus aku lakukan. Tanpa bisa menahan segala manis berdurinya hawa napsu ini. Aku takut, jika setahun kedepan, ternyata aku benar-benar jadi pembangkang yang benar-benar pendusta. Ya Rahman, ijinkan aku perbaiki semuanya..

Rasa syukur ini, bagaimana dapat aku gambarkan. Tak akan cukup dengan sekali ucapan hamdalah. Atas hidayah, cintaMu, kasih sayang, orangtua, keluarga, sahabat, dan setiap orang yang dengan tulus memberikan senyuman saat aku benar-benar terpuruk. Saat setiap mili gerakan tubuhku adalah nikmat, yang jarang sekali aku syukuri. Berapa dinarpun tak akan terbayar, bergunung emaspun tak akan tertebus.


Dalam ketundukanku malam ini, aku serasa memerah karena malu. Nyatanya aku belumlah bermanfaat. Jangankan bagi orang lain, atas dirinya sendiripun masih merepotkan. Sementara sketsa-sketsa perencanaan itu masih luas terpampang di dinding harapan. Wajah dua orang yang sangat aku cintai itu, menghiasi layar utamanya. Ya Allah, andaikan aku boleh meminta di awal detik bertambahnya usiaku ini, bahagiakanlah mereka. Tangan dan kaki ini belum dapat berbakti penuh kepada mereka. Cintai mereka melebihi cinta mereka kepadaku. Sejahterakan hidup mereka, bahagiakan hingga ke surga. 


Di awal usia, aku tidak akan meminta apa-apa lagi. Aku hanya ingin bersyukur. Terima kasih, atas segala yang telah kau berikan kepadaku. Alhamdulillah. (worship)

Allah, I wanna thank you...
I wanna thank you for all the things that You've done...
You've done for me through all my years I've been lost...
You guided me from all the ways that were wrong...
And did you give me hope...
I wanna thank You for bringing me home...

Alhamdulillah...

Selengkapnya...

Aurora


Bulan di subuh hari. Begitu indah tersamar di balik awan-awan gelap berkabut. Masih terdengar suara jangkrik dan katak rebutan bertasbih. Sementara matahari masih malas untuk bangun, tertidur di bawah selimut bumi. Aku pikir, jangankan matahari. Barangkali hampir seluruh alam masih malas untuk bangun. Terbuai dalam ayunan mimpi yang nyaman. Dalam selimutan angin dingin nan damai.
Menjelang adzan subuh. Aku terbangun bukan untuk menunggunya, tapi untuk bertahan. Aku ingin mendengar suaranya bukan karena terbiasa, tapi untuk menguatkan. Aku berjalan melupakannya, bukan karena sengaja, tapi mencoba mengubur luka. Ah, suara itu.

“Kami bawain, Buk!” pintaku.

“Ah iyo, siko1. Bawain yang ini yo,” katanya.

Dengan cepat aku menyongsong dua kantong besar belanjaan itu. Yah, inilah kebiasaanku, hobiku, minatku, sekaligus pekerjaanku. Berpacu dengan malaikat yang turun ke bumi di gelap hari. Bangun menghirup udara pagi yang dingin hingga sesak dan terbatuk, tak terpikir selimut, sarapan, apalagi baca koran. Aku berdiri untuk bertahan, aku berlari untuk dapat kekuatan, aku mencari untuk makan. Di pagi nan dingin, pasar Angso Duo, Kota Jambi.

***

“Emang dak sekolah yo, dek?” tanya seorang bidadari.

“Sekolah yuk. Tuh, di situ,” jawabku nyengir.

Wanita itu ikut tertawa melihat arah telunjukku. Ke arah bau daging, ikan, asap dan pengap. Ke arah keramaian umpatan, cacian dan teriakan. Tempat kusinggah di antara bangun tidur hingga siang hari untuk menawarkan sangkek2 yang tak begitu jauh dari kami duduk sekarang. Hiruk pikuknya pun masih kelihatan.

Kenapa kau begitu manis, wahai Bidadari. Senyummu, matamu, candamu, jilbabmu dan kedermawaanmu, membuatku jatuh hati. Membuat aku sangat ingin sepertimu. Ah, dasar khayalan, sampai kapan kau akan bermimpi?

“Ngapo ayuk3 sering nian ke sini?” tanyaku tak lepas dari memandangnya,

“Hm, ayuk mau ngadoin penelitian dekat sini. Tentang kebersihan makanan yang di jual ni nah. Jadi kalo capek ayuk makan di sini be lah, kan dekat,” senyumnya sambil menatap riuh ramai suara “Ancol” Jambi sore itu. Aku balas tersenyum.

Kami duduk diterpa angin sungai Batanghari yang sejuk. Suara perahu menjadi khas dan akan terus terngiang dalam telingaku hingga nanti aku beranjak tidur. Apa yang aku lakukan di sini? Aku harus bantu jaga lapak kecil ini, sementara mamak sibuk dengan membakar jagung ataupun menggiling tebu untuk dijual. Di balik lapak kecil ini aku bertemu ratusan orang, ratusan sifat dan ratusan kekonyolan. Di balik makanan, air mineral dan beberapa rokok ini, aku menidurkan adikku yang kecil hingga terlelap. Di balik jeritan tangis dan sesakku, aku mencoba bahagia.

“Oh iyo, namo adek siapo?” tanyanya.

“Yuyun. Ayuk?” tanyaku.

“Nama ayuk Juwita. Panggil yuk Ita be yo?” jawabnya ramah. “Ngapo dak sekolah dek? SMP 1 kan dekat tuh?” Yuk Ita balik bertanya.

“Mana lah ado duit, Yuk. Mending untuk beli mpek empek tu nah,” jawabku asal.

“Eh, ado-ado be,” jawabnya tertawa.

Aku mengenal bidadari ini tak begitu lama. Pertemuan awal kami saat aku melihat dompetnya jatuh tepat di depan lapak jualanku pada suatu sore. Dengan berlari aku mengejarnya dan setelah itu mengalir begitu saja. Hingga dia begitu rajin membeli nasi goreng Bang Mamat di sebelah kiri lapakku, dan sesekali membungkus jagung bakar mamakku.

“Ayuk pergi dulu lah yo. Kapan-kapan Ayuk main ke sini,” katanya sambil menepuk punggungku.

Aku menatapnya menjauh menuju parkiran motornya. Entah mengapa, wanita ini membawaku ke suatu khayalan yang tak pernah aku pikirkan. Ke suatu misteri kehidupan yang begitu dalam. Bagiku sangat menyejukkan. Hanya dengan mendengar suaranya mengucap “Assalamu’alaikum,” atau “Wah, Subhanallah” kepadaku aku sanggup memberikan apa saja asal ia terus di sampingku. Mengajari aku tersenyum, menatap langit, menata hati. Aih, tak usah lah muluk-muluk. Seandainya dia mau mengajarkan aku mengucap salam atau tasbih itu, aku akan bahagia sekali. Karena, dalam kotak tanya jiwaku saat ini hanya dipenuhi oleh satu. Bisakah aku menjadi seperti dirimu, wahai Bidadari?

***

Kembali di suatu subuh. Aku berjalan di antara beceknya pasar Angso Duo. Sambil menjinjing kresek hitam besar dan menawarkannya pada pembeli di sana. Tapi pagi itu, angin malam bertiup lain. Sangat dingin, hingga terkadang menetes airmataku karena pedihnya. Jalanku semakin tidak jelas karena lututku lemas.

“Mamak dak biso jualan. Kau bantu be Yuk Inab kagek4, yo!” perintah mamak sebelum aku berangkat.

Si tua itu begitu pucat. Senyum kuatnya memudar diiringi bertambah deras penyakitnya. Aku tak tahu, aku tak mengerti apa. Mamak terus batuk hingga tak sanggup berdiri. Ubannya terkadang menutupi matanya yang lelah. Pucat, sesak, dan lemah. Sungguh aku tak sanggup melihatnya. Sosok yang aku sayangi itu harus terbaring lemah dalam cepat napasnya. Wanita tua, yang telah lama ditinggal suaminya dan harus berjuang dengan kerja apa saja untuk aku dan adikku makan. Aku hanya mendesah.

“Yuk aku ikut be yo!” pinta Akmal adikku.

“Dak usah, biar ayuk be. Kau jago mamak be yo. Kalo ado apo-apo kagek panggil ayuk be. Siang kagek ayuk balek,” jawabku mengacak rambutnya lalu pergi menembus langit buta.

“500 kan? Mintak duo be. Samo tolong bawain ke depan yo,” pinta salah seorang pembeli.

Kusingkirkan dulu wajah Mamak dan Akmal. Dengan cepat aku memasukkan belanjaan sang Ibu ke dua kresek besar yang aku bawa. Menjinjing dengan beratnya mengikuti si Ibu ke parkiran. Mencoba untuk tidak memedulikan lututku yang lemas, atau kepalaku yang pusing, atau perutku yang lapar. Penuh konsentrasi aku menerobos kerumunan orang-orang, berhenti sejenak lalu angkat lagi hingga ke luar pasar. Akmal nak makan, bisik hatiku menguatkan.

Satu dua tenagaku mulai habis. Aku tak peduli, walau langit tak lagi kelam. Subuh telah lewat, berganti sinar matahari yang silau. Aku layaknya teman-teman seusiaku yang lain di sini, terus berebut pembeli menawarka kresek dan jasa kami. Kami semua harus melupakan sejenak kehidupan luar “kantor” kami. Memungut rupiah demi rupiah yang ada. Seperti yang kubilang, agar kami bisa bertahan.

“Belum sehat mamak kau yo?” Tanya Yuk Inab. Dia salah satu penjual bawang di pasar ini. Kawan almarhum bapakku.

“Belum yuk,” jawabku.

“Sinilah, bantu ayuk yo,” katanya dengan senyum.

Di sana lah aku menunggu siang. Memecah satu demi satu bawang yang panas. Di sudut pasar orang Jambi ini, aku bergelut dengan beberapa wanita lainnya. Mengkasari tangan kami demi sesuap nasi. Melecetkan jari kami satu demi satu. Di tengah himpitan rasa sesak dan bayangan mamak dan Akmal. Tanganku akan terus menari. Kakiku tak akan henti berlari. Mataku akan terus menatap, hingga suatu saat rasa sesak ini akan pergi. Dibayar dengan pantas oleh senyuman mamak dan cengiran Akmal di rumah, saat aku membawa dua bungkus nasi.

***

Dunia ini… Panggung sandiwara…
Ceritanya mudah berubah…
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani…
Setiap kita, dapat satu peranan, yang harus kita mainkan…


Petikan gitar dan suara cempreng pengamen sore itu menghiburku. Walau agak jauh, tapi kata-katanya kulahap habis. Aku menatapnya menghibur para pembeli di tepian sungai Batanghari ini. Duduk di bawah pohon kelapa yang daunnya terus melambai. Sambil sesekali menatap nanar riakan sungai yang tenang. Sesekali riakan itu menyeret paksa ranting-ranting kecil yang timbul tenggelam. Pernahkah sang riak bertanya pada ranting itu? Kenapa ia terus menyeretnya, padahal bisa saja ranting itu ingin hidup bebas. Mengapa tak ada kuatnya ranting itu, semaunya di bawa riak secara paksa.

Pernah kau bertanya kepadaku, wahai kehidupan? Kenapa kau terus menyeretku seperti ranting itu menuju arah yang aku tak jelas akan ke mana. Kau tahu benar aku tak sanggup melawan, bisakah sedetik saja kau ijinkan aku bernapas lega? Sesekali membiarkan aku berteriak bahkan tertawa? Kenapa aku tak seberuntung mereka yang duduk di sana, tersenyum bersama keluarga mereka dan berfoto riang dengan HP canggih mereka? Mengapa aku tak bisa memakai baju seragam seperti mereka? Mengapa tak kau ijinkan aku mengecapnya, hingga sedikit-demi sedikit aku bisa melawanmu.

“Yun, ngapoin duduk di sini, dek? Mano ibuk kok dak jualan lagi?” Tanya seorang wanita sambil menepuk punggungku.

Aku menoleh dan tersenyum. Tapi hanya sejenak. Saat bidadari itu duduk di sebelahku aku menghambur ke pelukannya. Mengeluarkan air mata yang telah belasan tahun ini ingin keluar. Merengek seperti anak kecil yang selama ini tak pernah aku lakukan karena kerasnya kehidupan. Memeluknya sekuat tenaga, seakan tak ada lagi yang bisa aku peluk selain dirinya. Walau aku tak kenal siapa, walau dia bukan siapa-siapa.
Bayangan Mamak dan Akmal tiba-tiba mencair menjadi airmata. Suara cempreng pengamen terdiam karena isakku. Dinginnya pagi buta, lari-lariku menyusuri lorong pasar, perih dan panasnya tanganku yang terkelupas, semuanya berhamburan sore ini. Aku bagai baru bertemu ‘siapa-siapa’ yang bisa menjadi tempat mengeluarkan semua. Aku bagai jasad yang bergabung di dalamnya puluhan jiwa, ratusan masalah, ribuan keluh kesah. Aku berusaha, tapi ternyata aku tak kuasa untuk tumpah.

Sore itu, di bawah langit Jambi yang menguning. Apologi bertahan dan kekuatan yang selama ini aku pertahankan tiba-tiba luluh lantak. Jangan pergi bidadari, ijinkan aku menangis dalam pelukanmu. Ijinkan aku merengek manja di sampingmu. Ijinkan aku punya teman untuk bisa meneriakan semua yang telah lelah kutahan. Saat aku tak tahu harus berteriak kepada siapa. Bahwa aku telah tumpah.

***

Subuh itu masih sama. Sama dinginnya, sama kejinya. Aku berjalan di antara teriakan tukang daging, ikan dan ayam. Terseok di antara baunya yang menyengat.

“Kayaknya Ibu sudah parah nian, Yun. Kito bawak ke rumah sakit be yo? Biar ayuk yang antar.”

Suara Yuk Ita sore itu masih terngiang. Detailnya masih terbayang. Walau terus aku berusaha melupakannya. Di ramainya suara pasar Angso Duo subuh itu, tiba-tiba aku merasa sendiri. Seolah berjalan dalam lorong gelap yang tak tahu di mana ujungnya. Aku merasa kesepian.

“Tolong, pak, dikeluarin suratnya agak cepat. Kalo dak ada surat itu, belum ada tindakan,” masih suara Yuk Ita.

“Gimana ya, atasan kami masih di Jakarta mbak. 3 hari lagi baru pulang ke Jambi. Jadi suratnya belum bisa dikeluarkan,” suara laki-laki itu berat.

“Sudah 2 hari kami dioper sana sini, Pak,” gertaknya sedikit kesal.

“Mau kayak mana lagi mbak, prosedurnya kan harus ada tanda tangan dari beliau. Baru surat jamkesmasnya bisa keluar. Kami usahakan secepatnya. Bla.. bla.. bla...”

Tak begitu ingat lagi apa lanjutannya. Saat itu rasanya aku ingin jatuh, telah dua hari mamak di rawat. Kalau surat itu tidak ada bagaimana mamak bisa beli obat? TBCnya sudah makin parah kata dokter. Surat yang katanya menjadi sangat berarti untuk rakyat miskin seperti kami. Ternyata, birokrasi menjadi hal baru yang aku tak mengerti.

Aku berusaha untuk terus tidak memikirkan kejadian-kejadian memilukan itu. Terus berteriak menawarkan kresek kepada pembeli satu-satu. Focus untuk bisa dapat rupiah pagi ini. Terus berjalan langkah demi langkah. Tapi ternyata, jiwaku memang lagi tak ada di sini. Dia pergi mengembara ke saat itu.

“Jangan nangis ya, Dek. Insya Allah adek kuat menghadapi ini. Terus berdoa ya, karena Allah akan mendengar suara hamba-Nya yang meminta,” hibur Yuk Ita di suatu subuh.

Subuh yang gelap di mana rasanya perihku sudah hilang. Rasa di mana aku tak sanggup lagi untuk bahkan sekedar menangis. Memangnya aku mau menangisi apa? Kemiskinanku? Kebodohanku? Ketakberdayaanku?

“Penyakitnya sudah parah sekali. Obatnya juga sudah terlambat. Maaf, kami tidak bisa bantu banyak,” kata dokter itu seakan menjadi penutup harapanku. Saat dekapan Yuk Ita untuk pertama kalinya tak sanggup menenangkanku. Saat sehelai kain putih menutup mata mamak yang terpejam untuk selamanya.

Benar-benar tak terasa air mata menetes lagi. Cepat kuseka dengan punggung jemari. Kugendong Akmal yang kini sudah terlihat mengantuk. Membiarkan ia bergelayut di sampingku hingga mungkin bisa tertidur.

“Beli sangkek, yuk?” tanyaku pada seorang pembeli. Sedikit terhuyung menahan berat Akmal.

Di ujung pasar Angso Duo, Kota Jambi. Dengan saksi subuh yang dingin dan keji. Aku akan memulainya kembali.

Ket :
1.) Siko = sini
2.) Sangkek = Kantong Kresek
3.) Ayuk = Sapaan untuk wanita yang lebih tua
4.) Kagek = Nanti

Selengkapnya...

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.