Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

“Esti, belajar fisika yuk. Aku masih banyak yang nggak ngerti nih,” kataku ketika bel istirahat berbunyi. Beberapa teman tampak bergairah keluar ruangan. Namun, ada yang memilih tinggal, seperti aku.

“Males ah. Sendirian aja ya,” jawabnya. Tangannya mengeluarkan N-Gagenya dan mulai menghidupkan mp3, sehingga mengalir alunan lagu yang tak kukenal.

“Ayo lah. Besokkan ulangan. Kerjain pe-er barusan aja yuk. Kan kata Bu Asma kemungkinan soalnya kayak gini,” lanjutku.

“Duh, males yu. Sama Ati aja. Tuh dia lagi ngerjain pe-er juga,” kilahnya.
Aku bingung menatap teman sebangkuku ini. Aku tahu otaknya sangat cerdas kalau dia mau berpikir sedikit.

“Ih, ni anak. Emang udah ngerti ya? Ulangan kemaren remidial. Mau ulangan yang ini remidial juga?” tanyaku.

“Duh, nggak usah diungkit-ungkit deh. Kayaknya emang udah takdir aku jadi orang bego,” jawabnya santai. Dengan perlahan ia bangkit dari sebelahku dan berjalan santai keluar dengan mulut bersenandung mengikuti alunan lagu dari mobile phone nya.

Aku terus menatapnya hingga langkah kakinya menghilang di balik pintu. Sebegitu sempitnya ia mengartikan takdir.

“Esti kemana yu?” tanya seseorang disebelahku mengaggetkan.
Reflek aku memandang ke sebelah. Wajah tirus Ati tersenyum manis.

“Tau tuh. Paling ngumpul sama temen-temen gengnya,” jawabku singkat.
Ati mengambil sebuah novel yang tergeletak begitu saja di meja Esti dan mulai membacanya. Aku melanjutkan mengerjakan pe-er fisika yang diberikan Bu Asma tadi. Untungnya soalnya tidak begitu sulit. Tinggal dimasukkan ke rumus.


“Ti, liatin dong. Bener nggak?” Kusodorkan buku tulisku ke arah Ati. Novel yang ia baca diletakkan kembali ke atas meja.

“Hmm, ada yang salah yu. Inikan jaraknya bolak-balik. Jadi dikalikan dua dulu baru dikalikan dengan konstantanya,” jawabnya singkat.
Aku menepuk jidadku. Oh, iya lupa. Dengan cepat aku membenarkan pe-erku.

“Makasih Ati. Nggak salah kamu jadi siswa terpintar di kelas ini,” pujiku. Dia tersenyum. “Kok nggak ke kantin?” lanjutku.

“Hahaha. Kamu menghina, Yu? Aku kan bukan orang kaya. Kalaupun ada duit, mending aku kumpulin buat spp,” candanya.

“Ah, kamu segitunya,” responku.

“Lha iya. Kalau kata bapakku, ditakdirin jadi orang miskin, ya miskin aja. Nggak usah sok kaya ngabis-ngabisin duit segala,” lanjutnya sambil tertawa.
Ati berdiri dan kembali ke bangkunya. Aku masih memutar perkataan terakhirnya. Apa benar takdir diartikan secara demikian?

Aku bukan tak percaya pada takdir. Jelas itu adalah salah satu rukun iman. Salah satu rukun iman adalah beriman terhadap qadha dan qadar (HR Muslim). Qadha dan qadar inilah yang biasa disebut orang sebagai takdir. Seperti yang Esti bilang, bahwa sudah takdirnya menjadi orang bego. Atau seperti yang diucapkan oleh Ati tadi, sudah takdirnya menjadi orang miskin. Benarkah takdir itu seperti yang mereka bilang?

Takdir bisa dikatakan hal gaib. Maksudnya, kita tak bisa mengetahui seperti apa wujud takdir itu sesungguhnya dan kita sama sekali tidak mengetahui seperti apa takdir yang akan menimpa kita. Jelas, hanya Allah saja yang mengetahui seperti apa nasib kita kemudian. Dan kita wajib menerima apa yang ditakdirkan Allah itu dengan ridha dan tawakal.

Inilah yang sering ditangkap salah oleh masyarakat. Mereka dengan pasrahnya menerima apa yang mereka sebut takdir. Misalnya, dipecat dari pekerjaan. Dengan sikap legowonya mereka meneriakan sudah takdirnya ia dipecat. Atau jika kita mendapat nilai jelek ketika ujian, maka dengan pasrahnya menjawab Allah sudah mentakdirkan aku mendapat nilai sekian. Atau seperti yang diungkapkan Esti tadi.
Sudah takdirnya menjadi orang bodoh. Atau yang dikatakan Ati, Allah sudah menakdirkannya menjadi orang miskin.

Tangkapan yang salah mengenai takdir inilah yang membuat begitu banyak masyarakat Islam khususnya menjadi tertinggal. Karena selalu mengkambing hitamkan takdir. Tanpa memikirkan sebab akibat. Bisa saja memang kitanya yang tak becus bekerja sehingga kita dipecat. Atau karena kita tak belajar nilai kita jelek. Atau kita tak pernah bergairah mencari ilmu sehingga kita bodoh. Atau usaha kita yang belum optimal sehingga kita terus terpuruk dalam kemiskinan.

Yang dinamakan takdir itu adalah jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan usaha itu kita optimalkan dengan doa yang ikhlas, namun hasilnya belum sesuai dengan keinginan kita, itu baru yang disebut takdir. Oleh karena itu, kita tak boleh sembarangan mendalihkan takdir atas sesuatu yang belum kita kerjakan.
Dahulu di zaman kekhalifahan Umar Bin Khathab, ada seorang pencuri yang hendak dipotong tangannya. Ia berkata “Aku mencuri karena takdir Allah,” kepada khalifah.
Namun Umar menjawab “Dan kami pun memotong tanganmu atas takdir Allah.”

Takdir memang hal gaib, tapi dengan usaha yang baik kita bisa merubah takdir kita menjadi lebih baik dengan izin Allah. Saat ini kita memang buta ilmu. Namun, jika kita ingin ditakdirkan Allah sebagai orang yang berilmu kita harus berusaha keras mencari ilmu dan tak lupa menyempurnakannya dengan doa. Atau saat ini kita bisa saja miskin. Namun ini belum menjadi takdir kita. Esok hari masih gaib. Jika kita mau berusaha dengan ikhlas dan jujur, bisa saja Allah merubah takdir kita menjadi orang kaya besok hari. Dan saat kita kaya, besok takdir kita belum tentu masih menjadi orang kaya. Namun, dengan usaha yang keras dan tak lupa menginfakkan sebagian harta kita, Allah tetap akan mentakdirkan kita sebagai orang kaya.

Rasul bersabda “Berbuatlah karena setiap orang dimudahkan dengan apa yang ia diciptakan untuknya,” (HR Muslim). Semua yang diberikan kepada kita adalah kemudahan untuk usaha yang akan kita lakukan. Jadi, tidak ada alasan menyalahkan takdir atas apa yang menimpa diri kita.

Namun, jika apa yang kita usahakan atau yang kita kerjakan dengan kerja keras belum mendapatkan hasil seperti yang kita harapkan, kita harus memahaminya sebagai suatu ujian atau cobaan.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi,” (QS Nisa : 78-79).

Bel berbunyi. Beberapa siswa masuk. Aku mengeluarkan buku Matematika dari tasku. Bismillah. Aku akan berusaha merubah takdirku untuk hari kemudian. Buku itu kubuka, dan mulai kuteliti huruf-hurufnya satu demi satu.
Wallahua’lam.


Mem-post kembali tulisan lama. dari pada hilang...

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.