Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Air mata neneknya Uti (bukan nama sebenarnya) tumpah. Bukan hanya ia yang bersedih saat itu. Uti sekeluarga juga sedih. Sebenarnya Uti juga malas membicarakan ini.

Sedih rasanya. Sudah sebulan lebih buyut perempuannya meninggal dunia di usianya yang sangat tua. Hampir delapan puluh tahun. Saat ini nenek dan kakek Uti sedang berlibur di rumahnya. Entah kenapa topik perbincangan mereka beralih ke sini.

Yah, pastilah nenek sangat sedih. Selama ini yang Uti tahu beliaulah yang menemani buyut. Walaupun jarak mereka jauh, tapi secara garis besar Uti tahu betul kehidupan mereka. Papanya sering menceritakan kehidupan mereka sepulangnya dari desa.
“Aku ikhlas menerima kepergian ibu. Tapi, aku sedih jika melihat hari-hari sebelum ia meninggal,” lirihnya. Suara itu seperti suara terdalam yang selama ini ia pendam.

Yang Uti tahu, buyut tinggal dengan kedua anaknya yang tinggalnya sebelahan rumah. Kadang di rumah neneknya, kadang di rumah adik neneknya. Selalu berganti jika saat idul fitri Uti pulang.

Uti jadi teringat ramah wajahnya. Senyumnya yang ramah menampakkan giginya yang sudah ompong. Lembutnya memanggil nama Uti, seakan Uti adalah cicit kesayangannya. Wajar ia rasa buyutnya senang saat mereka berlibur ke sana saat lebaran tiba. Papa adalah cucu kesayangannya. Ah, Uti benar-benar rindu pada keramahannya.


Pikiran Uti melayang ke setahun silam. Uti terkejut saat hendak bertemu buyut sewaktu lebaran. Kamarnya pindah lagi. Yang Uti tahu, tempat itu adalah gudang beras jika saat panen tiba.

Uti dan mamanya masuk ke kamarnya. Ia terbaring lemas. Mama mendekat dan memijit kakinya. Matanya terbuka. Dan terkejut menatap mereka. Tapi sepertinya ia tak sanggup untuk berdiri. Ia mengucap nama Uti perlahan. Dia masih mengenal wajah Uti. Setelah itu, Uti tak pernah melihat wajahnya lagi.

“Dia nggak pernah mau menemani ibu. Selalu marah-marah jika ibu berteriak memanggil dia,” kata nenek emosi. Sepertinya dia sedikit marah pada adiknya. “Namanya juga sudah tua, ibu sudah balik seperti anak kecil lagi. Buang air ke wc saja sudah tak mampu,” lanjutnya. Tak ada lagi air mata yang keluar. Sepertinya ia sudah mulai tegar dan sabar.

“Sakit aku melihat ibu dibentak. Membersihkan kotoran ibu saja dia tak mau. Padahal ibu yang dulu membersihkan kotorannya ketika ia masih kecil. Masuk kekamar ibu pun dengan cemberut sambil menutup hidung,” adunya entah sama siapa. Pertahanannya luntur. Air matanya membuncah keluar kembali.

Papa Uti mendekat dan menghibur. Kakek mengalihkan pembicaraan. Namun pikiran Uti mengembara ke mana-mana. Sedih, jika membayangkan wajah buyut yang lesu, kadang marah juga membayangkan perilaku adik nenek kepada buyut.

Hati Uti tiba-tiba bertanya. Jika nanti, itu terjadi dengan mamanya, apakah Uti
juga akan ikhlas merawat beliau seperti yang dilakukan nenek? Uti ingin menangis. Pasti sangat berat menjadi ibu. Berjuang bertaruh nyawa saat ia kan melahirkan kita. Berkeringat bercucurkan air mata saat menghadapi kita yang mulai durhaka.

Bahkan, hatinya pasti sakit sekali jikalau tahu anak-anak yang telah ia besarkan, ternyata menelantarkan dia di masa tuanya. Ah, sungguh tak bisa Uti bayangkan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah nyata, yang tak seberapa jika dibandingkan juataan kisah lain yang mengharukan di dunia ini. Kukutip, untuk menyentakkan alam tak sadar kita akan rapuhnya bakti anak kepada orang tua saat ini.

Firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23-24 “Dan Tuhanmu telah memerintahkna agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaan mu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangnlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku sewaktu kecil’.” Yah, sesuatu yang sangat wajar, mengingat besarnya pengorbanan mereka terhadap kita.

Sebuah kisah di televisi yang kutonton suatu hari tiba-tiba terbayang. Tentang seorang wanita paruh baya yang hidup sederhana. Dia dan keluarganya tinggal bersama ibunya yang lumpuh dan tua. Hidupnya sudah beralih seperti anak bayi yang tak bisa apa-apa. Namun, sang anak dengan ikhlas merawat ibunya, membersihkan kotorannya setiap hari, memandikannya setiap hari, dan dengan sabar menemaninya jika sang ibu mulai rewel.

Sungguh beruntung orang tua yang memiliki anak seperti itu. Tak perlu khawatir tak ada yang menjaganya, karena sang anak begitu setia merawatnya. Namun, dalam kehidupan nyata, hanya segelintir orang-orang seperti nenek Uti atau wanita paruh baya tadi, yang mau merawat ibunya. Apalagi jika kesuksesan sudah di tangan, tentu meletakkan orang tuanya di panti jompo merupakan pilihan yang tepat bagi mereka.

Fasilitas di panti memang lengkap, juga ada banyak perawat yang akan membantu mereka dengan sabar. Namun, apalah arti semua itu jika menjelang habis waktunya, tak ada sang anak yang menemani di sisinya. Pasti sangat hancur hati mereka saat tahu yang merawat mereka orang lain, bukan anaknnya.
Seorang Ibu pernah dibentak oleh rentenir saat meminjam uang untuk sekolah anaknya.

Ibu temanku menggadaikan waktu istirahat mereka dengan berkeliling dari rumah ke rumah mencuci pakaian agar anaknya bisa bersekolah dengan layak. Bahkan aku yakin, ibumu punya kisah mengharukan sendiri dalam usaha kerasnya membesarkanmu. Membalas pengorbanannya tak kan cukup dengan harta satu bumi. Mengabdi dan berbakti adalah cara termahal untuk membalasnya. Walau sebaik apa pun engkau berbakti, hutang asinya tak kan terbayar. Keringat pengorbanannya tak kan pernah terganti. Cinta sucinya tak kan ada yang bisa menandingi.

Rasulullah saw pernah ditanya oleh sahabatnya,
"Ya Rasul, setelah Allah dan engkau rasulnya, sipakah orang yang harus aku hormati dumuka bumi ini?"
Rasulullah Saw menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul menjawab "Ibumu!"
“Setelah itu siapa ya Rasul?”
Rasul kembali menjawab "Ibumu!"
“Lalu setelah itu siapa ya Rasul?”
Kemudian Rasulullah saw baru menjawab "Ayahmu!"

29 Juli 2007
Mengenang Jasamu Ibu...

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.