Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Jambi layaknya kota di Arab. Di kanan kiri, rata-rata wanitanya menutup aurat. Walau, tak semua berlandas Al Qur’an. Masjid tampak ramai. Orang-orang berlomba mendapat kebaikan atau mungkin cuma sekedar ikut memakmurkan. Yah, Ramadhan telah tiba. Semua bersuka cita.

Menelusuri Jambi di bulan suci benar-benar menyejukkan. Hampir setiap sekolah di pagi hari membacakan ayat-ayat Al Qur’an yang mulia. Tiap-tiap Universitas dipenuhi berbagai acara yang akan memperkuat ruhani. Kehangatan keluarga di saat buka dan sahur, menjadi motivator yang tak tertandingi. Shalat malam pun, kini menjadi tradisi. Tiap-tiap masjid di malam hari, terisi muslim tangguh yang beri’tikaf menghambakan diri. Setidaknya, itu yang aku rasakan.


Terik menghanguskan udara. Membakar adrenalinku, mengusik tenggorakn dan kerongkonganku. Bis besar yang menuju kampusku tak jua tiba, entah ke mana larinya. Dalam diam, tetap tak kuhentikan doa. Walau sudah gerah rasanya.
Akhirnya, kepalanya menyembul di ujung jalan. Aku bersiap. Seseorang yang berjarak beberapa meter dariku juga berdiri dari bangku halte. Pintu terbuka. Kesejukkan ac melanda. Aku terus maju mencari tempat duduk kosong. Tapi, sepertinya tidak ada.

Dengan terpaksa aku berdiri. Sebenarnya, sudah letih kaki ini. Cukup jauh aku berjalan dari rumah temanku tadi. Di halte pun tak kebagian tempat duduk. Tapi, sudahlah. Lebih cepat aku sampai di kampus, jauh lebih baik.



Namun, tiba-tiba pemuda di sebelahku berdiri, dan mempersilahkan aku untuk duduk. Bukan pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, karena hatiku sedang kegerahan, kududuki juga tempatnya tadi. Ya Allah, semoga kau terima amal dan puasanya, semoga engkau balas dengan lebih baik lagi. Batinku berdoa.

Alunan lagu Opick mengiringi laju bus. Wanita di sebelahku sedang tilawah. Ah, dia lebih cepat dariku mencuri waktu. Aku juga mengambil mushaf di tasku. Bismilah, semoga aku mendapat keutamaan dengan membacanya.

Bus tiba tepat saat aku menghabiskan surat Fatir. Bergegas aku menuju masjid kampus, berjamaah tentu lebih utama. Azan bergema saat aku menginjakan kaki di lantai masjid. Alhamdulillah tepat pada waktunya. Namun, ternyata masjid ramai. Aku pun menanti antrian wudhu yang cukup panjang, belum lagi antrian mukena mesjid dan banyaknya muslimah memenuhi semua shaf. Alhamdulillah mesjid ini dimakmurkan. Aku pun mengikuti jama’ah ke dua.

Kampus ramai. Mahasiswanya pun tak seperti biasa. Sepertinya, lebih banyak mengenakan jilbab. Sebagian kantin tutup dan sepi. Tidak seperti biasanya, kajian rutin oleh masing-masing fakultas ramai. Subhanallah, lagi-lagi aku bertasbih. Lihatlah hambamu Ya Rabb. Bulan ini mencerahkan mereka. Pahala akhirat tujuan utama.

Tanpa terasa 30 hari berlalu. Gema takbir membahana. Alhamdulillah, bulan nan fitri menjelang. Sudut hatiku merintih, semoga aku masih bisa menjumpaimu Ramadhan. Semua bercuka cita. Silaturahmi menjamur. Hari kemenangan dirayakan. Usia bumi pun menua.
Siang yang sama teriknya, satu bulan kemudian. Langkah kupercepat menyongsong zuhur. Azan telah selesai menggema. Wah terlambat, pasti masjid sudah penuh, pikirku. Dengan cepat kuberwudhu dan langsung berlalu masuk mesjid. Cuma ada satu shaf wanita di sana. Itu pun tak penuh. Aku beristighfar. Ini kah buah Ramadhan?
Seusai shalat dan tilawah, aku berlalu ingin pulang. Setengah jam lagi, adik-adik mentoringku menanti. Aku usahakan cepat. Bus pulang sudah mulai berjalan. Dengan cepat kulambaikan tangan ke arah kondektur. Tidak ada waktu menunggu bis berikutnya, biarlah berdesakan.

Ternyata benar. Bus sesak. Beberapa orang berdiri, termasuk aku. Semua bangku penuh. Seseorang yang aku kenal juga berdiri di batasi 3 orang denganku. Muslimah yang aku tahu sebagai dosen muda di Universitasku. Tangannya tampak keberatan memegang buku. Kalau tak salah di sebelahnya seorang pemuda beransel. Apa tidak ada satu keinginan dalam hatinya untuk memberikan Bu Dosen itu tempat duduk.

Aku geleng-geleng. Rasanya baru kemarin ada seorang lelaki yang berani berkorban untuk membantuku. Yang duduk di kananku sangat berisik. Mengalahkan teriakan Pasha Ungu dengan lagu Di sini untukmu. Entah apa yang mereka bicarakan. Telingaku hanya menangkap cibiran dan sedikit aib nama seseorang yang tak ku kenal. Aku beristghfar kembali. Baru sebulan Ramadhan berlalu, ini kah buahnya?

Fenomena kecil yang sudah biasa dan dianggap biasa. Ramadhan nan suci tak dihargai, cuma dianggap sebagai tradisi. Jilbab cuma hiasan seremonial, dilepas kembali jika syawal datang. Kebajikan kembali langka. Masjid kembali berhuni sepi. Benar-benar tak berbekas walau pun hanya sekedar jejak kaki.

Jadi apa motivasi menghidupkan Ramadhan? Apa cuma karena semua orang berpuasa kita pun ikut-ikutan puasa? Apa karena semua pahala berlipat ganda di bulan ini, sehingga di sebelas bulan berikutnya tak menggiurkan untuk berburu pahala? Atau karena sekedar cari sensasi baru, karena bulan selebihnya terasa monoton?

Sungguh munafik jika pikiran itu terlintas. Salah satu indikator keberhasilan berpuasa di bulan suci ini adalah berhasilnya diri kita membawa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, untuk diterapkan pada sebelas bulan berikutnya. Bukannya mengambang ditelan waktu. Sewaktu Ramadhan tiba, kita dengan susah payah menahan nafsu untuk berpuasa, menyediakan waktu untuk membaca Al Qur’an, menginfakan sebagian harta untuk orang-orang yang membutuhkan, dan menahan ucapan dari kata-kata kasar dan yang tak bermanfaat. Namun, apa manfaatnya jika itu hanya kita lakukan hanya di bulan ramadhan?

Orang-orang ramai beri’tikaf di masjid. Mengharap malam Lailatul Qadar menyapa diri mereka. Itu tidak salah, malah diperintahkan. Namun, jika di bulan-bulan lain kita bahkan jarang menghampiri masjid, untuk sekedar shalat zuhur berjamaah, apakah orang-orang seperti ini yang berhak mendapat keutamaan malam seribu bulan?

Sebuah hadits meriwayatkan “Amal Rasulullah saw tak ubahnya hujan turun rintik-rintik. Bila beramal beliau melanggengkannya. Sebaik-baiknya amal adalah amalan yang berkesinambungan walau amal itu sedikit” (Riwayat Muslim).

Membaca satu halaman mushaf Al Qur’an setiap hari itu lebih baik, daripada menghantamkan 1 juz Al Qur’an pada waktu Ramadhan namun setelah itu Al Qur’an mulia tak pernah disentuh lagi. Itu salah satu contoh dari hadits tersebut. Amal sedikit yang berkesinambungan itu lebih mulia, daripada amal yang banyak tapi cuma sekali-kali kita lakukan.

Hadits tersebut mungkin sedikit menyindir kita. Ramadhan memang bulan yang lebih mulia daripada bulan-bulan lain. Semua amalan jauh dilipatgandakan. Tapi, bukan untuk dilakukan sekali-kali amalannya. Bukan itu yang dimaksudkan Allah dengan memuliakan Ramadhan. Namun, sebagai latihan pada diri kita, dalam menapaki hari-hari panjang sebelas bulan lamanya.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka lanjutkanlah dengan sungguh-sungguh (urusan )lain” (Al-Insyirah:7).
Dengan melanjutkan apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan, itulah tujuan

Ramadhan sesungguhnya. Seperti sabda Rasulullah saw ”Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan syawal, seakan-akan ia berpuasa selama satu tahun”(Riwayat Jamaah kecuali Bukhari dan Nusa’i dari Abu Ayyub Al-Anshari). Seperti itulah yang diperintahkan baginda Rasul. Meninggalkan Ramadhan, namun tidak melepaskan amalannya.

Laksana seorang perternak kambing. Awalnya hanya dua ekor kambing. Namun, jika rutin dirawat, dipelihara dengan baik, maka lambat laun kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semua kesabaran kita untuk merawat dan menggembalakan kambing itu setiap hari akan berbuah baik. Kambing itu akan tumbuh besar dan nantinya akan menghasilkan keturunan yang banyak. Berbeda jika kita langsung membeli 100 ekor kambing sekalipun, namun tidak pernah kita rawat dan kita biarkan saja di padang rumput yang luas, maka kambing-kambing itu pastilah akan habis. Entah dimakan srigala, atau lepas ke hutan. Namun, yang jelas dikemudian hari kita tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian.

Seperti itulah amal. Amalan yang berkesinambungan, akan menuai hasil yang lebih baik setiap waktunya. Dan yang kita dapat adalah keuntungan yang terus-menerus. Sebaliknya, amalan yang hanya kita lakukan hanya semalam atau satu bulan saat Ramadhan, maka bulan-bulan berikutnya amalan itu akan hilang dan kita tidak pernah mendapatkan apa-apa melainkan kerugian.

11 Agustus 2007
Menanti sebulan datangnya Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.