Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Aurora


Seorang tua duduk dengan raut serius di balik meja kerjanya. Uban di kepalanya tak menutupi ketampanannya. Mungkin karena keriput belum sepenuhnya menjalari wajah. Yah, belum terlalu tua. Cukup muda untuk seukuran gelar yang terukir di atas papan nama di meja kerjanya. Abraham Carlivan. Seorang jendral tertinggi.

Malam baru hinggap. Bau asap makan malam setidaknya masih tercium. Si lelaki tua itu benar-benar disibukkan aktivitasnya. Sesekali tangan kanannya mencoret-coret tulisan berupa tanda tangan di beberapa kertas. Ke dua matanya sibuk membaca tebaran kertas di mejanya. Hingga tiga ketukan dari pintu masuk ruang kerjanya terdengar.

“Excuisme, Sir,” terdengar suara seorang wanita di luar sana.

Mr. Carlivan seperti telah mengenal suara itu. Agak lambat ia berpikir. Sebenarnya saat ini dia sedang tak ingin diganggu.

“Masuk!” perintahnya.

Pintu itu terbuka. Seorang wanita berblazer rapi dengan rok agak mini mengagguk dan masuk beberapa langkah.

“Ada yang ingin bertemu, Sir,” katanya tegas.

“Siapa?” tanya Carlivan.

”Seorang pemuda yang tak mau menyebutkan namannya,” jawab wanita itu.

”Pemuda? Ah, usir saja! Aku sedang tak ingin diganggu,” jawab Carlivan agak tersinggung. Ia kira ada seorang penting yang ingin bertemu dengannya.

“Tapi, dia bersikeras ingin bertemu dengan Anda, Sir. Dia bilang ingin memberi kabar tentang si brengsek yang tak tertangkap,” bantah wanita itu hati-hati. Sebisa mungkin ia berusaha agar tak salah mengingat kata-kata terakhir.

Carlivan mendelik setengah kaget. Namun, dengan cepat dia memperbaiki posisinya seelegan semula. Mau apa dia kemari?

”Baik, suruh ia masuk,” katanya singkat.

Wanita itu pun berlalu. Hati Carlivan masih diliputi tanya. Pintu kembali terbuka. Seorang lelaki bertopi masuk dengan santainya. Seperti teman lama yang baru bertemu. Namun, jika dilihat tentu saja itu tidak mungkin. Usia mereka lumayan jauh. Bisa dikatakan seperti ayah dan anaknya.

Tanpa disuruh, si lelaki duduk di hadapan Carlivan dan membuka minuman kaleng yang ada di lemari kecil di sebelahnya.

”Ada apa kau kemari?” tanya Carlivan dingin. Ia tak suka dengan sikap cueknya. Terlalu meremehkan seorang jendral. ”Kau sudah berhasil menangkap si brengsek keparat itu?” lanjutnya tak sabar.

Pemuda itu menggeleng. Membuat Carlivan semakin geram dan kesal.

”Aku sudah bilang padamu, Josh. Jangan pernah kau datang kemari jika kau belum berhasil menangkap teroris sialan itu. Reputasiku sudah dianggap hancur saat ini, kau ingat? Yang tertangkap selalu penjahat kacangan. Aku ingin dia. Pemimpinnya,” bentak Carlivan mengamuk. Dia tak peduli lagi dengan imagenya.

”Kau tenang dulu, Pak Tua. Aku belum bicara kan?” jawab Josh sesantai mungkin.

Carlivan menatap geram. Dengan sekuat tenaga ia kuasai emosinya. Jika ia tak ingat pemuda di depannya ini adalah seorang mossad licik yang cukup ditakuti, sudah ia usir atau pecat barangkali.

”Aku memang belum berhasil menangkap penjahat terhebat Abdurrahman As Shidiq itu. Dia sangat licik. Pengikutnya banyak. Hampir seluruh rakyat Palestina mendukungnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk menangkapnya,” jawab Josh tenang.

”Aku sudah bilang persetan dengan dukungan Palestina. Negara itu sebentar lagi hancur. Seluruh rakyat Israel telah dibayar supaya mau pindah ke Palestina. Jika Abdurrahman As Shidiq itu tertangkap, gerakan mereka akan kacau. Dan kita semua akan menang. Kau mengerti itu?” bentak Carlivan tak mau kalah.

Dia seudah geram dengan aksi pemberontakan Palestina sejak dulu. Negara sialan yang berani menentang Israel Raya. Dia bersumpah akan memusnahkan Palestina.

”Iya, aku tahu. Jangan remehkan aku, Sir. Aku yang bergulat dengan tentara Hamas di bawah sana. Bukan kau yang hanya duduk di balik meja besar ini. Aku tahu betul seluk beluk gerakan mereka,” suara Josh menekankan.

Carlivan terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Josh tadi. Dia yang telah memilih Josh sebagai ketua dalam Tim khusus untuk menangkap Abdurrahman As Shidiq, yang konon tangan kanan setia teroris terkemuka Osamah Bin Laden. Carlivan tau betul isi otak Josh. Sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan uang yang banyak. Namun, ia bukan pekerja kacangan yang mungkin visi mereka sama dengan visi Josh tadi. Kerjanya benar-benar profesional.

”Aku memang belum berhasil menangkap Abdurrahman itu. Tapi aku berhasil menangkap orang yang sangat dekat dengannya. Tangan kanannya sekaligus menantunya. Fakhrul Ahsan,” suaranya meninggikan nama terakhir.

Carlivan terbelalak tak percaya. Fakhrul Ahsan adalah nama ke dua yang ia cari setelah Abdurrahman As Shidiq. Motor penggerak yang sangat berpengaruh di Palestina. Seorang bekas panglima perang Hamas.

”Kau? Kau serius telah menangkapnya?” tanya Carlivan tak percaya. Josh mengangguk dengan malas. Dia sedikit kesal Carlivan tak mempercayainya.

”Di penjara bawah tanah,” jawab Josh.

”Wow, luar biasa. Kau menyelamatkan karierku, Josh,” Carlivan memekik girang. Ini benar-benar sebuah kejutan.

Fakhrul Ahsan telah tertangkap. Ia tahu betul ikatan antar sesama muslim di Palestina. Mereka sanggup menukar apa saja demi saudara mereka. Atau mungkin juga demi orang lain. Fakhrul Ahsan adalah orang yang terdekat dan mungkin juga yang paling disayangi Abdurrahman As Shidiq. Langkah selanjutnya akan terasa ringan. Karena pemerintahannya, ia berhasil merebut Palestina. Dunia akan bangga pada mereka, karena telah menundukkan negeri agama teroris itu.

***


”Di bawah sini, Sir. Di penjara khusus,” ujar josh menuntun Carlivan memasuki lift.

Mereka turun hingga bawah sekali. Berada di lift jadi terasa membosankan. Carlivan yang mengusulkan mendirikan penjara khusus, untuk orang-orang yang benar-benar pembangkang. Termasuk Fakhrul Ahsan. Yah, dia pantas di sini.

Mereka tiba di dasar. Gelap dan sunyi. Yang terdengar hanya suara air yang menetes. Keramaian jauh berkilo-kilo di atas sana. Josh menyalakan obor dan berjalan dengan suara decitan sepatu yang menginjak lantai yang lembab. Tidak ada apa-apa kecuali tiga pintu di sana.

Josh melangkah ke salah satu pintu dan membukannya. Sengaja tidak ada penjaga, karena tidak akan ada yang sanggup tinggal sehari di sana. Atmosfir dan gravitasi sangat tinggi. Tekanan udara pun tinggi. Pikiran terasa melayang. Otak tidak akan mampu berpikir optimal. Semua semangat mengendur. Yang tertinggal hanyalah rasa pesimis. Benar-benar penjara yang mengerikan.

Mereka berjalan melewati beberapa kamar berjeruji besi. Ada enam tepatnya. Satu kamar berpenghuni satu orang. Jangan dikira antar penghuni sel akan bisa berkomunikasi. Jarak yang terbentang cukup jauh. Cukup menghabiskan tenaga jika berteriak ingin berbicara. Mereka seakan sendiri. Di ruangan yang nyaris membuat mereka gila. Tidak, pada akhirnya mereka benar-benar gila dan mati. Sungguh pantas untuk para teroris yang berbahaya.

Semua penghuni jeruji besi terdiam. Tak beranjak meski ada yang datang. Entah sibuk memikirkan apa. Entah berada di hayalan mana. Mereka sampai di ruang terkahir. Seorang pemuda tampak lesu duduk di sana.

”Kau senang di sini, Fakhrul Ahsan?” tanya Carlivan pada si pemuda. Fakhrul Ahsan tetap diam.

Josh membukakan pintu jeruji. Carlivan masuk dan mendekati. Josh bilang sudah dua hari ia masuk ke sini. Otaknya sekarang benar-benar hilang fungsi. Mendengar pun sepertinya tak sanggup.

”Kasihan sekali nasibmu. Sekarang kau harus mengakui, Israel lebih hebat dari kalian. Kalian hanya segilintir orang sombong pengikut agama kejam. Sebentar lagi Palestinamu akan hancur dan benar-benar tak akan tertera di peta dunia manapun,” ujar Carlivan bangga.

Carlivan terbahak. Hatinya benar-benar senang. Suaranya membahana ke penjuru ruangan. Tiba-tiba, Fakhrul Ahsan bangkit dan meninju Carlivan.

”Allahu Akbar!” Carlivan terjengkang ke belakang.

Carlivan tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seharusnya ia tak punya tenaga lagi. Belum sempat ia berdiri, Fakhrul Ahsan bergegas keluar. Josh menyambut dengan mengunci kembali jeruji itu dan mengurung Carlivan di ruangan itu. Carlivan berlari ke arah pintu.

“Josh, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku. Kau membiarakan seorang penjahat kabur,” Carlivan mengguncang-guncangkan jeruji itu.

“I am a muslim, Sir. Bukan Josh. Tapi Jarrash. Umar Al Jarrash,” kata Josh tiba-tiba. Carlivan terkejut.

“Pengkhianat. Kau benar-benar bodoh mau bergabung dengan mereka. Agama mereka monster, Josh. Kau akan menjadi pembunuh. Teroris, sama seperti mereka,” Carlivan berteriak.

“Kalian yang pembunuh. Sudah cukup aku menyaksikan kebiadaban kalian menyiksa rakyat tak bersalah demi kepuasan kalian. Kukira Yahudi benar-benar menjadi juru damai dunia. Kalian tak lebih dari seekor anjing berkepala dua. Sudah cukup kesenanganmu menghina agama Allah. Sekarang kau bisa lihat, kebenaran yang akan berkibar. Islam yang menang. Bukan kau, penjahat. Selamat tinggal jendral perang yang agung,” jawab Josh agak berteriak.

Ia pun berlalu meninggalkan Carlivan yang memberontak. Fakhrul Ahsan mengikutinya. Matanya hampir leleh dengan air mata. Selamat datang Al Jarrash. Islam kembali bangga, sama seperti ketika Sayyidina Umar Bin Khathab menerima hidayah. Sungguh, Engkau memberi hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki, Rabb.

***

“Semua pasukan di Gaza telah ditarik. Juga di timur Palestina. Carlivan mendengar saranku untuk menarik pasukan karena Fakhrul telah tertangkap. Alhamdulillah. Perdana menteri kejam itu mungkin telah gila di penjara yang ia buat sendiri. Tidak akan ada yang tahu ia ada di sana kecuali kalian. Aku telah mengurusnya. Yang mereka tahu, Carlivan kabur dari jabatannya karena malu reputasinya telah hancur,” jelas Jarrash di majelis itu.

Semua yang hadir berteriak takbir dan dzikir. Air mata mereka mengalir. Semua bersujud di hadapan Allah atas apa yang telah Allah kirimkan kepada mereka.

“Semoga Allah merahmatimu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah memilihmu menjadi orang-orang yang ikhlas berjuang di jalan Allah,” doa seorang tua yang akrab dipanggil Syekh Abdurrahman As Shidiq kepada Jarrash.

“Hanya itu yang bisa aku lakukan, Syekh. Dosa-dosaku terlalu banyak. Tangan ini telah membunuh jutaan nyawa. Telah merampas ribuan kehormatan. Aku merasa tak pantas untuk diampuni.” Kini giliran Jarrash yang menangis.

“Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Jika kau benar-benar ingin bertaubat, Allah pasti akan mengampuni. Seorang Umar pun juga melakukan kesalahan yang juga nista sebelum hidayah datang padanya. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang bertaubat dan berbuat kebaikkan. Malah ia yang menjadi mujahid terdepan dan menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah saw,” hibur Syekh Abdurrahman.

Jarrash benar-benar bersyukur bisa diselamatkan oleh Allah. Ia terbayang saat dia hendak menangkap Fakhrul Ahsan. Senjatanya telah siap ingin menembus dadanya. Namun, tiba-tiba sabetan pedang menghantamnya dari belakang. Beberapa orang mengeroyoknya. Ia tak kuasa melawan.

Ia benar-benar merasa itu akhir hidupnya. Seorang di antara mereka berbalik hendak menghujamkan pedang ke dadanya. Namun, sebuah tangan menahan. Tangan dari orang yang tadi hendak dibunuhnya.

“Jangan. Rasulullah melarang membunuh karena emosi. Kau sedang marah Zaid. Lagipula, dia sudah tidak berdaya. Tidak baik melawannya,” ujar Fakhrul Ahsan.

Hati Jarrash benar-benar tertegun. Muslim yang ia kira selama ini tak berperikmanusiaan, ternyata membawa ajaran yang baik. Jarrash meminta mereka untuk mengobatinya, karena ia sudah tak sanggup berjalan. Jarrash benar-benar terpukau oleh keindahan akhlak mereka. Jauh dari kesan teroris yang diumbarkan dunia barat.

“Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Kalian duluan yang menyerang kami, tentu saja kami mempertahankan diri. Kami adalah bangsa yang mempunyai izzah. Kami tidak takut kecuali kepada Allah. Kami akan terus bertahan hingga apa yang menjadi hak kami kembali. Kami yang dirampas, kami yang dizhalimi, bukan kami yang teroris,” ujar Fakhrul Ahsan menjelaskan kepada Jarrash.

Setetes embun menyusup ke hatinya. Sangat damai. Dengan mantap, ia memproklamirkan kemuslimannya di hadapan Fakhrul Ahsan. Ia telah bersyahadat dan merubah namanya menjadi Umar Al-Jarrash.

Bintang tersenyum melihat hamba-hamba Allah malam itu bersujud dan bemunajat kepada Allah. Ia iri pada khalifah di bumi, yang dibanggakan Allah di hadapan malaikat dan seluruh alam. Keikhlasan mereka, menambah terang panji Agama Allah yang berkibar di seantero alam. Bintang ikut bertasbih, memuji kebesaran-Nya. Rabbul seluruh Alam.


Jambi,

18 Agustus 2007

For kakakku, Mei Sarah..

Syukron inspirasinya.

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.