Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

“Hati-hati ya, Dek. Kalau ada yang main fisik, lapor aja,” untaian nasehat itu terujar dari mulut Bang Tino yang tengah bersiap-siap menggas motornya kemballi.

“Oke deh. Makasih ya,” jawabku singkat. Deruan gas motor dan kepulan asap mengiringi laju motor tua itu.

Aku berbalik menatap gerbang emas bertuliskan nama Universitas ternama di kotaku. Kilauan kilatnya tampak menari indah yang dalam pengelihatanku mengukirkan kata selamat datang para pencari ilmu. Aku mendesah dengan Bismillah. Udara pagi bumi menyejukan rongga pernafasanku sekaligus menyiramkan hawa dinginnya ke seluruh tubuhku.

Riuh terdengar suara yang lain. Menyaingi ributnya itik yang entah kenapa menjadi tumbal untuk upacara sakral ini. Kutarik itikku yang semalam kubeli dari Nek Tiyem. Dengan berat menahan beban di punggung serta aksesoris jahil di badan, kuberanjak mencari grupku.

“Gimana ney, aku nggak dapat itik. Semalam ngerjain nih tali,” sambut Rea sembari menunjuk umbaian tali rafia di pinggulnya. Kujawab dengan mengangkat bahu.

“Udah, nggak papa kok. Paling dimarahin,” ujarku menghibur namun malah membuatnya tertegun. Wajah imutnya tertekuk panik.

“Untuk Fakultas Hukum langsung masuk ke area kampus, sekarang!” terdengar berat suara bariton dari sebuah toa. Beberapa makhluk yang kukenal berlari terseok mengimbangi itiknya yang berkejaran. Aku tak mau repot. Dengan sayang kuangkat itik yang semalam diberi nama Joy oleh Bang Toni. Lalu mulai berlari mengikuti arus mahasiswa Hukum lainnya.

Sekejap sudah terbentuk 10 barisan yang menghadap tetua-tetua kampus yang berlagak sok mengecak pinggang. Sengaja kupilih barisan terakhir, karena malas melihat wajah-wajah tengik yang haus kehormatan dan mungkin berpeluh dendam. Rea yang di depanku masih terlihat cemas karena tak membawa simbol mahasiswa baru Fakultas Hukum 2006.

“Hey, yang terlambat. Sini kalian!” bentak seorang mahasiswi yang entah tingkat berapa memanggil anggota maru yang terlambat. Wajah-wajah lesu dengan mata kantuk yang tak bisa ditutupi berjalan menuju para tetua-tetua itu.

Aku malas melihat adegannya. Dengan sembunyi aku malah mengeluarkan segenggam makanan Joy yang kusumputkan di saku bajuku. Kasihan dia belum sarapan, batinku. Joy mematuk-matuk serpihan jagung itu dengan nikmat. Aku tersenyum. Yah, ini tontonan lebih baik dari pada melihat muka bersalah dari mahasiswa tertuduh. Atau muka-muka bahagia dari senior-senior pendakwa.

“Semuanya coba lihat kemari. Coba beritahu apa kesalahan-kesalahan dari teman-teman kalian yang pembangkang ini,” ujar salah satu senior membangkitkan rasa penasaranku. Dengan malas kuolengkan wajahku menatap mereka. Namun silau matahari yang baru muncul membuat mataku menyipit.

“Terlambat, Kak,” ujar beberapa anak serempak. Aku diam saja, lebih memilih tak jadi pengkhianat dengan memaki kesalahan pada teman seperjuangan.

Tapi, tunggu. Siapa wanita itu? Suara-suara berisik masih membilang kesalahan mereka. Aku tak ambil pusing. Rasa penasaran pada wanita yang baru kulihat sekarang, membuatku tak fokus lagi. Sepertinya dia sadar aku memperhatikannya. Mata kami beradu dan saling berkomunikasi. Seakan berbincang tentang kenestapaan dan acara tak penting ini. Senyumku terukir. Begitupun dia. Yah, sebuah awal yang indah mungkin.

“Sebagai hukumannya, kalian berempat lari keliling lapangan kecuali kamu yang pake jilbab putih!” bentak salah seorang senior lagi. Yang lain menurut. Aku menatap iba pada saudaraku di seberang sana.

“Saya baru lihat kamu! Kenapa kamu nggak datang kemarin?” bentak seorang senior wanita yang tadi memerintahkan lari keliling lapangan. Wanita berkerudung putih kusam dengan sendu melirik ke bawah.

“Heh, kamu dengar nggak kalo ditanya?” masih bentaknya. Yang lain senyap. Kecuali beberapa itik yang sedari tadi ribut karena dikekang.

“Ibu saya semalam sakit, Kak,” jawabnya lirih namun terdengar hingga kebelakang. Ke telingaku.

“Oh, ibu nona cantik ini sakit toh. Terus, apa hubungannya dengan kami? Tuan putri mau ibunya kami antar ke rumah sakit?” kali ini suara senior lelaki yang disambut sorakan seru dari para senior lainnya. Huh, ingin kurobek mulut-mulut jahil yang telah menurunkan harga diri sahabat baruku itu.

“Untuk kelompok satu. Silahkan lepas itik yang kalian bawa!” perintah lelaki tadi. Kelompok di sebelahku tanggap dan melepaskan itik-itik mereka yang kini berlarian di area kampus.

“Nah, tuan putri, tugas kamu sekarang tangkap itik-itik itu dan bawa ke sini. Harus lengkap. Sekarang!” bentaknya.

“Ayo tangkap!” susul temannya.

Dengan lesu ia mengejar itik-itik berkeliaran yang tak mau ditangkap itu. Otakku memerintahkan mengejar dan membantunya. Namun entah siapa, ada yang memakukan ujung sepatu ketsku hingga masih berada di tempat semula.

Tak tega melihatnya berkeringat mengejar itik yang baru tertangkap satu dua. Riuhan suara tontonan senior dan senyuman para maru mengiringi geraknya menangkap itik. Sakit. Kutundukkan wajahku memilih menatap bumi.

“Sekarang yang tidak lengkap peralatannya silahkan maju,” teriak seorang wanita mengalihkan pandangan semua dari sahabat berkerudung putihku.

Aku menatap Rea. Tungkainya terlihat melemas. Yah, kali ini gilirannya yang dibantai. Aku memeriksa barang-barangku. Kelihatannya lengkap. Syukurlah. Karena bantuan abang tersayangku dan penghuni rumah lainnya aku bisa mengerjakan semuanya. Lengkap.

Sebagian anak menunduk berjalan menuju senior yang tersenyum mendapat pekerjaan baru. Aku hanya melirik iba. Perpeloncoan itu dimulai. Arena yang katanya ajang balas dendam para senior. Atau arena ngeri dan deg-degannya para yunior. Aku hanya menyimpan rapi kata-kata batinku yang mencerca tentang acara yang tak bermanfaat ini.

***



Terik matahari jam satu an itu, membentang tanpa ampun di atas kami. Entah sebagai bukti tak sukanya Allah hambanya disakiti. Atau memang beginilah tugas sang surya di atas sunatan illahi.

Kelompok terakhir itu pun datang juga. Melewatiku menyerbakan hawa keringat yang tak sedap. Wanita berkerudung putih berjalan melewatiku dan tersenyum. Kutebak senyuman pemberi semangat. Kubalas tulus. Sayang, waktu istirahatnya terlalu singkat. Tak ada waktu berbicara lisan sekedar mengucap salam atau menanyakan nama. Tapi kuyakin, hati kami tetap berkomunikasi. Yah, sebuah komunikasi kuat dan erat yang bernamakan ukhuwah.

“Sekarang, kami ingin memperkenalkan sesuatu pada kalian,” ujar seseorang setelah kelompok terakhir itu membentuk satu berisan. “Makam ini, adalah makam salah satu pahlawan pendiri kampus ini. Namanya Sultan Kusumo. Tapi kita memanggilnya dengan sebutan makam Mbah Kusumo. Nah, sekarang kalian berjalan melewati makam ini dengan menunduk dan mengucapkan ‘numpang lewat Mbah, ampuni kami. Jangan sakiti kami’, Gitu. Sekarang ya, mulai dari kelompok 1,” jelasnya kembali. Aku mengenalnya sebagai ketua ospek Fakultas.

Aku deg-degan. Menggadaikan salam penghormatanku kepada makam yang isinya entah diapakan di alam baka sana? Huh, jangan harap. Penghambaanku pada Tuhan ogah kugadaikan.

Mataku melirik ke perempuan yang kusebut sahabat. Mencoba meminta pendapat. Rona parasnya sama. Cemas, namun tegas. Kembali mata kami berbincang. Aku mengagguk dan mengerti maksudnya. Senyum lagi terukir.

“Sekarang kelompok dua,” laki-laki itu memerintah ke kelompokku. Kembali aku mendesah dengan Bismillah.

Lama terasa, akhirnya sampai jua ke tempat yang katanya dikeramatkan itu. Terus kuberjalan. Namun, tidak. Tidak sambil menunduk seperti yang lain. Yah, kuberanikan diri berjalan tegap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ini hanya tempat peristirahatan terakhir. Bukan Tuhan tempat sesuatu meminta, batinku. Sesampainya di seberang sana, tidak ada apa-apa. Kelompok berikut melanjutkan hingga kelompok terakhir. Sikap yang sama kulihat pada wanita berkerudung putih. Aku yakin, pikir hatinya sama denganku.

“Baik, sekarang kalian ikuti pemandu gugus masing-masing untuk tugas berikutnya. Kecuali kamu yang pakai jilbab biru!”tunjuknya kepadaku. Aku menengadah. Aku? “Dan kamu yang jilbab putih,” lanjutnya menunjuk sahabat baruku.

Semua pun berlalu. Meninggalkan aku dan seorang teman serta beberapa senior yang terlihat bengis menatap kami.

“Kalian berdua kemari,” perintahnya. Dengan tak suka kuturuti. “Kenapa kalian nggak menunduk dan hormat pada Mbah Kusumo? Sudah merasa hebat?” tanya sang ketua ospek. Kami memilih diam.

“Jawab!” bentaknya.

“Kami nggak mau berbuat syirik, Kak,” alasanku diwakilkan oleh wanita ini.

“Saya tidak menyuruh kalian menyembah makam ini. Cuma lewat. Sekarang ulangi!” perintahnya. Kami tetap mematung. “Cepat!” bentaknya, lagi kami mematung.

“Kalian tidak mau?” tanyanya. Kami serempak menggeleng.

“Baik, hukumannya. Sekarang kalian lari keliling lapangan dengan mengatakan ‘kami sok suci’ sekarang!” perintahnya. Yah, daripada berdosa. Kami pun mulai berkeliling lapangan.

***

Matahari keesokannya terlihat sama garangnya. Tajam menghujam hingga menusuk ke bawah jilbabku. Dengan pakaian yang sama dengan kemarin, kurapatkan barisanku dengan yang lain.

“Sekarang, kalian diberi waktu 2 jam untuk meminta tanda tangan pada senior,” ujar seorang wanita kepada kami.

“Tapi sebelum kalian meminta tanda tangan, kalian wajib meminta tanda tangan dari ketua Ikatan Fakultas Hukum dan ketua OSPEK. Yang laki-laki silahkan meminta tanda tangan dari Kak Susan ketua Ikatan Fakultas Hukum di sana,” jelasnya menunjuk ke arah wanita berbadan agak gemuk dan kurasa panitia tergalak itu.

“Silahkan rayu kakak itu. Untuk yang wanita, minta tanda tangan pada ketua OSPEK, Kak Erik. Rayu sampai dia mau ngasih tanda tangan. Kalau perlu kalian elus kek pipinya, atau dipuji sampai dia mau. Kalau belum dapat, kalian tidak akan dapat tanda tangan dari senior lain,” lanjutnya.

Beberapa mahasiswa langsung menyerbu. Meninggalkan aku dan mungkin juga sahabat baruku yang memaku. Aku wanita. Aku muslimah. Apa pantas mengemis-ngemis pada seorang lelaki dengan menjatuhkan harga diri?

“Kalian lagi! Kenapa diam saja? Cepat bergerak!” bentak wanita tadi. Aku masih terdiam.

“Mau di hukum lagi?” tanyanya. Geram kutatap mata menyebalkan itu.

“Eh, melotot lagi. Hukuman untuk kalian berdua. Kamu sapu semua sampah yang ada di kampus ini. Dan kamu, karena berani melotot pada senior, lari keliling lapangan sepuluh kali. Dalam waktu 10 menit. Kalau nggak selesai, hukuman kalian ditambah. Cepat!” lanjutnya kesal.

Aku mulai berlari. Dan sahabatku mulai menyapu sampah-sampah yang berserak. 10 menit? Yang benar saja. Di SMA saja perlu waktu 12 menit untuk mengelilingi 5 kali lapangan ini. Baru hitungan ke 3, nafasku tersengal. Mataku berkunang. Hampir terjerembab menyusuri jalan. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Ini lebih baik dari pada menjatuhkan harga diriku sebagai wanita. Mataku terlirik pada teman baruku. Senyum semangatnya terkembang. Aku harus berusaha.

“Stop, sudah sepuluh menit. Gimana sih? Sesuai perjanjian hukuman kalian ditambah. Sekarang, kalian berdiri di bawah bendera itu, hormat sampai dua jam kemudian. Sekarang!” bentak wanita tadi.

Aku masih mengatur nafasku yang tersengal. Sungguh aku tak kuat lagi. Seberat ini kah yang harus kubayar? Ya, ini kebenaran, batinku. Kami berdiri menengadah menatap bendera di atas sana. Aku mulai goyah. Aku tak kuat.
Genggaman erat kurasakan dari sampingku. Genggaman semangat dengan bumbu sayang dari sahabat yang tak kutahu namanya. Kubalas genggaman tangannya. Yah,ini lebih baik. Ini lebih baik. Batinku berulang-ulang. Genggam kami menguat. “Bertahanlah, ini kebenaran,” bisiknya.

*pemenang I lomba menulis cerpen PSM Universitas Jambi

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.