Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...


Mataku terbuka setengah sadar. Kuayunkan tanganku ke pelipis nan berdenyut. Di mana aku sekarang? Aku menatap wanita di sebelahku. Matanya menatap angin, kosong. Tubuhnya tertutup selimut.
Wanita itu sadar aku terjaga. Dengan lembut meraih jemariku dan menggenggamnya. Ya Tuhan, benarkah aku melakukan ini? Batinku mengutuk dan mencaci.
”Kenapa kamu melakukan ini, Gas?” wanita itu bersuara. Aku bingung mencari kata. Kenapa?
”Karena aku mencintaimu,” kalimat itu pun kujadikan jawaban. Aku malas mencari alasan. Aku malas berdebat sekarang.
”Kamu akan tanggungjawab kan?” matanya yang cemas menatapku. Aku meraih kepalanya dan menenggelamkannya kerengkuhanku. Sebuah kata iya, aku embuskan. Mata cantik itu pun terpejam di dadaku nan bidang.
Aku mulai mengulang tanyanya di batin. Kenapa aku melakukan ini? Inginku merengek pada Tuhan, meminta mengulang waktu yang terlanjur berlalu. Aku tak ingin menghancurkan perasaan Ibu yang menggantungkan banyak harapan padaku. Aku tak kuat menatap Bapak yang telah hitam mukanya kubuat.
Aku pun teringat masa itu. Saat aku baru bertemu dengannya. Si cantik dan cerdas, yang membuat semua lelaki di kampusku mengangankan berposisi di hatinya. Aku kagum akan kecerdasan itu. Aku suka wajah cantik itu. Dan aku pun memberanikan diri mengutarakan cintaku.
Ajaib, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Ia menerimaku menjadi pangeran di hatinya. Dengan bangga kuumumkan pada semua, Nesya adalah pacarku.
Aku bahagia bersama dengannya. Hari-hariku penuh cinta dibuatnya. Seorang teman berkata, sungguh pantas kuberada di sebelahnya. Bagas Permana, pebasket andalan kampus dan Nesya Rianti, ketua English Club fakultas.


Ah, cinta, cinta. Aku perlu mengulangnya setiap hari saat bersamanya. Namun, aku tak bohong. Aku benar-benar cinta padanya. Kurelakan tak ikut kuliah demi menjemputnya di salon atau di manapun. Aku sisihkan uang dari Bapak tuk penuhi keinginannya. Aku merasa itu sebanding dengan begitu indahnya ia mengisi hari-hariku.
Sayang, aku terjebak. Aku dahulu lupa kalau aku adalah lelaki. Semakin lama kejantananku muncul. Aku tak tahan dengan suguhan bahunya yang mulus. Aku mengutuk pakaian itu. Yang membiarkan bagian atas dadanya terbuka. Namun, aku tak bisa berkilah. Aku menikmatinya.
Aku juga tak bisa bohong, bahwa aku suka tubuhnya. Aku suka saat ia memamerkan betis indahnya. Saat ia menyilangkan satu kakinya di atas kaki satunya, yang membentuk satu belahan. Seringku hanya menelan ludah, mengatur dadaku yang bergemuruh.
Sungguh, aku beralasan semua bukan sepenuhnya salahku. Ia yang buat hatiku kebat kebit, saat desahan nafasnya memutar dan menggelitik saraf pendengaranku. Kebiasaannya yang menggelayut manja di pundakku, membuat desiran cinta itu menderas. Atau caranya tersenyum indah padaku. Aku merasa sempurna.
Bukannya aku tak ingin menahannya. Ribuan cara kulakukan agar tak kuturuti napsu biadab. Tapi, salahkah aku yang tak kuat dengan suguhan-suguhan menakjubkan itu?
Aku teringat satu temanku. Rahmat. Saat Nesya datang kulihat wajahnya menunduk. Saat Nesya menegurnya, ia jawab tanpa melihat. Saat diulurkan tangan halusnya mengajak berjabat, ia balas menelungkupkan kedua tangannya di dada. Ah, itukah yang sering kausebut menjaga diri, Sobat? Aku menyesal terlalu sombong dengan berkata aku tak akan terjebak nafsu syaitan. Aku menyesal. Sungguh, menyesal.
Ah, Rahmat yang menawan. Dulu aku sempat mengoloknya gay, karena ia tak mau berpacaran. Aku takjub padanya. Ia tahu akibat apa yang akan terjadi. Betapa malunya aku jika ia tahu kejadian ini.
Aku kembali menatap wajah cantik itu, yang pulas di dadaku. Perasaan sesalku memudar. Toh kami suka sama suka. Ini normal, Gas. Suara-suara itu entah dari mana. Menenangkan perasaanku yang kecewa. Kembali ku jalankan prinsipku. Biarkan seperti air mengalir. Yang terjadi esok, silahkan terjadi.
***
Seterusnya berjalan normal. Malah, simpulku aku makin jatuh cinta padanya. Sejenak, terlupakan rasa sesal yang dahulu sempat melanda.
”Hai, boleh pinjam Bagasnya nggak?” sapanya pada teman-temanku. Aku tersenyum menyambut bidadari hatiku. Gemuruh sorakan terdengar. Aku tak peduli. Kuikuti langkah anggun itu menjauh. Yah, latihan basket pun telah usai.
”Kemana, sayang?” tanyaku mesra. Kurangkul bahunya yang terbuka.
”Ke cafe bentar,” jawabnya menyebut tempat favorit kami.
Kami pun duduk saling berhadapan. Setelah minuman tersuguh, dan basa-basi kecil terbilang, ia menatapku serius.
”Gas, kamu benarkan cinta sama aku?” tanyanya. Aku tersenyum kecil. Geli menatap mata jenakanya saat serius.
”Ih, Bagas ah. Aku serius. Kamu cinta nggak sama aku?” ulangnya.
Aku makin deras tertawa. Membuat siluet cemberut terukir di wajah cantiknya.
”Kok nanyanya gitu sih? Masa masih belum percaya?” jawabku di sela tawaku.
“Kalau gitu, nikahi aku,” ujarnya polos. Tawaku terhenti. Aku? Menikah?
“Aku mencintaimu, Sayang. Tapi, tunggu aku dapat kerja ya. Aku janji akan menikahimu. Apa siy, yang nggak kuberikan buatmu, Cinta?” senyumku merayu. Menikah tak semudah yang ia pikir.
”Aku hamil, Gas,” ujarnya datar. Aku benar-benar terdiam. Hamil?
”Dulu kau pernah janji akan bertanggungjawab kan?” desaknya disela isak tangisnya.
Aku menelan ludah. Teringat usia kuliahku yang baru dua tahun. Biaya hidupun semua dari Bapak. Bagaimana aku bisa menafkahinya?
”Iya, aku janji. Tapi nggak sekarang. Aku belum siap,” jawabku menenangkan.
Tangisnya menderas. Aku menatap sekeliling. Sepi, untunglah. Kubelai tangannya menenangkan.
”Orang tuaku belum tahu. Tapi, sampai kapan? lambat laun pasti mereka sadar,” masih di sela isak tangisnya. Matanya yang berair, mendung. Aku gelisah. Bagaimana ini?
”Iya, tapi...”aku menggantungkan ucapan. Bingung mencari alasan. Duh, apa yang harus kujawab. Sungguh tak mungkin aku menikah sekarang. Biayanya terlalu besar. Dan aku tak punya tabungan sepeser pun. Sebersit ide mencuat.
”Bagaimana jika kau gugurkan?” tanyaku menimbang. Tangisnya makin keras. Aku makin bingung menghadapi. Duh, seandainya aku bermimpi.
”Sayang, kita gugurkan dulu. Nanti setelah dapat pekerjaan, aku akan langsung melamarmu. Aku janji,” jelasku memberi harapan. Lagi, tak pasti.
Isakannya mereda. Terangguk lemah ia setuju. Aku menghela nafas. Apa lagi ini? Setelah zina, kau jadi pembunuh? Suara demi suara mengecamku. Terpahit getir aku membayangkan makhluk mungil tak berdosa itu. Sesosok kecil yang seharusnya memanggilku ayah. Sesal itu datang lagi. Selalu terlambat.

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.