Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***




Memangnya siapa yang bisa mendefinisikan arti cinta? Omong kosong bagi mulutnya yang berbuih sibuk menuturkan kata-kata cinta. Apalagi yang mengucapkannya dengan lisan hitam di bawah pohon nan gelap bersama teman melacurnya. Jika penafsiran cinta hanyalah berupa kata dan sastra untuk menetaskan nafsunya belaka, maka suatu saat ia akan menjelma menjadi perasaan syaithan pada manusia. Entah istilah apa itu namanya, yang pasti bukan lagi pantas disebut cinta.

Kata orang, cinta lahirnya dari hati. Tapi bagiku, cinta mereka hanyalah penafsiran semu yang didapat dari goresan panah syaithan yang masuk menembus retina manusia. Lalu ditutupi dengan desiran perasaan aneh yang menggelitik organ tubuh lainnya. Inikah yang disebut cinta, Kawan? Bagiku itu tak lain hanya nafsu yang diwarnai merah jambu. Tulisan cinta hanya satu. Tuhan. Saat akad telah terucap di hadapan-Nya.

Ingin kuludahi para lelaki yang sibuk merayu wanita yang tak ada harga diri itu. Takkah kalian sadari, mataku panas melihat adegan mesum kalian. Kupingku geli dengan rayuan gombal kalian. Aku juga pemuda, tapi maluku lebih dewasa daripada kalian. Dan kenapa pula kalian penuhi taman-taman kota, hingga mau tak mau aku menahan mual berjalan melewati kerikil-kerikil yang diam.

Aku pusing harus berpikir seperti itu terus setiap menyusuri jalan pulang. Seperti malam ini. Saat angin malam terus berlalu lalang, saat harusnya aku ikut merehatkan penat bersama bulan yang menggantikan matahari, di sepanjang jalan yang kutemui hanya para pemuda yang sibuk merasa gaul. Menikmati adegan-adegan yang katanya, keindahan cinta. Membuatku muak. Suatu saat, jika aku sudah punya kendaraan, maka aku akan belajar kencang agar tak tercemari oleh kalian. Dan suatu saat nanti,seperti dalam doaku, aku akan mempersunting bidadari yang tidak seperti para wanita kalian. Bidadari yang menjaga pakaian dan tingkah lakunya. Yang selalu dijanjikan oleh Allah bagi lelaki yang sholeh pula.

Aku berbelok ke lorong menuju kontrakanku. Lorong sempit di salah satu kota di pulau jawa. Kota yang dulu sangat terkenal dengan kereligiusan penghuni-penghuninya. Kota yang salah satu warnanya adalah gedung dan nama pesantren-pesantrennya yang memukau. Tapi, entah iblis mana yang merasuk kota ini, hingga kini sebagian pemudanya kehilangan moral dan akhlak. Bukan hanya pemuda, melainkan kini merambat ke orangtua, pejabat, penegak hukum, dan bidang lainnya.

Di ujung lorong adalah pemukiman padat penduduk. Di malam hari, hanya terlihat lampu berkelap kelip. Pastilah sudah hampir tengah malam, sebab jalan terasa lenggang dan tak ada yang terlihat menggosipkan orang. Sayup-sayup hanya terdengar suara televisi atau malah radio tua dari beberapa rumah. Tiba-tiba aku pun juga merasa lelah.

Begitu melewati kira-kira selusin rumah, inilah dia rumahku. Kecil, tanpa pagar, tetapi ada sedikit halaman, yang kuisi dengan beberapa bunga sepatu dan bonsai kampung. Jadi jangan harap bisa memarkirkan mobil di sini. Warnanya putih kusam, hampir senada dengan rumah-rumah lainnya. Ada teras, tapi hanya untuk meletakkan sepatu. Beberapa ubinnya sudah ada yang retak, bahkan hancur. Tak bisa ditaksir, sudah berapa lama rumah tua ini berdiri, hingga saat ini kukontrak dengan harga sangat murah pertahunnya.

Aku membuka pintu dan berlalu masuk. Hanya ada satu ruang tamu, satu kamar tidur, dapur mungil dan wc kotor yang sudah sangat usang. Sederhana, tapi bagiku lebih dari cukup. Mengingat letaknya cukup strategis, 15 menit dari tempatku bekerja dengan berjalan kaki. Hampir tak ada barang berharga di sini. Hanya ada rak buku yang penuh dengan majalah-majalah Islam, pinjaman dari sang punya rumah. Huf, selamat malam dunia. Jika aku masih boleh bangun esok, maka tanganku terbuka siap menyambut cerita hidup yang semoga bahagia.

***

Harapan Semesta, di sinilah aku bekerja sejak lima bulan yang lalu. Toko serba ada milik Haji Cohang. Menjual segala macam perlengkapan sehari-hari. Begitulah kira-kira slogan yang tertera di balehonya. Toko ini dipenuhi banyak sekali barang yang tak sepadan dengan luas gedungnya. Aku berkerja sebagai apa saja di sini. Kuli, kurir, kasir, apa pun yang penting halal. Satu-satunya toko yang mau menerima tamatan MTS di tengah-tengah kerasnya hidup di kota besar.

Bosku sangat cerewet. Jika dia berhenti sejenak saja dari berbicara, maka hujan akan turun sore harinya. Pegawai lain Darmo, kira-kira lima tahun lebih tua dari aku. Mukanya sangat keras dan selalu marah-marah. Aku selalu berusaha untuk tidak menyinggung perasaanya, mengingat kekuatan ototnya luar biasa. Lima kantung beras sekali angkut. Dan yang paling membuatku jengkel tiap harinya adalah Susi. Cantik tidak, menarik apalagi. Dengan pakaian seadanya dia bertekad untuk mendekati setiap langganan pria yang datang. Yang paling menyebalkan termasuk menggoda aku.

Tapi, dari segala hiruk pikuk Harapan Semesta ini, ada satu yang membuatku sangat betah. Letaknya persis di seberang Pondok Pesantren Ar Rayyan. Dengan bangunan yang sangat megah. Berwarna putih bak mutiara, setiap terdengar suara apa saja dari gedung indah itu, membuatku selalu merinding. Entah itu azannya, tilawah bersama yang sering terdengar hingga ketelingaku, ataupun pengajian mingguan yang selalu mengundang rakyat sekitar.

Kalau saja Bapak masih hidup, barangkali ia sanggup memasukan aku ke pesantren ini. Barangkali, aku lah yang keluar dengan gagah tiap hari sabtu untuk berjalan-jalan dengan memakai kopiah. Barangkali aku yang selalu tersenyum di goda oleh Susi, atau berpandang heran mendengar ocehan Haji Cohang saat berbelanja. Atau dilirik oleh ibu-ibu sekitar untuk dijodohkan dengan putri-putri mereka.

“Mas Rizal kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya seseorang di belakangku.

“Eh, ndak apa-apa. Cuma ingat ibu aja di kampung,” jawabku asal.

“Oh, kirain lagi ngelamunin Susi. Susi kan jadi malu,” katanya tersenyum genit. Aku hanya nyengir sedikit. Jaga pandanganmu, Zal.Untuk bidadarimu nanti.

“Mas Rizal, dipanggil Bos tuh. Bungkusin gula katanya. Nanti Susi bantuin ya,” sambil melirik nakal.

Aku pun langsung ngeloyor pergi. Daripada mual. Yah, walaupun aku cuma kuli toko, aku masih ingat satu pesan Mak. Carilah wanita sholehah untuk kau pinang menjadi pengantinmu. Syaratnya cuma satu namun sulit di dapat zaman sekarang. Wanita sholehah, yang desahan suaranya membuat bidadari manapun merasa iri. Yang memandang wajahnya serasa memandang surga yang menyejukkan. Aku berharap, Gusti Allah bersedia mengantarkan salah satu bidadarinya yang ada di gedung putih itu ke pangkuanku. Yang mengaplikasikan ilmu ikhlasnya untuk menerima seperti apa pun jodoh mereka. Yang selalu berbakti dan tak pernah menghitung materi. Semoga saja.

***


”Jadi semuanya berapa, Mas?” katanya.

Seekor makhluk bergerak hidup dalam dadaku. Menggaung kesenangan, menendang-nendang jantungku, membanjiri kerongkongan dengan air liur yang mau tak mau kutelan. Perutku mengejang dan sedikit ada perasaan jungkir balik. Perasaan ini?

”Eh, tiga puluh lima ribu rupiah,” kataku sedikit gagap.

”Ini uangnya. Terima kasih,” katanya sambil berlalu.

Beginilah perasaanku setiap hari sabtu. Jika, aku bertemu dengan wanita yang dalam mataku adalah titisan bidadari. Wanita yang selalu berbelanja pekanan di Harapan Semesta. Balutan jilbab yang menghias gamis putih, yang beberapa malam lalu entah mengapa hadir dalam mimpiku. Sungguh, aku tak tahu ini perasaan apa ini. Apakah ini yang dulu kusebut nafsu yang berwarna merah jambu? Atau inikah signal yang manandakan jodohku akan tiba?

Aisyah Nurajannah. Begitulah nama lengkapnya, kata Susi. Dia teman satu smp dengan Susi, yang lebih beruntung bisa di masukkan ke pesantren ini. Akunya, mereka adalah sahabat dekat. Berarti, dia kurang lebih berusia empat tahun di bawahku. Pertama bertemu, tak lama sejak aku mulai bekerja di Harapan Semesta. Luar biasa, kesholehannya. Tutur katanya, tingkah lakunya, serta kedewasaan berpikirnya. Aku memang tak banyak bicara dengannya. Memandangnya pun aku malu. Tapi, entah mengapa ia terus menggedor-gedor sukmaku. Aku tak tahan, ini bisa merusak keimananku yang selama ini jatuh bangun aku jaga.

Serentak aku berdiri. Susi, cariku. Hari ini juga, aku tak tahan lagi.

“Eh, Sus. Aku bisa bicara sebentar?” tanyaku setiba di belakang. Dia tengah sibuk menyunting barang-barang.

“Ah, Mas Rizal. Ada apa? Wah, mas Rizal nyariin Susi ya? Ada apa ini? Wah, jangan-jangan Mas Rizal mau ngajak Susi jalan-jalan ya? Susi jadi malu. Boleh-boleh aja, Mas. Tapi jangan sampai ketahuan Bos. Nanti kita diomelin. Gimana kalo besok sore aja? Kalau nanti, Susi mau jalan sama Aisyah. Gimana? Mas mau ngajak Susi ke mana?” cerocosnya.

”Eh, bukan begitu. Eh, saya cuma mau...”

”Cuma mau apa? Kok mukanya jadi merah gitu?”

”Maksudnya, aku cuma mau nitip surat ini untuk Aisyah,” kataku.

Susi tiba-tiba langsung berubah cemberut.

”Oh, gitu. Jadi Mas Rizal suka sama temen Susi sendiri? Jadi selama ini Mas Rizal main cewek lain selain Susi? Gitu?” jawabnya. Main cewek lain?

”Bukan begitu, Susi yang baik. Mas cuma mau nitip ini, untuk Aisyah. Ndak ada apa-apa lagi kok, beneran,” bujukku.

“Oke, Susi kasihin nanti dengan Aisyah. Tapi Susi ingetin ya, Mas. Kita itu cuma kerja kuli bantu di sini. Ndak usah ngimpi deh mau dengan anak pondok. Jodoh mereka itu ganteng-ganteng dan sholeh-sholeh, kaya pula. Jadi, Mas siap-siap aja patah hati,” jawabannya.

Terserahlah. Aku tetap yakin Allah akan menjawab doaku. Doa tak henti di malam dan siangku. Untuk mempersunting bidadari.

***

Entah rasanya berapa dekade, Kawan, aku melalui hari selepas hari itu. Surat itu memang sudah di bacanya hari itu juga. Aku melihatnya sendiri, di gerbang pesantren setelah Susi memberikannya. Isinya singkat, intinya aku ingin melamarnya. Namun, dua minggu aku menanti, tapi tak ada berita menjawabnya. Ia sudah tidak datang lagi berbelanja di sini. Susi pun memberikan keterangan yang tak pasti. Apa karena malu atau marah karena kelancanganku?

Aku tak tahu, bagaimana caranya seorang nan sederhana ini mempersunting bidadari semacam dia. Apa caraku salah? Tapi, aku terus akan meyakini kata Tuhanku, tentang wanita yang baik nan sholehah, untuk lelaki yang baik pula. Lelaki, yang menjaga imannya, seperti puluhan tahun jatuh bangun aku berusaha. Aku bimbang. Dalam shalatku, hatiku mantap untuk meminangnya.

Tapi, di relung hati terdalam, aku berkaca dalam cermin kehidupan. Siapa aku ini? Budak toko sederhana yang berpenghasilan cukup rendah. Aku memang bukan Hafidz, tapi modalku hanya juz 30, yang kudapat dari mengaji suatu kecil. Apa itu cukup untuk mengimami bidadari? Aku juga tak setampan Yusuf, tak pula sekaya Sulaiman. Tapi aku berusaha untuk menjaga imanku. Modalku yang paling berharga. Karena aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberiku seorang bidadari yang tak pernah memikirkan materi duniawi.

Maka, di sinilah aku berdiri saat ini, Kawan. Di pintu gerbang Pondok Pesantren Ar – Rayyan. Niatku hanya satu, ingin menyempurnakan setengah dien yang mulia ini. Menghadap ketua Ponpes yang sangat kukagumi itu. Dengan pakaian koko terbaikku, walau tanpa teman atau pendamping. Menatap megahnya gedung putih bak mutiara ini dengan menelan ludah. Berbekal niat dan nekad. Bismillahirrahmanirrahiim.

Aku melangkah masuk gedung ini. Menuju gedung utama yang beberapa orang sibuk berlalu lalang. Bukan santri, tapi sepertinya para pengurus ponpes ini. Dengan segan aku bertanya kepada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan pintu utama.

“Assalamu’alaikum,” panggilku kikuk. Lelaki yang sedang sibuk membaca sebuah koran menatapku ketika kusapa.

“Wa’alikumssalam. Ada apa ya, Mas?” tanyanya padaku.

“Eh, saya mau bertemu dengan Kyai Luthfi. Di mana saya bisa bertemu dengan beliau?” tanyaku sopan.

“Oh, iya. Ruangannya di dalam. Mari saya antar,” jawabnya.

Aku pun mengikutinya masuk ke dalam gedung itu. Di belakangnya tampak halaman yang sangat luas dan beberapa asrama dan bangunan lain. Duhai, gusti, mudahkanlah semuanya, doaku. Dan setelah sampai di ruangannya, senyum ramah dari seorang Kyai ini langsung menyambut dan memelukku hangat. Seakan-akan dia telah pernah bertemu denganku bertahun-tahun lamanya.

“Saya Rizal, Ustadz. Rizal Saifullah. Saya ingin bicara sesuatu dengan Ustadz,” kataku.

“Ah, iya. Rizal yang bekerja di tempat Cohang ya? Aku sering melihatmu mengikuti pengajian di sini. Kau sangat sering hadir, bukan? Duduklah, anggap saja rumah sendiri,” katanya ramah.

Aku pun duduk. Lelaki yang mengantarkanku tadi juga ikut duduk. Sebenarnya, aku lebih suka berdua saja. Tapi, tak apalah.

“Ini nak Firdaus. Dia Staf pengajar di sini. Nah, apa yang bisa saya bantu?” tanya Kyai Luthfi. Hening agak lama.

“Maaf, Ustadz. Kalau ternyata cara yang saya tempuh salah. Tapi, saya rasa, beginilah yang terbaik. Sebenarnya, saya ke sini untuk...,” kelanjutannya tinggal di tenggorokan cukup lama. “Meminang santri di sini, Ustadz, yang bernama Aisyah Nurjannah,” kataku akhirnya.

Jutaan palu serasa menggebuk-gebuk dadaku hingga sesak. Wajahku mungkin memerah, sangat malu. Jantungku serasa meloncat sana sini tak karuan. Inikah ujungnya? Ujung dari doaku selama ini.

Kyai Luthfi diam sejenak dan berpandangan dengan Firdaus. Firdaus malah terang-terangan menahan tawa. Sungguh, aku tak suka dengan posisi seperti saat ini.

”Berapa umurmu, Nak. Siapa ayahmu? Apa kau dulu pernah nyantri juga?” tanya Kyai Luthfi.

”22 tahun, Ustadz. Ayah saya sudah meninggal. Ibu saya tinggal di Sragen sama adik saya yang kecil. Saya, tidak pernah nyantri. Tapi, saya tamatan MTS,” jawabku agak bersemangat.

Kyai Luthfi tersenyum ramah, sementara Firdaus kini sedikit terkekeh. Apa ada yang salah? Apa prosedurnya bukan demikian?

”Saya hargai niat adik untuk menikah. Sangat berani melamar seseorang yang belum dikenal benar. Tapi, saya mohon maaf. Nak Aisyah, semalam sudah dilamar oleh pengajar ilmu Fiqh di sini, dan dia menerimanya. Seandainya kau yang datang lebih dulu, barangkali ceritanya akan lain,” jawab Kyai Luthfi. Tapi, dua minggu yang lalu? Dan palu-palu itu makin keras memukul dadaku yang bertambah sesak.

***

Semalam lagi aku berjalan melewati taman kota. Masih dalam hiruk pikuk kendaraan dan ditemani bulan nan setia. Berjalan lunglai karena sesak. Melewati beberapa muda-mudi yang sibuk bercinta di tengah gelap. Sesekali aku menendang kerikil dengan lemah. Bedanya malam ini aku tak langsung pulang. Tapi memilih duduk di bangku taman yang kosong. Menengadah menatap rembulan, berharap bertemu wajah Tuhan di sana. Tersenyum, memberiku semangat.

Apa harus menjadi santri dulu, baru aku bisa mendapatkan bidadari, ya Rahman? Apa harus mapan dan tampan dulu baru bisa mendapatkan wanita sholehah?

Sementara di kanan-kiriku, pasangan muda-mudi yang aku yakin mereka belum menikah, sibuk saling merangkul, tertawa dan saling menggelitik. Membuatku makin jijik. Ya Allah, seberat inikah ujian bagi seorang lelaki yang memilih jalan-Mu? Jalan menuju cinta yang bermuara kepada-Mu? Tapi, jika terus begini, alangkah cepat iman ini rusak. Seperti para manusia yang ada di sini.

“Ganteng, sendirian ya? Aku temenin boleh?” kata seorang wanita tiba-tiba menghampiri. Belahan dada dan lipat paha membuatku semakin sesak. Dengan senyuman nakalnya.
Ya Allah, seberapa lama ujian ini akan berlangsung? Seberapa kuat aku menjaga iman dan hati ini agar tetap di jalan-Mu? Hingga, di suatu saat nanti, doaku akan disampaikan. Bukan wanita seperti ini, tapi untuk meminang bidadari.

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.