Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

1546

Senja baru usai. Ditemani rintik-rintik hujan yang sedari tadi menari-nari di lekukan jingga mayapada. Mengantarkannya pada langit yang kini sudah berubah kelabu. Gelap, siap mengguyur bumi dengan bahari simpanannya. Kini, rintik-rintik itu menggebu. Tak lagi menyejukkan, tetapi menusuk-nusuk kulit karena tajamnya.

Seorang laki-laki berlari tergopoh dengan dada sesak. Sesak karena sengal dan juga karena berita yang baru saja ia dapat. Nada batinnya masih belum percaya. Akal sehatnya belum bisa menerima. Gusti, ujian apa yang Kau berikan kepada kami?

Larinya dipercepat. Ia ingin menyampaikan berita ini segera. Kepada siapa saja. Tapi serasa ia sendiri yang ada di dunia kini. Sepi. Mungkin karena tak ia temui siapa lagi di sepanjang jalan. Tapi, ia harus menyampaikannya. Ia terus berlari tergopoh-gopoh, terkadang sesekali roboh. Ia tak peduli akan sesaknya. Juga akan luka yang menganga di lengannya yang terus ditusuki jarum-jarum langit. Sebentar lagi. Di balik tikungan itu.

Tangannya dulu yang mencapai tiang teras rumah itu. Dia berhenti sejenak. Menghela nafasnya yang timbul hilang. Lalu dengan segera ia mengetuk pintu di depannya.

“Assalamu’alaikum! Kanjeng, buka pintunya. Kanjeng!” Desaknya.

“Wa’alaikumsalam. Iya, sebentar,” jawab yang empu rumah.

Lelaki itu bersandar ke dinding rumah. Menahan sakit lengannya yang tadi entah hilang kemana.

“Kamu? Lho..lho… Kenapa bisa basah kuyup begitu? Lenganmu luka lagi. Ayo masuk!”

Seorang lelaki sepuh membuka pintu. Pancaran matanya menyejukan. Aura wibawanya terpancar. Wajahnya tua, tapi semangat pemuda. Rambutnya yang putih menyembul rapi di balik sorbannya yang juga putih. Pemuda itu spontan menunduk hormat. Luar biasa. Di usia senjanya, tetap menunjukkan pancaran yang tak bisa dikatakan apa.

Pemuda itu masuk ke rumah dengan takjub. Duduk dengan iringan senyum sang tuan rumah. Wangi bak kasturi tambah menyesaki dadanya. Oh, iya. Berita itu.

“Saya di utus Kanjeng Fatahillah. Menyampaikan berita, bahwa...” suaranya tercekat. Tubuhnya yang kuyup tambah menggigil. Sesak yang hinggap sedari tadi keluar menganak sungai.

“Apa yang terjadi?” Tanya lelaki tua itu. Wajahnya yang bersih tampak cemas.

“Dinasti Jin Bun sudah runtuh, Kanjeng. Raden Fatah sudah kalah. Kerajaan Demak, sudah dikalahkan,” tangisnya makin menjadi. Benar-benar tak percaya pemerintahan bijaksana yang ia cintai, direbut begitu saja.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” Raut lelaki tua itu berubah. Tangannya gemetar. Kerajaan yang dipimpin oleh orang yang sangat ia kenal kalah? Kerajaan Islam yang mereka bina sudah hancur?

“Saya juga tidak tahu, Kanjeng. Semua begitu saja. Saya..,” pemuda itu tambah menangis. Tak kuat melanjutkan bicaranya.

“Siapa? Siapa yang sudah mengalahkan Raden Fatah?” wajah lelaki tua itu bertambah cemas. Mungkinkah kerajaan Hindu itu yang merebutnya. Keturunan Majapahit yang membalas dendam akan keruntuhannya?

“Saya tidak tahu pasti, Kanjeng. Tapi kalau tidak salah namanya Pajang Adiwijaya,” jawabnya.

Ternyata benar. Lelaki tua itu tidak habis pikir. Cucu Pengging Dayaningrat yang melakukan semunya. Tidak, bukan kerajaan yang ia takutkan. Bukan kekuasaan yang ia pikirkan. Tapi, Islam.


***



Saat Raden Fatah masih berkuasa…

“Saya utusan Sultan Al-Fatah,”

“Oh, suatu kehormatan keluarga kerajaan mau berkunjung kemari. Ada apa gerangan?” Ki Ageng Pengging tersenyum remeh. Ia sudah menduga atas kunjungan kali ini.

Wanapala sedikit geram. Kalau tidak di utus oleh sultan, tak akan sudi dia datang ke tempat orang sombong seperti ini. Rumahnya sedikit menyeramkan. Beberapa patung menyembul dari balik kitab-kitab tua di dindinnya. Suasana temaram membuatnya tidak nyaman.

“Sultan Fatah ingin bertemu dengan kamu. Terkait dengan, ajaran yang kau sebarkan,” kata Wanapala memaksa tersenyum.

“Bertemu denganku? Ha..ha..ha…. Kenapa tidak dia saja yang datang kemarin? Heh?” jawab Pengging mengejek.

“Tolong sopanlah sedikit kau bicara. Ini yang kau pelajari dari Syaikh Siti Jenar? Tidak sopan,” kata Wanapala semakin geram.

Wajah Pengging memerah. Ia tak suka gurunya disebut-sebut saat ini.

“Dengar, utusan. Sampaikan kepada Sultanmu yang mulia itu. Kalau dia mencari Ki Ageng Pengging, maka jawablah dia tidak ada. Yang ada adalah Allah. Dan jika ia mencari Allah, maka jawablah tidak ada. Yang ada adalah Ki Ageng Pengging. Dan saya akan terus menyebarkan ajaran saya ini ke seluruh warga demak,” jawabnya singkat.

Wanapala tersentak. Sinting, ajaran apa yang mengaku dirinya Tuhan? Emosinya meledak.

“Hei, lelaki sombong. Saya anjurkan kau untuk bertaubat atas yang kau lakukan itu pada Gusti Allah. Menyembahmu sebagai Tuhan? Cih,” Wanapala berbalik pergi.

Emosinya meluap. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Sementara Ki Ageng Pengging tertawa terbahak-bahak.


***


Tak berapa lama setelah peristiwa itu…

Malam itu angin bergemuruh. Langit tak ramah. Juga dengan suasana rumah mungil di daerah Pengging. Keluarga Ki Ageng Pengging gempar. Ki Ageng Pengging meninggal dengan sikut terbelah.

“Aku bersumpah akan membunuh siapa saja yang membunuhnya,” kata salah satu keluarganya. Semua keluarganya bekumpul. Dendam menyala dalam bilik hati mereka.

Semua penganut aliran yang bernama Syi’ah meradang mengetahui murid Syaikh Siti Jenar wafat. Tidak salah lagi, pasti keluarga kerajaan yang melakukannya. Mereka yang merasa diri mereka benar, dengan paham Hanafiahnya.

“Kita harus berbicara pada Sultan,” kata salah satu dari mereka.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Sekarang kita pergi ke sana. Aku yakin, salah satu ulama mereka yang membunuh Ki Ageng,” kompor salah seorang.

Sisanya menyahut setuju. Entah apa yang ada dalam dada mereka. Kemarahan berselimut dendam yang membara panas. Atau juga karena pemberontakan mereka atas kepemimpinan Sultan mereka.

Maka, berangkatlah mereka ke kedemangan. Menaiki kuda mereka masing-masing. Pergi berlalu dari daerah Pengging menuju Demak. Menyusuri hutan Bintara yang lebat. Membelah dingin malam yang menusuk. Kuda mereka dilaju cepat. Melewati pemukiman penduduk. Hingga sampailah pada kerajaan Demak yang perkasa.

“Hei Sulthan Fatah. Keluar kau. Kau harus bertanggung jawab atas kematian Ki Ageng Pengging!” teriakannya membahana. Dengan kemarahan, mereka terus berteriak-teriak di atas kuda mereka. Menebas siapa pun hulubalang yang henda menghalangi mereka. “Keluar kau!” teriak mereka.

“Assalamu’alaikum. Ada apa rupanya kisanak berteriak-teriak di kerajaan?” Tanya seseorang yang keluar dari dalam istana.

“Wa’alaikumsalam. Panggilkan Raden Fatah kemari. Aku ingin menuntut pertanggung jawaban atas kematian Ki Ageng Pengging,” kata mereka marah. Yang lain menyahut ribut. Ada sekitar 20an orang yang mengamuk.

“Kenapa Sultan Fatah yang harus bertanggung jawab? Kupastikan bahwa bukan dia ayang membunuh Ki Ageng Pengging,” katanya.

“Aku tahu semuanya, Fatahillah. Sudahlah, kau tidak usah ikut campur. Aku menghormatimu sebagai Panglima Perang kerajaan Demak. Tapi, bukan berarti aku tidak bisa membunuhmu jika kau menghalangi niatku. Jika perlu, akan kupenggal sendiri kepala Raden Fatah itu,” kata keluarga Pengging marah.

“Maaf, bukan mau mencampuri masalahmu. Tapi yang kukatakan itu benar. Bukan Sultan yang harus bertanggungjawab atas kematian Pengging. Kau tidak punya bukti!” kata Fatahillah tenang.

“Bukti kau bilang? Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan dari kalian? Heh?” Tanya salah seorang dari mereka.

“Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas kalau kalian menuduh kerajaan tanpa bukti seperti itu, maka jangan salahkan saya jika kalian akan kami hukum,” jawab Fatahillah tegas.

“Baik, jika kalian memang tidak mau mengakui. Jangan kau pikir kami akan berhenti begitu saja. Kami tidak akan lupa bahwa ulama kalian lah yang menghukum mati Syaikh Siti Jenar, pemimpin kami. Lalu sekarang Ki Ageng Pengging. Suatu saat, kami akan runtuhkan kekuasaan kalian. Ingat itu baik-baik!” kata keluarga Pengging.

Mereka pun pergi. Fatahillah tersenyum tenang. Ya, dia juga tidak lupa. Syaikh Siti Jenar yang telah menyebarkan aliran entah apa yang juga mengaku agamanya Islam. Seorang yang mangaku dirinya Allah. Bahkan juga itu ia turunkan kepada murid-muridnya. Dia tidak akan berubah pikiran. Menurutnya, aliran itu tetaplah tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru-gurunya terdahulu. Bahwa, Allah adalah Zat Yang Mahakuasa. Tidak akan sebanding dengan makhluk mana pun di bumi ini.


***

Di rumah tua berhias hujan deras…


Ia tidak percaya. Pajang Adiwijaya. Yah, lelaki tua itu mengenalnya. Seorang aliran Syi’ah. Pengikut ajaran Syaikh Siti Jenar. Kakeknya adalah Bupati Pegging, dari kerajaan Majapahit. Raden Fatah sudah mengalahkan mereka dan menyebarkan Islam ke sana. Apakah secepat ini Raden Fatah yang sangat ia kenal itu mengakhiri masa kepemimpinannya.
Sebutir airmata menetes dari bilik matanya. Tangannya gemetar memegang kuat kursi kayu di sampingnya. Hingga bayangan Ki Ageng Pengging yang berdarah terbayang di pelupuk matanya. Yang sikutnya telah ia belah.


0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.