Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Aurora
        Tidak ada yang mengerti tentang cinta, di sini. Bait-bait kata nan indah itu begitu dalam tertanam. Sangat dalam, hingga tetesan air mata yang jatuh pun takkan menjumpainya. Semua seakan sudah ternoda oleh virus cinta dunia. Tergambar dengan lembaran-lembaran harta yang berserakan. Di mana-mana sama saja. Di petak-petak sawah, di ladang-ladang kopi, di atas rumah panggung, hingga di dasar telaga biru. Akan kau lihat mata orang-orang yang sedang menghitung uang dan menciumi harta mereka. Ketulusan yang selama ini aku agung-agungkan ternyata hanyalah pucuk impian saja. Semua senyuman dan nasehat itu hanya gelak tipuan semata. Hingga tirani biadab itu kini memasung hati dan pikiranku. Memenjarakan tangan yang hendak mencapai angan-angan.
       “Apalagi yang kau pikirkan, Dinda?” tanya Une Lin, kakaku.
       “Banyak. Tentang ideologi idiot, adat sampah, teatrikal tempo dulu yang tak kenal kata maju,” jawabku sedikit marah.
       Une membelaiku dengan sayang. Seperti dulu, ketika aku membutuhkan seorang ibu yang mendekapkan rasa aman dalam gelapku. Dialah sang malaikat itu. Menggantikan wajah lembut yang tak pernah kulihat sekali. Membayangkan wajah mujahid yang syahid karena melahirkanku, sama saja dengan memunculkan wajah kakakku tersayang. Yah, barangkali wajah Mak memang mirip dengannya.
        ”Jangan berbicara demikian. Apa salahnya kan? Untuk kebahagiaanmu juga,” bujuknya lembut.
        Aku memilih diam sejenak. Lebih nyaman rasanya menyandarkan kepalaku di sisi jendela, dan aku memanjat menaikinya. Memandang jalan raya desaku yang dulu kucinta, dari atas rumah panggung tua yang konon warisan buyutku.
       ”Kau pun takkan berkata demikian, saat dulu masalah ini menimpamu kan?” tanyaku ketus. Masih memandangi jalan raya, bukan matanya.
       ”Tapi kau lihat aku bahagia sekarang kan? Dengan si kecil Anggie dan keluarga kecil kami. Nanti kau akan mengerti, Meila. Cinta itu datang setelah pernikahan,” jawabnya.
       ”Benar, tapi bukan dari pernikahan tak adil semacam itu. Kau bahagia dengan bekas merah tiap kali kau ke sini?” tanyaku yang kini marah.
       ”Keras kepalamu ini, yang lama-lama akan membuatmu menjadi perawan tua!”
       Une tampak tersinggung lalu pergi menuju ke belakang rumah. Dia tak mengerti apa-apa tentang cinta. Cinta bukan hanya secangkir kopi yang hanya lezat dinikmati sewaktu panas. Bukan pula ikrar pernikahan yang disebut ketika seseorang lahir, yang diucapkan ayah-ayah mereka. Cinta bukan duri yang tiap kali disebut, berarti kau sudah siap tersakiti.
       Lagi-lagi aku menangis dalam diam dan tanpa air mata. Memandangi bukit-bukit indah negeri Kerinci yang tampak sedikit angkuh dengan julangnya. Apakah setiap yang tinggi itu selalu angkuh? Semena-mena karena mereka orang berpunya. Tak meraba setitis pun hati seorang perawan yang juga berhak menjelaskan apa arti cinta. Hanya adat semata yang mereka junjung, ketika tersebutlah nama Anak Datung.
***



       “Anak perempuan seharusnya membuatkan kopi, saat abaknya pulang,” kata Abak mengagetkanku yang tengah melamun melipat baju.
       “Deuh, kapan Abak pulang? Aku tak sadar,” jawabku seketika bangkit dan menyalami tangannya. Tubuh lelahnya bersandar di kursi keras di samping televisi.
       “Sekitar dua menit penuh untuk melihat anak gadis Abak melamunkan seseorang,” godanya padaku, mau tak mau membuatku tersenyum.
       “Kopi Abak sudah ada di atas meja. Abak terlambat, kira-kira sepuluh menit. Semoga masih panas. Habis salah siapa?” tanyaku manja.
       “Ah,dua orang anak gadisku sangat mirip ibunya. Yang satu telah diboyong suaminya, yang satu tinggal menunggu waktu saja,” katanya tenang sambil meraih gelas kopi dan mulai menyerupnya.
       Perutku agak menegang mendengar hal ini. Dengan sedikit marah mulai melipat baju kembali. Drama apa lagi yang akan terjadi? Siti Nurbaya lagi? Yang juga dialami Mak, Une Lin, dan gadis-gadis lainnya?
       “Anak Datungmu itu, si Ari sudah lulus PNS. Kabar ini sangat membahagiakan Abak,” lanjutnya.
       “Kenapa pula abak yang jadi bahagia?” tanyaku agak tinggi.
       “Calon mantuku sudah bekerja. Apa lagi yang ia tunggu untuk naik ke rumah kita dan meminangmu?” tanyanya langsung.
       Tanpa sadar baju ditanganku kuremas, bukannya kulipat. Anak datung lagi. Sampai kapan drama ini akan berakhir. Fenomena adat yang seharusnya sudah terkubur ketika roman Siti Nurbaya terkuak. Di zaman ini, masih ada juga adat basi seperti itu.
       Aku tak menyalahkan siapapun yang menikah dengan anak datungnya. Kalau ternyata itulah jodoh mereka, tak mengapa. Agama pun tak melarangnya. Banyak juga yang hidup bahagia, seperti Mak dan Abak. Tapi, jika semua itu perihal menjodohkan secara paksa, sungguh aku tak terima. Jika ini semua adalah sekadar permainan harta, aku tak rela. Aku punya hak untuk bicara aku suka atau tidak, aku mau atau malu. Jika suara ini tak didengar, siapa yang tak marah dengan adat ini?
       ”Kalau yang abak maksud adalah mantu untuk anak gadis di depan abak ini, maka ia tidak sudi bersanding dengan lelaki keparat semacam Ari!” jawabku marah dan beranjak pergi ke kamar.
       ”Meila!”
       ***
       ”Meila, bersiaplah. Temani aku ke rumah Itek Nuri. Ada kenduri di sana. Anaknya yang lanang akan menikah malam nanti,” kata Une Lin yang sudah berdiri dengan baju kebaya rapi di depan pintu kamarku. Si kecil Anggie tampak tertidur lelap di gendongannya.
       ”Anaknya si Deni itu? Sama siapa, Ne?” tanyaku kaget. Dia teman SMA-ku.
       ”Sama anak datungnya, Shinta, yang rumahnya di ujung simpang tiga itu,” jelasnya.
       Sekali lagi perutku menegang. Sampai kapan pernikahan antar anak datung ini akan berakhir di desa ini. Pernikahan antar sepupu yang banyak sekali bahayanya.
       ”Tunggulah sebentar. Biar aku bersiap dulu. Une tunggulah di laman.”
       Une Lin pun pergi. Aku bergegas menyelesaikan membersihkan mukaku dan bersiap mengganti baju.        Sebenarnya aku malas pergi ke acara seperti itu. Tak nyaman rasanya. Tapi, inilah kesempatanku bertemu dengan teman-teman SMA-ku di sana. Sebulan sudah aku kembali dari kota, tak ada media untuk jumpa dengan mereka.
       Sepuluh menit kemudian, aku sudah berjalan menyisir petak-petak sawah yang menguning. Sedikit berhati-hati agar baju kami tak kotor. Berjalan di tengah-tengah sawah dengan gunung-gunung naik turun rapi yang memagari. Atapnya biru agak kelabu dengan sinar matahari yang tak terik menyengat kulit. Berjalan dengan tiupan angin gunung dan kicau burung merdu yang mencoba mencuri padi. Inilah salah satu alasan kenapa aku kembali ke sini. Betapa aku cintai keindahan alam desaku ini. Desa yang menggiringku untuk selalu bertasbih akan tiap molekul ciptaan Sang Maha Segala.
       Setelah berjalan agak lama dari jalan pintas ini, sampai pula kami di jalan raya yang terlihat agak sibuk. Diseberangnya terlihat sebuah rumah kayu dengan tenda-tenda dan hiasan lainnya. Beberapa anak kecil sibuk bermain kejar dengan senapan mainan di tangannya. Asap rokok beradu di atas langit-langit rumah dengan asap gulai dari dapur.
       ”Une!” panggil seseorang, dan kami pun menoleh.
       ”Engkau rupanya, Ri. Apa kabar? Aku senang mendengar kabar bahwa kau lulus PNS,” kata Une Lin menjabat tangannya.
“Iya, Ne. Terima kasih,” sahutnya seraya agak membungkuk.
Senyumnya mampir di mataku. Cih, sungguh aku sangat membenci laki-laki itu. Yang telah merebut semua angan dan cita-citaku. Aku pun langsung naik ke atas tangga. Tak sudi membiarkan mata jahatnya merontokkan tubuhku dari kepala hingga ke kaki.
Di dalam rumah sudah ramai. Beberapa gadis desa yang tak kukenal tertawa mengikik. Di sudut ruang, terlihat sahabatku Risma yang tengah duduk bersama beberapa orang ibu. Aku pun melangkah ke arahnya.
“Katanya kau tak pulang?” kataku menepuk pundaknya.
“Hei, kau rupanya. Sedari tadi aku mencari-carimu, kukira kau tak ke sini. Kemarin aku baru sampai,” katanya memelukku.
“Iya, sebenarnya aku malas mau ke sini, karena...”
“Meila? Ya Allah. Dari tadi datung mencarimu kemana-mana. Apa kabar nak? Kenapa kau tak singgah ke rumah datung? Sudah lama datung menunggu, kau tahu. Apa kau sudah bertemu Ari? Dia banyak cerita tentangmu.”
Bodohnya aku. Kenapa aku tak terpikir, bahwa jika aku ikut ke kenduri ini, maka aku akan bertemu dengan adik Abak yang satu ini. Tubuhnya gendut, dengan baju yang agak sempit dipaksakan. Tangannya penuh dengan gemerincing gelang-gelang emas. Wajahnya bundar, dengan hidung pesek dan bermata bulat. Sangat mirip kodok.
“Tidak sempat, datung.” Aku hanya tersenyum sedikit.
”Ya sudah. Tidak apa-apa. Eh, tolong perhatian sebentar ibu-ibu. Ini Meila yang aku ceritakan. Calon isteri Ari. Cantik bukan?” katanya pada beberapa ibu-ibu dan semuanya terkikik geli.
Badanku agak gemetar menahan marah. Bicara apa dia?
”Tidak salah? Kenapa kau tak bilang padaku kau akan menikah dengan si jahat Ari?” bisik Risma di belakangku.
***
Seekor lagi kupu-kupu terbang dari hatiku. Membawa muatan cinta yang selama ini aku catat dalam hidupku. Arti-artinya, keindahannya, angan-angannya. Semua terbang. Tapi sebelum kupu-kupu itu pergi jauh, maka sebaiknya aku lah yang pergi. Menuju ke desa antah berantah, di mana seorang pangeran baik hati akan dengan penuh kasih sayang, mengangkatku ke atas kuda putihnya dan barsanding denganku. Tak perlulah seorang pangeran, lelaki yang beriman saja sudah cukup. Yang penting tidak dengan dia.
“Mau kemana kamu?” pintu kamarku terbuka.
Abak dengan matanya yang memerah dan kulitnya yang lelah berdiri di ambang pintu.
”Pergi, mencari cinta,” kataku.
Aku terus memasukkan baju-bajuku ke koper kecil yang berbaring lesu di tempat tidur.
”Kau marah karena kau kujodohkan dengan anak datungmu?” tanyanya padaku. Aku terus saja memasukan baju. Kali ini dengan agak kasar, upaya sederhana untuk menangkis air mata yang hendak jatuh.
”Abak tidak mengerti. Apa yang salah dengan dia? Kalau kau tidak suka dengan adat kita, tidak apa-apa. Anggap saja dia bukan sepupumu,” kata Abak yang masuk dan duduk di atas tempat tidurku.
”Bukan adatnya, Bak. Aku bersedia menikah dengan anak datungku yang mana saja, asalkan dia memang pantas jadi imamku nanti. Tapi kalau adat itu menjadi kata wajib, maaf. Aku tak sudi,” jawabku.
”Tapi apa kurangnya dia? Abak rasa, dia pantas-pantas saja. Apa yang salah?” tanya Abak kembali.
”Aku sudah bilang bukan? Aku tidak sudi bersanding dengan dengan dia,” jawabku sebiasa mungkin, tapi terdengar janggal akhirnya.
”Dia lelaki yang baik, Mei. Dia tampan, sarjana, sama sepertimu. Dia dari keluarga baik-baik. Dari keluarga kita yang terhormat. Dia kaya raya, dan sekarang punya pekerjaan tetap. Masa depannya bagus, apa lagi maumu?” tanya abak sekarang mulai tinggi. Dan akhirnya, kesabaranku hilang.
”Aku kenal dia karena aku teman SMA-nya dan teman kuliahnya. Abak, tidak kenal dia. Dua kali dia menghamili anak gadis orang, dan yang satu bunuh diri. Kabarnya memang tak tersiar karena uangnya mungkin bisa membeli media. Jadinya pun sebagai sarjana, karena ayahnya mengeluarkan banyak uang. Tiga kali tertangkap polisi karena mencoba mengedar ganja. Mantu seperti itu yang abak inginkan?” tanyaku panas.
Aku sudah muak. Kaya bukan berarti bisa membeli segalanya. Mungkin ia bisa membeli nilai dan pekerjaan, tapi aku tak sudi menjadi barang dagangan yang bisa ia beli seenaknya.
”Kau sudah dengar kata datungmu kan? Kita sudah pernah membahas itu. Semua itu tidak benar. Dia tidak terbukti memakai narkoba. Jadi bagaimana mungkin ia mengedarnya?” tanya abak.
”Bagaimana dengan perempuan yang sudah ia hancurkan masa depannya? Sudi tangan kotornya memegang tubuh putrimu ini, Bak?” tangisku sekarang. Akan kukeluarkan segalanya sekarang. Biar semua melihat.
”Mereka memang mantan pacarnya, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa Ari sudah menghamili mereka. Kau tak mengerti, Nak. Ketika kau sudah menjadi istrinya, maka ia akan selamanya mencintaimu,” kata Abak tegas.
”Aku tak percaya Abak tega menjualku kepada bajingan seperti dia.”
Dengan cepat aku menarik koper dan hendak pergi.
”Jika kau pergi, maka kau akan melihat tubuh abakmu ini sudah mati. Dan sedikitpun tak kan pernah kuridhoi apapun yang akan kau lakukan. Dan bersumpah akan melaknat seperti apapun keluargamu nanti!” suara Abak bergetar.
***
Suara gembira orang lain terasa terdengar sayup-sayup jauh. Semua pemandangan kabur karena air mata. Selamat tinggal cinta, seperti apapun keindahanmu. Wajah Abak, Une Lin dan Risma terlihat buram, ketika sepasang tangan memegang lenganku.
”Kau milikku, Mei,” kata Ari. Tubuhku bergetar hebat.

Jambi, November 2009
Ket :
Une = kakak perempuan
Datung = Adik/kakak perempuan ayah
Itek = Tante perempuan
Lanang = Laki-laki
Laman = halaman rumah

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.