Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Surat An-Naas itu berakhir khidmat. Serak suara isak agaknya terdengar. Abah diam. Aku juga diam dari balik dinding kamarku yang menjadi tameng persembunyian mendengarkan mereka. Hanya ada suara isaknya. Serak haru bercampur bangga.

“Alhamdulillah, Kyai. Terima kasih atas bimbingannya. Terima kasih sekali. Aku, aku ndak tahu bisa membalas apa,” suaranya tak berapa lama.

“Dengan ini gelarmu bertambah satu, Nak Aris. Menyandang gelar hafidz sangatlah berat. Berat sekali. Jika kamu ndak ngamalin, dosanya sangat besar. Artinya kamu tahu, tapi ndak melaksanakan. Gusti Allah sangat murka dengan sifat seperti itu. Saya ucapkan selamat. Semoga Allah membimbingmu menjadi manusia sholeh,” ujar abah manjawabnya.

Alhamdulillah. Aku juga bersyukur mas Aris bisa menyelesaikan hafalan 30 juznya. Aku ingin melihat wajahnya yang bahagia walau sebentar saja. Tapi, rasanya terlalu malu. Jantungku melompat-lompat nakal menggodaku. Perasaanku kacau semenjak tadi. Bahagia mendengar suaranya melantunkan ayat Al-Qur’an, malu, takut, cemas, rindu, ah, terlalu banyak. Aku juga tak mengerti mengapa. Jika kubertanya, hanya desiran darah yang menjawab. Aku tak ingin menebaknya terlalu jauh. Tapi, aku tak bisa memungkiri aku tahu jawabnnya. Mungkinkah ini...

“Nurul, coba bantu ibu sebentar!”

Ketukan pintu kamarku dan dilanjutkan suara ibu membuatku tersentak. Ah, ibu mengganggu saja. Keluar? Lagi-lagi suara nakal degup jantung menggodaku. Membuatku tersipu malu. Buru-buru kuambil jilbabku dan melangkah keluar. Tanpa melirik ke arah ruang tamu.

“Kamu tuh ada tamu kok di dalam terus sih? Nih, bawain makananya keluar. Sama minumnya sekalian. Hati-hati tumpah,” sahut ibu menyodorkan nampan berisi kue dan air teh. Aku menyambutnya hampir gemetaran. Untung otakku bisa mengatasi.

Dengan perlahan kubawa nampan itu ke ruang tamu. Hati-hati sekali. Menerobos gelak tawa candaan abah, pakde Kardi dan Mas Aris.

“Nih dia, cah ayu baru keluar. Lama tenan tho, Nduk? Pakde sudah haus,” komentar pakde Kardi saat kutiba. Aku hanya tersenyum.

Duh mata ini tak sabar melihatnya. Refleks aku menatapnya sekilas. Ya Allah, yang terlihat dua bola matanya yang juga menatapku. Tanpa basa-basi, kuberlalu meninggalkan ruang tamu.

***

“Jenenge mas Aris. Tapi ndak tahu Aris apa. Dia seangkatan sama masku. Tiga tahun di atas kita,” jawab Siti saat kami mau shalat ashar ke masjid.

Jadi nama lelaki itu Aris. Aku tak pernah tahu namanya sebelum ini. Lelaki sederhana yang sering menjenguk abah ke rumah. Dia lelaki beruntung yang bisa belajar ngaji sekaligus menghapal Al-Qur’an langsung dari abah. Maklum, abah sudah cukup tua. Jadi, kegiatan da’wahnya tidak seperti dahulu.

Sejak ke rumah, lelaki itu mencuri hatiku. Aku memang tak pernah berbicara langsung dengannya. Juga berkenalan secara resmi. Aku cukup tahu malu sebagai putri ulama, untuk tidak seenaknya mengajak lelaki asing berkenalan. Dia juga cukup pintar mengolah sikap. Namun, keteduhan wajahnya membuatku terpesona. Apalagi jika melihat sifat santunnya.

Abah sering memujinya di depan ibu. Aku pun bengal sering mencuri dengar. Sifat ingin tahunya, membuatnya menjadi seorang pembelajar yang tekun. Setidaknya itu yang membuat abah berdecak kagum. Yah, walau di pesantren, remaja tetaplah remaja. Haus kenakalan membuat mereka terkadang melepaskan jubah iman mereka. Seperti yang ada dalam buku-buku pelajaran smp dulu. Kenakalan remaja. Walau di balut apologi islami, dan menyandang nama santri, tetaplah ada yang nekat melintas di jalan berduaan. Dengan tangan menggenggam pasangan masing-masing, meski konsep non-muhrim sudah hafal dalam kepala. Tetap pula ada rokok yang tersulut di belakang pesantren, meski ceramah mudharat rokok masih terngiang di kepala.

Tetapi dia tidak begitu. Aku yakin dengan yang abah bilang. Dia seorang tua yang kenyang asam garam. Tentulah gampang baginya melihat karakter orang dari tutur dan tingkah lakunya. Pandangannya yang penuh pengalaman jarang meleset.

Mas Aris, kata abah, bukan seperti remaja edan lainnya. Perawakannya rapi, mencontoh rapinya Kanjeng Nabi. Mukanya selalu bercahaya terbilas air wudhu. Konon katanya, mas Aris istiqomah menjaga wudhunya. Tutur katanya lembut. Pikirannya cerdas. Hampir belum ada cela yang kutemui hingga hari ini. Entah jika aku sudah kenal dekat.

Ada secercah warna pink yang masuk ke hati ini. Warna yang sebelumnya belum pernah terlukis di kanvas hatiku. Ah, siapa yang tak memimpikan dirinya menjadi suami? Yah, suami. Aku takkan puas jika hanya menyandang status pacar. Selain tak ada dalam islam, dia juga mana tentu mau berpacaran.

Aku tersenyum memikirkannya di balik meja belajarku. Aku belum mengerti, ini perasaan apa. Tapi buku harianku yang kosong melompong di atas meja jadi tak sabar ingin kuisi. Tanganku bergerak menuliskan beberapa kata dengan ejaan l-e-l-a-k-i i-m-p-i-a-n-k-u. Sifat sepertinya tentu.

***

”Mas Aris mau pergi?” tanyaku saat bertemu di kantin. Kira-kira empat bulan setelah dia menyandang status hafidz.

Iya tak memandangku. Namun dengan jelas kulihat anggukan wajahnya.

”Ke luar negeri?” tanyaku tak sabar. Anggukannya membuatku lemas.

Ada bening yang ingin mengalir. Aku tak percaya saat Siti bercerita. Ternyata jawaban langsung dari orangnya juga tak sanggup kudengar.

”Ada LSM yang memberikan beasiswa keluar negeri,” jawabnya singkat. Aku tak berani menatap wajahnya. Bumi berguncang.

”Maaf, mas tidak bisa secepatnya memenuhi janji mas tempo hari untuk meminangmu. Tapi, mas janji akan kembali secepatnya dan kita akan menikah,” jawabnya melarikan kakiku menjauh. Bumi sekarang rubuh.

Bunga hatiku masih menari beberapa minggu lalu. Mas Aris tiba-tiba menghadap abah dan berkata ingin menikah. Dan calon yang di pilihnya aku. Bisikku didengar Gusti Allah. Membuatku bingung berteriak girang, menangis syahdu, atau diam membisu. Bulan depan ia dan keluarganya akan datang meminangku secara resmi. Tapi, tarian bunga itu kini terhenti, layu, serta hancur. Dalam tangisku, tetap kudoakan yang terbaik baginya.

***

Riuh suara di bawah sana membahana. Seluruh santri tumpah. Menyambut ulama baru yang baru saja pulang mencari ilmu. Aku tak berani bertemu dengannya. Empat tahun sudah dia pergi. Ke tanah orang mengais ilmu. Apa dia masih ingat aku? Tak ada surat yang mengantar komunikasi kami. Alasannya, tak ingin menjerat bahkan mengotori hati. Apa gadis-gadis bule di sana ada yang tertambat di hatinya?Aku hanya melihatnya nanar dari teras lantai dua gedung Pondok Pesantren Al-Hidayah.

Semua di bawah berebut memeluknya. Mencium tangannya. Menggotong dirinya. Berharap akan menular keberkahan Allah yang menempel di tubuhnya. Ia hanya tersenyum bangga. Tapi, ada yang lain dari penampilannya. Baju kokonya berubah menjadi jas hitam dengan kaos putih di dalamnya. Sarungnya memang tak pantas dengan pakaian modern itu. Celana dasar membuatnya tampak tampan. Hanya kopiahnya saja yang tidak hilang. Ah, mungkin kebiasaan barat merubah adaptasinya.

Aku pun beranjak pulang. Tak enak terlalu lama menunggu sendirian di atas sini. Baru pertama kali ini aku malas bertemunya. Takut ia lupa pada gadis 21 tahun ini. Biarlah para santri lain menyambutnya.

***

Baru hendak terlelap ketika malam menyapa, suara lelaki terdengar dari ruang tamu. Suara tua abah tampak berbincang dengan orang itu. Mungkin pakde, pikirku. Mataku kembali menutup. Namun, digelapnya pandangku, baru kusadari itu bukan suara pakde. Itu suara Mas Aris.

“Nurul, ada nak Aris baru pulang dari Amerika. Ayo temui dulu,” suara ibu terdengar mengaminkan dugaanku.

Dengan ragu, kuambil juga jilbabku. Rasa degup jantung itu telah hilang. Namun rindu masih berbekas. Aku menuju ruang tamu. Abah tampak asyik ngobrol dengan mas Aris. Dengan malu kuambil posisi duduk di sebelah ibu.

“Nurul makin cantik ya, Pak,” ujar mas Aris tiba-tiba. Aku terhenyak. Abah dan ibu sepertinya juga. Mas Aris?

“Oh, maaf. Bukan bermaksud lancang. Tapi, kalau di Amerika itu biasa aja, Pak. Yah, sekedar basa-basi. Maaf, jadi kebawa-bawa, Pak,” kilahnya. Abah mengagguk.

Bukan, ini hanya perasaanku saja. Mas Aris nggak mungkin berubah. Ini Cuma pengaruh dari Amerika. Mas Aris tetaplah yang dulu. Baik, pendiam, dan bersahaja. Aku mencoba menenangkan hatiku yang bertanya-tanya.

”Ngomong-ngomong nak Aris, coba ceritakan sekolahmu di luar negeri. Pasti banyak ilmu yang kamu dapatkan dibandingkan di sini?” tanya abah mengalirkan suasana.

”Alhamdulillah, di sana banyak ilmu yang bisa saya dapatkan. Ini berkat pak Kyai juga. LSM yang mengurusi keberangkatan saya sangat baik. Saya dibiayai semuanya. Mulai dari makan, kuliah, penginapan bahkan uang saku. Makanya, saya ingin mencari santri yang cerdas di sini, untuk dibeasiswakan juga ke Amerika,” jawab mas Aris.

”Subhanallah. Semoga niat baiknya di ridhai Allah. LSM apa nak? Insya Allah nanti saya lihat dulu di pesantren, siapa saja yang kira-kira berpotensi dikirim ke sana,” tanggap abah.

“Simon Wiesenthal Center namanya, Pak. Insya Allah di sana kita bisa mendapat ilmu lain yang akan semakin membuka wawasan kita tentang Islam,” kata mas Aris. Raut kebanggaan terpancar dari wajahnya. Ingatanku tak lepas. Mirip seperti saat dia mendapat gelar hafidz. Namun, ada yang lain dari senyum bahagianya.

***

“Nurul!” teriak seseorang dari belakangku. Membuatku menoleh. Ternyata Mas Aris.

”Tadi mas ke rumah. Tapi kata ibu, kamu menyusul abahmu ke pesantren,” lanjutnya ketika berhasil mencapaiku. ”Kamu mengajar di sana ya?” tanya mas Aris selanjutnya. Kaki kami melangkah melewati beberapa rumah penduduk. Jalan pintas penuju pesantren.

”Alhamdulillah. Yah, membantu abah sedikit-sedikit,” jawabku. Jika dulu mungkin aku akan senang bisa berjalan berdua dengan mas Aris, tapi sekarang berbeda. Risih sekali. Apa mas Aris lupa syaitan ada di mana-mana? Kupercepat langkah mendahuluinya.

”Tunggu, kok cepet banget? Mas mau bicara sebentar dengan kamu,” tangannya menahan tanganku, menggenggam lenganku. Aku menariknya paksa. Lancang! Tapi kakiku diam.

”Kita bicara di sana aja!” tangannya menunjuk ke arah persimpangan jalan. Di sana ada kursi kayu untuk duduk. Aku hanya mengekor lelaki yang dulu pernah menyentuh hatiku ini.

”Aku akan tetap menyuntingmu. Kalau tak ada halangan, bulan depan,” katanya saat kami telah duduk di atas kayu itu. Aku tak bisa bicara.

”Nurul,” tangannya menggenggam tanganku. Aku menariknya kasar.

”Aku belum menjadi muhrimmu, Mas,” jawabku lantang.

”Tapi akan kan? Sebentar lagi kita menikah,” jawabnya.

”Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok. Lagi pula, Mas lupa hukumnya bersentuhan tangan dengan bukam muhrim kita?” tanyaku emosi. Dia hanya tersenyum.

”Nurul, ayolah. Jangan berpikiran kolot begitu. Dari dahulu agama Allah adalah agama yang mengikuti perkembangan zaman. Dari zama nabi Adam dahulu. Zaman telah berubah. Bersentuhan tak lagi menggunakan nafsu,” jelasnya. Aku tercengang.

”Ajaran apa yang telah mas pelajari di sana? Hukum Allah itu berlaku kekal hingga akhir zaman. Nggak ada yang bisa merubahnya segampang itu,” sahutku. Dia bukan lagi lelaki sholeh pikirku tiba-tiba. Dia gila.

”Kalau kamu berpikir begitu, kenapa Allah tidak mengizinkan kita menikahi saudara kandung kita seperti zaman nabi Adam? Atau membolehkan poligami sedangkan di zaman nabi Isa tidak di bolehkan? Karena Islam mengikuti zaman. Sekarang bukannya zaman seperti Rasulullah dulu. Lihat anak sekolah di sana? Orang tua mereka tak keberatan jika mereka berjalanan beriringan. Tidak seperti zaman nabi dulu yang tidak mengizinkan. Karena saat ini itu sudah biasa,” jawabnya panjang lebar.

Aku tak bisa berkomentar. Bingung ingin menjawab apa.

”Maaf jika omonganku terlalu emosi. Mungkin, lebih baik jika aku sekarang pergi. Tapi, aku ingin mengatakan satu hal. Berpikirlah liberal, Nurul. Berpikirlah universal. Dogma agama terkadang membuat kita tidak berkembang,” ujarnya menutup. Sosoknya beranjak dan berlalu dari sampingku.
Aku tak kuat menahan bendungan air mata ini. Sosok yang kucintai menghilang. Entah monster apa yang mengubah segalanya, merebut sifat sahajanya, menghancurkan impianku. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Tak akan ada wajah teduhnya, bias wudhunya, juga jaga pandangannya. Kedua kalinya bumi berguncang. Dan dengan keji melindas isi kepalaku. Semua pun hilang.

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.