Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Aurora

Dinding itu bergetar dingin. Merambat di celah kerikil yang menghitam dekil. Bak ksatria jantan, lelaki itu menopang kayu di atas pundaknya. Peluh menetes di dahinya. Mengembangkan senyum puas membungkam kemenangan. Getar dinding mengeras. Hingga semua kerikil terjun dari baris-baris rapi susunan dinding. Pun bata lapuk yang hancur dihantam kayu tua tiap malam.
”Bagus, selamat tinggal neraka,” gumamnya sendiri. Langkah kakinya meninggalkan tempat itu. Disaksikan beribu mata dinding yang terdiam. Dan membekas lubang sedang berukuran badan.
Lelaki muda itu terus berjalan. Menyusuri tiap jejak semula ia datang. Kayu tua pun dia buang. Barangkali sudah tak diperlukan.
“Hei, dari mana kamu? Sedang apa kamu di sini?” tanya seorang berseragam kelabu.
”Saya dari membuang sampah, Pak. Ini juga mau kembali ke dalam,” jawab lelaki tadi polos. Memasang wajah lugu menipu.
Si penanya menatap curiga. tapi berkurang saat melihat tangan pemuda yang berlepotan lumpur hitam dan tanah coklat.
Dengan kemenangan sang pemuda bergegas pergi. Menyusul ke tiga temannya untuk meninggalkan neraka ini.
***
“Sudah usir saja. Bikin aib saja.” seseorang emosi.
“Betul Pak RT, usir saja. Mau ditaruh di mana muka kita kalau si bejat itu balik lagi ke kampung ini? Bikin malu,” sewot yang lain tak mau kalah.
“Iya betul, Pak. Betul,” sisa menyahut.
Rumah Ketua RT itu ramai. Halamannya yang lapang terasa sempit dipenuhi warga. Semua bersuara. Semua tampak tak suka.
“Kampung ini semuanya dari orang baik-baik, Pak RT. Rasanya ndak pantas kalo ada mantan narapidana di kampung ini. Namanya penjahat, semanis apapun mulut dia, tetap aja dia penjahat,” suara Mbok Inah meramaikan.
Pak RT mulai bingung. Namun sebagian hatinya membenarkan ucapan para warganya. Tapi mata pemuda yang sedang ribut diusir warga itu, tak menampakkan kebohongan sama sekali. Seperti tulus bertaubat dan ingin menghapus semua dosa-dosanya yang lalu. Tapi, apa benar? Dua puluh tahun silam matanya juga seperti itu. Mata yang berbohong dan telah menyakiti semua hati warga di sini.
“Baiklah, kita bicarakan saja dulu sama dia. Tapi ingat, Bapak-bapak. Jangan ada kekerasan. Kita bicarakan secara baik-baik dan kekeluargaan. Saya tidak mau ada yang bertindak main hakim sendiri. Ingat, secara baik-baik. Setuju?” kata sang Ketua RT.
“Setuju!”
Rombongan warga itu pun berjalan mencari lelaki yang dianggap bejat. Pak RT menjadi komando dibarisan terdepan. Langkah-langkah bersemangat itu berjalan menuju Masjid Fisabilillah yang terletak di tengah kampung mereka.
Sementara itu, di halaman Masjid, seorang pria sedang menyapu daun-daun kering. Kaosnya basah. Peluhnya bersimbah. Legit sinar matahari yang dalam menembus topi diacuhkannya. Sebentar lagi zuhur, dan pekerjaannya hampir selesai. Istri Mang Iwan pamannya sedang melahirkan di rumah sakit. Jadi tak bisa mengurus masjid ini untuk beberapa hari. Maka dia dengan rela membantunya.
Baru dua hari yang lalu ia bebas. Kembali ke kampung halamannya untuk bersimpuh pada Ibunya. Tapi barangkali dosanya terlalu banyak. Mungkin karena malu punya anak pembangkang dan  jadi narapidana, Ibunya pergi entah ke mana. Mengubur kesedihannya dan mencoba menghapus noda hitam di keningnya. Noda aib yang dicoreng anak bungsunya.
Bukan ia tak tahu seisi kampung meludahi kedatangannya. Ibarat iblis yang akan membunuh anak-anak mereka dan merampok semua harta mereka. Seperti yang pernah ia lakukan puluhan tahun silam. Namun, tekad keduanya ke kampung ini adalah untuk membuktikan kalau ia telah bertaubat.
“Itu dia oranganya. Usir!” Suara gaduh beramai memasuki masjid. Ramai sekali, seperti pasar minggu tempat ibu-ibu membeli sayur.
“Tenang, tenang. Tolong tahan sebentar suaranya,” suara Pak RT menenangkan.
Si pemuda mulai digelayuti perasaan tak enak. Namun ia tepis su’udzhan dalam hati. Dengan ramah menyambut warga dengan senyuman.
“Wah, ada apa ini Pak RT. Kok ramai sekali?” tanyanya ramah.
“Halah! Jangan sok ramah, Setan!” sahut seorang dari mereka dengan nada marah. Beberapa orang mendorongnya menyuruh diam. Si pemuda benar-benar merasa tak enak.
“Nak, maaf kedatangan kami mendadak seperti ini. Tapi, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” sapa Pak RT segera.
“Oh, iya. Ada apa, Pak?” tanyanya.
“Hm, saya ingin bilang tentang yang tempo hari. Tentang kedatangan sampeyan ke kampung ini.” Pak RT menarik nafas panjang. Suara senyap. Semua mendengar khidmat. “Saya hargai niat kamu ingin bertaubat, dan ingin membangun kampung ini. Tapi, maaf. Sekali lagi maaf. Warga masih trauma dengan kasus 20 tahun silam. Tolong dimengerti,” ujar Pak RT mengakhiri penjelasannya.
Pemuda itu terdiam. Ia kecewa.
“Maaf Pak RT, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Sekali lagi saya mohon maaf atas perbuatan saya yang telah menyakitkan hati saudara-saudara sekalian. Tapi, tolong beri saya kesempatan. Saya ingin berubah. Sungguh, tidak akan masuk ke jurang kelam untuk ke dua kalinya. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong beri saya kesempatan,” pintanya harap.
“Ah, jangan sok baik. Pasti kamu ingin merampas harta-harta kami lagi. Atau malah ingin membunuh kami. Ayo, kita gebuki saja orang ini,” jawab Parman emosi.
Warga lain yang tak percaya terpancing. Sejenak saja, puluhan tinju mendarat di sekujur tubuh pemuda itu. Ia berteriak sakit, tapi tak melawan. Pak RT berusaha memisahkan. Beberapa warga yang kasihan pun turut mendamaikan. Tapi, kiranya amarah terlalu meluap.
Semua berjalan singkat. Setan tertawa di sela warga yang marah. Pak RT dan warga pendamai lain kalah kuat untuk membendung aliran marah yang menderas itu. Pemuda itu roboh. Sudut bibirnya tak lagi merekah senyum. Darah segar menetes dua tiga. Ia pasrah. Ia telah mengira ini semua akan terjadi. Ia tak akan melawan.
“Astaghfirullah. Hei, apa-apan ini? Parman, Abduh, sudah lepas. Lepas kataku. Sudah, hentikan,” seorang berkoko putih melerai mereka yang kalap. Warga berhenti mengamuk. Namun mengeluh kesal.
“Jangan ikut campur, Ustadz. Bajingan ini kalo nggak digebuki nggak bakal ngerti. Penjahat aja sok suci,” dengus warga yang lain.
“Sudah, apa ndak ada cara yang lebih baik dari gebukin orang kayak gini? Kalo ada masalah, mestinya diomongin baik-baik,” jawabnya heran.
“Pak ustadz nggak kenal dia. Dua puluh tahun yang lalu, dia membantai 1 keluarga di sini sampai gila, dan merampok hartanya. Cih, ndak sudi aku ngomong sama dia, dasar laknat,” caci yang lain.
“Kalian gebukin sampai mati pun, situasi nggak bakal berubah. Yang ada malah kalian yang sama dosanya. Sudah, wudhu sana biar hilang marahnya,” ujar pak tua setengah mengusir.
“Huu..,” protes yang lain. Dengan kesal dituruti juga perintah si ustadz.
Tinggallah sedikit orang di area masjid. Pemuda dengan penuh luka, pak ustadz, pak RT, dan warga lain yang betah menonton. Pak ustadz menghampiri laki-laki itu. Membantunya berdiri dan memapahnya duduk di teras mesjid.
Pemuda itu menangis. Seperti anak kecil yang menangis karena tak dibelikan mainan oleh ibunya. Lukanya makin perih  dibasahi air mata.
“Saya memang salah, Pak. Saya memang bejat, bajingan. Tapi, percayalah pak. Saya ingin bertaubat. Saya ingin menebus semua kekhilafan saya,” ujarnya di sela isak tangis.
***
“Cepat lari,” perintah Zainal pada teman-temannya.
Mereka lari, meninggalkan neraka yang telah menyala dilalap api. Terus menelusuri lorong-lorong pohon yang gelap dan sepi. Cepat, seperti mengejar kilat. Tertatih, dengan sekujur tubuh yang berteriak letih. Tidak, semua tidak boleh gagal. Sudah sejauh ini.
“Zainal, kita ke mana?” tanya suara di belakang. Deru nafasnya terdengar cepat.
“Sudah Bram, kita lari saja,” jawab Zainal singkat.
Mereka terus lari, mengejar angin di depan. Entah ke mana tujuan.
“Mereka mengejar,” suara yang lain. “Sepertinya dengan motor, mobil, dan helikopter,” lanjutnya menakuti.
“Sialan. Mereka sigap juga. Kita sembunyi,”  komando Zainal. Mereka bersembunyi di bawah semak-semak gelap.
Lama, hampir semua menahan nafas. Terasa mencekam. Sementara itu, raungan kendaraan semakin mendekat. Juga teriakan-teriakan lain yang terdengar makin keras. Zainal memegang dadanya, mengatur napasnya yang tersengal. Sementara ke-tiga temannya terlihat sangat takut.
“Ayo, cari terus mereka sampai ketemu! Pastilah ada di sekitar sini,” kata seseorang.
Beberapa kaki mulai mendekat, langkah berat dengan senjata lengkap. Siap menembak sisi manapun narapidana yang telah berani kabur dari penjara yang ketat. Hingga tinggal beberapa langkah lagi mereka tiba di tempat si napi sembunyi.
Sementara para napi sudah gelisah. Degup jantung mereka berdetak cepat, sehingga rasanya tak mungkin tidak didengar oleh sipir penjara. Dia melangkah pelan. Sangat pelan untuk bisa menghindar dari pengelihatan sua sipir penjara yang sedang mencari mereka di balik pepohonan. Mereka harus bergegas menembus hutan ini. Secepatnya, sebelum para polisi itu tidak menemukan mereka.
Dia sudah mengendap-endap menjauh. Sangat pelan, di antara semak-semak ilalang hutan yang tinggi. Bertumpu pada batang pohon, menyelinap menjauh sementara polisi terus mengepung tempat itu dan terus mencari mereka.
Krak!
“Sial,” desahnya pelan.
Terinjak olehnya sebuah ranting pohon kering yang bunyinya cukup keras.
“Hei, siapa di sana?” kata suara galak.
Pemuda itu membalik dan terlihat olehnya seorang polisi yang langsung berlari ke arahnya. Dilihat wajah pucat rekan-rekannya.
“Lari!” serunya cepat.
Mereka berlari masuk ke dalam. Terus menerus melaju tanpa menghiraukan suara-suara di belakng mereka. Terdengar beberapa desingan peluru yang dilepaskan. Membirit langkah mereka untuk terus maju menembus hutan.
Tak ada lagi yang dipikirkannya. Melainkan lari, meninggalkan penjara ini untuk selamanya. kembali ke dunia bebasnya.
Dor!
“Aaarggh. Tunggu Nal, aku tertembak,” keluh salah seorang temannya meringis. Mereka melambat dan menoleh.
Kaki rekannya tertembak dan terlihat serombongan polisi berlari menyongsong mereka. Dia lari terus. Rekannya yang tersisa terus mengekor, tanpa mendengarkan salah seorang temannya yang meringis kesakitan. Dia lari terus, menembus kegelapan hutan. Dadanya sudah semakin sesak. Tubuhnya lelah, tapi ia terus lari namun melambat.
Semua terjadi sangat cepat deruan peluru terdengar lagi dan seorang temannya terjerembat. Dilihatnya celah di depannya, dan ia terus maju.
“Berhenti Zainal. Jangan ke sana. Di sana jurang!” kata seseorang, tapi  terlambat.
Lajunya tak bisa dihentikan, dan dia terasa terbang. Teriakan kengeriaannya mengiringinya terjun ke dalam jurang yang dalam itu. Degup jantungnya menguat. Dia akan menyongsong kematian dengan dosa yang sangat banyak. Hatinya dipenuhi sesal dan ia melihat sinar. Itukah malaikat yang menyabut nyawaku? Namun, beberapa jam kemudian ia tahu bahwa dia selamat.
***
“Sudahlah, saya mengerti perasaanmu anak muda. Siapapun berhak untuk bertaubat kepada Allah. Karena Dia Mahapenyayang,” kata lelaki tua itu menghibur. Pemuda itu masih menangis.
“Siapa namamu nak?” tanya lelaki tua itu.
“Saya Sofwan, Ustadz. Nama Ustadz siapa?” tanyanya kembali.
“Saya Zainal. Zainal Arif.” Lelaki tua itu tersenyum.

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.