Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Aurora


Tusuk punggung kakakmu dengan pisau itu. Oh tidak, suara itu datang lagi. Sesaat aku tertahan oleh nurani yang tidak mau menuruti suara itu.

Sekarang, Welza. Sekarang! Suara itu kembali memaksaku melangkah mendekati Kak Riri yang sedang tilawah.

Tusuk Welza! Sekarang. Dia yang telah membunuh ayahmu. Tusuk. Suara itu terus menitah saat aku tepat berada di belakangnya.

Perasaanku kembali berkecamuk mengingat peristiwa itu. Saat Ayah harus meregang nyawa akibat kecerobohan Kak Riri. Tanganku pun mulai mengayun hendak menikam. Mataku memanas berpeluh dendam.

Namun, suara indah lantunan ayat suci yang dibaca Kak Riri sayup terdengar, membuat kesadaranku pulih dan bertarung dengan suara mengerikan itu. Ragu, kuhentikan jua mengayunkan pisau.

Jangan takut, Welza. Tusuk sekarang! Terdengar kembali suara yang entah dari mana datangnya.

Tidak... Tidaaakk. Nuraniku membantah. Gerak refleks memaksa sumsum tulang belakangku untuk melepas pisau itu. Aku pun berlari menjauh. Meninggalkan pisau yang terjatuh.

Kau pengecut, Welza. Kembali. Bunuh dia! Dia telah membunuh ayahmu. Suara itu menggema menghantui pendengaranku. Secepat kilat kututup telinga dengan kedua tanganku. Berharap suara itu pergi.

“Jangaaann...!” aku berteriak mencoba melawan. Memaksaku bergelut di bawah meja makan, berusaha berlindung dari suara itu.

“Ya Allah, Welza. Kamu kenapa?” Kak Riri tergopoh menghampiri. Rupanya dia mendengar suara pisau yang kujatuhkan

Bunuh, Welza. Sekarang. Jangan jadi pengecut! Suara itu kembali lagi.

“Kak lari, Kak. Suara itu mau membunuhmu. Lari, Kak. Plis!” pintaku di sela deraian isak tangis.

Kak Riri pun pergi, namun sejenak kembali dan menghujamkan benda tajam di lenganku. Seketika dunia menjadi gelap di mataku.

***

Sinar matahari menyentakku bangun ke alam sadar. Sekujur tubuhku melemas.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar, Za,” suara Ibu yang basah terdengar. Kucoba memutar otak, merakit peristiwa apa yang terjadi. Sia-sia. Kepalaku semakin berdenyut memikirkannya.

“Apa yang terjadi ?” tanyaku. Kak Riri tengah memeriksa suhu badanku.

“Penyakitmu kumat lagi. Kamu hampir membunuh kakakmu,” jawab Ibu. Matanya nampak berair. Tangan lembutnya meremas jemariku yang dingin.

Huh, Skizofrenia Paranoid. Yah, penyakit itu yang Kak Riri bilang. Kak Riri adalah dokter umum di kotaku. Penyakit yang sangat kubenci.

Kupejamkan mata yang lelah, seolah ingin membayangkan apa yang telah kulakukan. Di sisi kecil hati, aku bersyukur peristiwa itu tidak terjadi. Tak dapat kubayangkan, badan Kak Riri terbujur kaku di hadapanku. Sebutir air bening mengalir.

“Nggak apa-apa, Za. Mungkin kondisimu lagi labil aja kemarin,” ujar kak Riri sembari menyapu butiran bening itu dari mataku.

***

“Wa’alaikum salam. Eh Riri, ayo masuk!” sapa ramah seseorang saat aku dan Kak Riri mengucap salam di depan sebuah rumah sederhana nan luas. Wanita muda itu mengulurkan tangannya mengajak berjabat.

“Welza, ini kak Ernie, yang kemaren kakak ceritain,” ingat kak Riri.

Kak Ernie adalah teman SMA Kak Riri, yang sekarang sudah menjadi seorang psikiater. Kalau bukan karena tidak enak dengan kak Riri, malas aku datang ke tempat ini. Memangnya aku gila.

“Kakakmu udah cerita sedikit kok, Za. Tenang aja. Di sini bukan tempat orang gila kok. Dan Kakak juga yakin kalo Welza tidak gila,” sahut Kak Ernie menebak pikiranku. Aku tersenyum. Entah menghibur, atau mungkin ngibul.

“Ernie, Welza terkena penyakit Skizofrenia Paranoid. Itu terjadi sebulan setelah Ayah meninggal dalam kecelakaan mobil. Saat itu, dia merasa akulah penyebab kecelakaan itu. Hingga pada suatu saat, dia berubah total. Menarik diri dari orang banyak. Dan mengaku sering mendengar suara-suara aneh dalam pikirannya. Yang paling parah, dia sudah enam kali hampir membunuhku,” jelas kak Riri. Yah, enam kali.

Aku juga tak tahu kenapa bisa seperti itu. Yang aku ingat, aku hanya ingin melupakan almarhum Ayah. Namun suara itu datang menghiburku dan menguasai setengah jiwaku.

“Sebelumnya pernah ke psikiater?” tanya kak Ernie.

“Sudah. Psikiater itu bilang, penyakitnya kumat jika ia banyak melamun,” jawab Kak Riri.

Kak Ernie meminta agar dia dan aku bisa berbicara empat mata di ruang tertutup. Setelah anggukan iya dari Kak Riri, aku pun dibawa ke perpustakaan pribadi milik Kak Ernie.

“Apa yang dikatakan suara-suara itu, Welza?” tanya Kak Ernie saat kami telah duduk berhadapan.

“Dia menyuruhku untuk membunuh Kak Riri. Dia bilang Kak Riri yang membunuh Ayah,” jawabku jujur. Aku menanamkan sedikit kepercayaan padanya, dengan harapan dia bisa menyembuhkanku.

“Dan kau tidak sadar?” tanyanya kembali.

Aku menggeleng. Seandainya aku sadar, mana mungkin aku mau membunuh saudaraku sendiri.

“Apa tanggapan teman-temanmu di sekolah?” tanyanya lagi.

Deg. Aku tak kuat menahan bendungan air di mataku. Kak Ernie mencoba menenangkanku. Sedikit demi sedikit aku keluarkan juga cerita itu.

Suara itu muncul saat Kak Riri ke sekolah hendak mengambil raporku sebulan setelah kematian Ayah. Tiba-tiba suara itu datang, merayuku membunuh Kak Riri dengan batu runcing di halaman depan sekolah. Aku pun membabi-buta mengejar Kak Riri yang ketakutan.

Seisi sekolah tercengang. Ada yang bilang aku kesurupan, ada yang bilang aku gila, dan perkataan lain. Aku baru sadar saat kepalaku terhempas ke tanah karena terjatuh saat mengejar Kak Riri.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba untuk tidak melamun lagi dan bersikap seperti biasa. Namun, teman-temanku menjauh. Sebuah sikap yang sanggup mengiris hati ini. Saat aku butuh keceriaan mereka untuk membantu melupakan suara-suara itu, hampir tak ada anak yang mau bergaul denganku, karena takut aku akan menggila lagi. Itulah yang membuatku benci pada semua orang dan memilih diam. Ibu pun mengeluarkanku dari sekolah karena tak tahan aku di kucilkan oleh teman-teman.

Aku masih menangis saat Kak Ernie membelaiku laksana adiknya sendiri. Aku tak berdaya menimbulkan kekuatan berbicara lebih banyak. Aku bingung, takut, dan menyesal.

Kak Ernie mengulurkan tisue padaku. Dengan terisak kuterima, dan mulai menyapukannya ke bawah mata. Beberapa airmata nakal tetap keluar meski aku sudah menyapunya. Kuhela napas. Berat. Berharap rasa itu hilang.

“Sudah agak enakan?” tanya Kak Ernie.

Aku mengangguk.

“Bisa dilanjutkan?” tanyanya lagi.

Tetap kujawab dengan anggukan.

“Apa yang Welza rasakan saat Ayah meninggal?” tanyanya.

“Shock. Welza sayang sama Ayah. Welza nggak mau Ayah mati,” jawabku kembali terisak.

Kulihat Kak Ernie mengangguk. Kustabilkan perasaan gundahku.

“Lalu suara itu datang?” tanyanya menebak.

“Iya, menghiburku dan mengajakku melupakan semuanya,” jawabku.

“Seharusnya Welza tidak menuruti suara-suara itu,” argumennya.

Aku tersentak. Dia pikir aku sengaja mau mengikuti suara-suara itu?

“Kalau Welza dari awal tidak mendengar suara-suara itu, penyakit ini tak akan timbul,” lanjutnya memvonis.

Apa salah aku mendengar suara yang bisa membuatku tenang? Membuatku merasa dihargai dan dimengerti? Aku tak minta suara itu datang. Aku tak minta dia menguasai setengah jiwaku. Namun, alasan-alasan itu hanya sampai di tenggorokan. Tak berani kulanjutkan.

“Insya Allah bisa sembuh. Asal janji, Welza mau nyuekin suara itu,” kata Kak Ernie. Aku tertegun. Sanggupkah aku?

“Kakak bersedia menjadi penggantinya. Menjadi teman curhat Welza,” hiburnya.

Lagi kuhela napas. Mungkinkah?

Tidak, Welza. Dia akan terus menyalahkanmu. Terdengar suara lagi. Tak bisa kutebak, nuranikukah yang bicara, atau?

Kak Ernie melangkah ke arah rak. Mungkin ia mencari buku tentang penyakitku. Tak sengaja mataku melirik ke atas sebuah meja. Tepat di samping komputer, sesuatu yang berkilat menarikku melangkah ke sana.

Ambil, Welza, perintahnya. Aku beranjak pelan menuruti perintah suara itu. Sesaat, diriku berubah menjadi sosok lain dengan kepala penuh kebencian. Otakku mengecil. Tak bisa berbuat apa-apa. Dengan ringannya, kutancapkan pisau di punggung wanita yang sedang mencari buku itu. Sebuah suara menyadarkanku. Suara sakitnya kematian.

Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini? Otakku terlambat memikirkan. Terhuyung aku mundur dengan belati berdarah di tangan kanan.

“Ya Allah, Ernie!” Kak Riri masuk, mungkin ia mendengar suara Kak Ernie tadi.

Tajam tatapannya melesat menembus retina mataku, menuju otak belakang. Tatapan menuduh. Aku menggeleng. Lalu, gelap.

***

“Bukan salahku. Bukan salahku. Bukan salahku,” ucapku berulang-ulang. Kupeluk kakiku dengan tangan lesu.

“Dia mengidap kelainan jiwa, Pak,” terdengar suara. Batinku terasa sulit mencernanya. Yang terpikir hanya; bukan salahku.

“Kalau begitu, dia tidak mungkin kita penjarakan. Tolong rawat dia, Dok,” suara lain terdengar.
Airmataku menetes. Bukan salahku, batinku menjerit.

*pernah dimuat di majalah islam Sabili

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.