Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Aurora
 

Reika berjalan tenang menyusuri kota Baden Württemberg, Berlin. Kakinya melangkah menuju gedung kecil tempat anak-anak muslim minoritas belajar agama. Madrasah sederhana yang penuh kehangatan. Madrasah Ar-Rahman.
Tinggal dua tikungan lagi yang harus ia lewati. Cukup jauh. Ia melewati kerumunan khalayak yang sedang beraktivitas. Beberapa orang yang ia jumpai, meliriknya heran. Ia tak peduli. Dengan anggun tak ia hiraukan pandangan aneh orang-orang.
Reika berbelok ke arah kiri jalan. Menapaki jalan lurus nan sepi di hadapannya. Persis di ujung jalan yang langgeng ini, ada jalan ke arah kanan. Dan dia akan sampai di tempat yang sangat dirindukannya.
Namun, belum sampai setengah jalan, ia melihat rombongan laki-laki tengah mabuk di depan gedung tua yang tak berpenghuni. Ragu, ia pelankan langkahnya. Seberit ngeri merayunya berbalik ke belakang.
Ia tolak ide itu. Tak ada jalan lain ke madrasah. Hanya ini satu-satunya jalan. Ia tak bisa membayangkan wajah-wajah kecewa murid-muridnya. Ia putuskan terus lewat, berharap rombongan itu tak melihatnya.
Ia terus lancarkan dzikir di hati. Berharap Rabbul Izzati menemani. Selangkah demi selangkah terasa lama diburu waktu. Saat kakinya melewati para lelaki itu, tak ada apa-apa. Rombongan itu terus mengoceh yang tak ia mengerti. Huff, Alhamdulillah...
Langkahnya dipercepat. Namun, baru hendak berlari menuju tikungan kedua, kakinya melemas. Dua pemuda hitam berbadan besar menghadangnya. Seringai seram membingkai wajah mereka bak setan. Ya Allah. Bagaimana ini? Batinnya berdoa.
Lari Reika, berbalik. Ayo cepat. Ia turuti perintah otaknya. Secepatnya ia berbalik. Mencoba berlari dari dua pemuda hitam itu. Namun, baru hendak mempercepat larinya, rombongan lelaki yang tadi ia lewati telah mengahadang dengan tawa terbahak yang tak berbelas kasihan.
Batinnya melemas. Demikian pula seluruh sendinya. Penuh peluh ia ucapkan dzikir. Ia tak mengerti. Apa kebetulan terjadi atau sengaja strategi? Ia terjebak dalam dua dilema. Dua pemuda dengan seringai setan. Dan lima pemuda yang terhipnotis alkohol. Degup jantungnya tak berirama. Hatinya diliputi kengerian. Allah, bantu hamba. Batinnya terus berdoa. Ke tujuh pemuda itu mendekat.
“Hallo, Gepflegte1),” tegur salah satu pemuda hitam.
“Beabsichtigen ihr?2)” tanya Reika. Semua tertawa. Reika terdiam.
“Hören 3). Akan saya adukan kalian ke polisi!” ancam Reika. Beberapa pemuda makin terbahak. Ini tak lucu. Batinnya.
“Kami tak bermaksud jahat, Cantik. Kami hanya ingin melihat kecantikanmu tanpa kain ini,” jawab seorang dari mereka. Tangannya mencoba menarik jilbab Reika.
“Hei, Aufzudröseln 4)!” teriak Reika.
Jilbabnya hampir terlepas. Namun ia tetap bertahan. Seorang pemuda maju hendak menciumnya.
“Berhenti!” terdengar suara kecil dari arah selatan.
Tiba-tiba batu-batu kecil berhamburan. Reika melihat sekilas arah suara. Allahu Akbar. Itukan murid-muridnya. Para pemuda jalan itu mempertahankan diri mereka dari amukan batu. Demikian juga Reika. Batu itu terus membanjir. Pluk! Kepala seorang pemuda terkena batu dan berdarah. Demikian juga yang lain.
Seorang pemuda geram dan berlari ke arah mereka. Sayang, semakin mereka mendekat, tubuhnya semakin di hujani batu dari ketapel-ketapel anak-anak berjumlah 20an. Sakit.
“Lassen5),” seru seorang diantara mereka. Mereka pun pergi.
Reika mengucap syukur pada Allah SWT. Ia membenahi jilbabnya yang tak karuan.
“Tidak apa-apa kan, Ama?” ujar si kecil Fatin. Reika menangguk. Bersama mereka berjalan menuju Madrasah.
“Tadi, waktu hendak kesini Fatin melihat ama diganggu orang. Lalu Fatin memanggil kami. Kami ke sana deh,” ujar Kennen. Reika mengucapkan terima kasih.
“Itu biasa di sini, Ukhti. Rakyat di sini sangat anti dengan jilbab. Yah, kalau kita keluar rumah dengan pakaian takwa ini, kita akan jadi target utama untuk diganggu,” kata Meina. Dia kepala di madrasah ini. Reika menelan ludah. Begitu susahkah berda’wah di sini? Reika memang baru tinggal di Berlin.
“Ama, kita mulai saja belajarnya,” celetuk Syinan. Reika mengelus kepalanya dan mengagguk. Sejenak terlupakan masalah tadi.
***
“Tapi, Sir, saya punya surat izin mendirikan bangunan ini. Dan saya juga telah mendapat persetujuan dari walikota untuk mengajar Islam di sini sejak 10 tahun yang lalu,” jelas Meina. Di balik kacamata minusnya, terlihat ia begitu marah.
“Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah. Saya ulangi lagi. Silahkan buka jilbab kalian atau kalian tidak boleh mengajar di sini lagi. Sudah keputusan baru yang dibuat pemerintah, dilarang menggunakan jilbab atau simbol agama apa pun dalam mengajar,” jelas laki-laki berpakain rapi itu. Reika menahan geram.
“Ini gila. Atas dasar apa pemerintah kalian menetapkan keputusan itu? Ini melanggar HAM,” protes Reika. Lelaki itu tampak tak suka.
“Ini untuk mengurangi teroris di Jerman, Nyonya” jawbnya tegas.
“Jadi kalian menuduh kami teroris? Ini benar-benar sudah melanggar hukum. Ini fitnah,” ujar Meina.
Laki-laki yang mengaku utusan dari polisi itu tampak tak sabar lagi.
“Saya tidak menuduh anda teroris, Nyonya. Tapi sudah kebijakan pemerintah di sini untuk waspada pascaledakan WTC tahun lalu. Kami hanya tak mau mengambil resiko. Lagipula, pakaian anda ini bertentangan dengan norma kristen,” jelas laki-laki itu.
Meina benar-benar tak bisa menahan sabar lagi.
“Aku tak peduli dengan norma Kristen. Kami muslim. Ini adalah pakaian kami. Tolong anda hargai itu,” jelas Meina berapi-api. Laki-laki itu tersenyum remeh.
“Terserah. Tapi itu kebijakan di sini. Jika tak mau berurusan dengan polisi, jalankan aturannya.” Laki-laki itu berdiri. Keluar, membanting pintu dengan keras.
Meina terdiam. Matanya berkaca-kaca. Reika menggigit bibir. Ya Allah, begitu sulitkah berda’wah di sini?
1) Hallo, Manis       4) Lepaskan!
2) Mau apa kalian?   5) Lari!
3) Dengar

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.