Sebuah Cerita

Mengawali langkah dengan cerita...

Azan Ashar sudah lama menggema. Para penghuni masjid, tampak telah usai menunaikan panggilan Rabb mereka. Satu persatu, masyarakat yang ikut melaksanakan shalat Ashar bersama, meninggalkan masjid. Namun tidak semua yang berlalu, masih ada sekitar 20 pemuda yang tampak enggan melangkah keluar mesjid.

Pemuda-pemuda tersebut tanpa dikomandoi langsung membentuk lingkaran. Menanti pimpinan mereka yang belum selesai membaca kitab suci Al-Qur’an. Terlihat guratan semangat dalam wajah mereka untuk merebut kembali kedamaian mereka yang dirampas oleh penjajah biadab.

Setelah puas ‘berbincang’ dengan Rabb-Nya, pemimpin yang dinanti langsung menggabungkan diri ke dalam lingkaran. Semua orang tersenyum menyambut, selalu ada kekuatan semangat jika telah bertemu sosok ini. Sosok yang sangat di takuti keberadaannya oleh tentara Belanda.

Pertemuan itu pun dimulai. Setelah bertahmid dan bershalawat, Ahmad Farhan, pemimpin para pemuda itu langsung menuju ke topik pembicaraan.
“Serangan kita selanjutnya adalah markas besar Belanda yang ada di Sungai Penuh, masih dengan cara yang sebelumnya. Saya harap penyerangan ini akan memukul mundur penjajah dari Sungai Penuh. Jika daerah itu sudah kita kuasai, hubungan kita dengan luar Jambi akan berjalan lancar. Kita bisa menguhubungi pejuang-pejuang lain di kota Padang, untuk membantu membebaskan Sarolangun, Bangko dan Tebo.” Ungkap Abdul Aziz panjang lebar.

Terlihat semua pemuda disana begitu khidmat mendengarkan keterangan dari pemimpin mereka. Mereka hanyalah satu dari banyak kelompok kecil lainnya di Bumi Sakti Alam Kerinci yang menentang kedatangan Belanda ke Jambi. Di luar sana, masih banyak lagi kelompk kecil lainnya yang disebut oleh penjajah Belanda sebagai pemberontak. Saat mereka sedang serius membicarakan strategi apa yang harus dijalankan besok, tiba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Sekujur tubuhnya bersimbah darah.
“Assalamu’alaikum... Ustadz.Farhan, Adaoa marsose kek perbatasan, uhang tuh nak ki niek, lari keh..”(1) ujar laki-laki tua itu. Semuanya terpana dalam keterkejutan.
Dengan perintah Ustadz. Farhan, begitu warga kerinci memanggilnya, beberapa pemuda langsung membawa laki-laki tua itu ke rumah penduduk setempat.

Menurut laki-laki itu, serdadu Marsose dengan brutal menembaki rakyat yang tidak mau memberi keterangan dimana Ahmad Farhan berada. Marsose adalah sebutan untuk tentara bayaran Belanda yang ditugaskan mencari otak dari pemberontakan di berbagai daerah di Nusantara.
***

“Kamu geriliyawan ya...!”, bentak Marsose bengis sambil menghunus bayonet ke dada Iskandar matanya yang tajam menahan geram.

“Saya Petani, Tuan” jawab Iskandar. Sebelum menjadi pengikut Ahamad Farhan, ia memang seorang petani.

Saat Belanda mulai masuk ke Kerinci, Iskandar muda sudah sering melihat kebengisan penjajah. Puncaknya, saat ayahnya yang menolak bergabung dengan para pengkhianat disiksa oleh tentara Belanda. Didepan matanya, tubuh ayahnya diseret oleh penjajah dengan jip hingga tewas. Ibunya, di nodai dan dibunuh didepan matanya. Ia berhasil kabur saat itu, saat tangan sang paman membawanya pergi ke hutan.

Iskandar yang masih shock dengan apa yang ia lihat hanya pasrah ketika adik ibunya itu membawanya menjauh tanpa sepengetahuan serdadu penjajah. . Di tempat pengasingan ia dikenalkan dengan Ahmad Farhan. Sejak saat itu, dirinya resmi menjadi anggota geriliyawan.

“Kamu tahu dimana Ahmad Farhan, hah!” bentak yang lain. Hanya ada lima tentara Marsose di ruangan itu.

“Tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa-apa kecuali tentang sawah” jawab Iskandar. Penampilan para pengikut Ahmad Farhan, memang layaknya seorang petani. Hal ini bertujuan agar tentara Belanda tak curiga.

Salah seorang Marsose menuju ke arah Iskandar sambil menghunuskan pisau. Disaat seperti ini, pemimpinnya mengajarkannya untuk tetap tenang.
Allah, sungguh aku tidak takut dengan kematian. Aku hanya takut padaMu. Lindungi hambaMu ini ya Rabb.... Berikan kekuatan kepada hamba, untuk selalu ada di jalan juang ini... Batin Iskandar sibuk berdoa dan berdzikir.

Paras mukanya tetap datar. Hal ini lah yang membuat Penjajah Belanda bingung. Dari sekian banyak pemberontak yang di tangkapnya, tak satu pun dari mereka yang mau berkerja sama. Tak satupun dari mereka takut dengan ancaman-ancaman mengerikan yang mereka lontarkan. Meskipun, penjajah dengan kejam menyiksa mereka, mereka tetap kukuh dengan pendiriannya. Bahkan, saat kematian menjadi alternatif terakhir yang diberikan penjajah kepada mereka, mereka tetap bisa tersenyum. Seolah itulah yang mereka nantikan.

“Tadi Ahmad Farhan, shalat bersamamu kan?” tanya mersose itu sambil mengiriis pundak Iskandar dengan belatinya. Iskandar menjerit tertahan menahan sakit.

“Jangan siksa saya. Saya petani, Tuan” Iskandar masih bersikukuh. Dzikir di hatinya semakin memacu. Allah.... lindungi hamba...
Marsose yang tampak bosan dengan aksi diam Iskandar berdiri dan memerintahkan mersose yang lain untuk bertindak.

“Bawa dia ke rumah siksaan” ujarnya.
***
Iskandar tampak tenang saat tentara Marsose, membawanya dengan kasar. Ia di bawa ke sebuah rumah yang cukup luas dengan halaman yang tak terurus, rumput dan ilalang tumbuh dimana-mana.

“Ayo masuk” bentak seorang tentara. Iskandar terungkur saat Marsose penjajah mendorongnya lagi dengan lebih kasar. Tertatih dia berdiri sambil menahan sakit di dada bekas dihantam bayonet Marsose, belum lagi luka menganga di pundaknya yang tadi di sayat oleh Marsose lain.

Ruangan rumah itu cukup lebar dari sudut-sudutnya tercium bau anyir. Bau darah manusia. Iskandar pernah mendengar tentang rumah ini dari Ahmad Farhan, rumah penyiksaan bagi pejuang-pejuang Kerinci yang memberontak terhadap tentara Belanda. Di dinding dan lantai rumah itu, terlihat bercak-bercak darah yang telah membeku. Sangat ketara bahwa telah terjadi penyiksaan terhadap para tahanan disini.
Iskandar di masukan secara paksa ke salah satu kamar di rumah itu. Kesan pertama saat baru memasuki kamar itu adalah pengap, sepertinya sengaja dikondisikan demikian untuk menekan keberanian tahanan secara psikologis. Udara yang tak bergerak dalam ruangan membuat bau anyir darah manusia menyesakkan ruang pernapasan Iskandar, terbatuk ia menangapi hawa aneh dari ruangan itu. Untungnya, dengan segera ia dapat menyesuaikan diri.

Dia tak sendirian diruangan itu. Di sudut ruangan ada seseoarang yang terbaring lemah. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kelihatannya ia baru saja disiksa.
Iskandar tak tahu, orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Ia batalkan kehendaknya menghampiri orang itu, karena teringat ia belum shalat Magrib. Iskandar bergegas mencari daerah yang menurutnya cukup bersih, dan bertayamum disana. Kemudian, shalat magrib dilanjutkan dengan membaca Al-Quran. Anggota pasukan geriliyawan pejuang muda Kerinci pimpinan Ahmad Farhan memang dituntut untuk menghapal Al- Qur’an.

Dengan lirih dia membaca ayat demi ayat surat At-Taubah. Jiwanya menggigil saat membaca ayat peringatan dari sang pencipta. Peringatan yang keras apabila hambaNya menolak untuk berjihad. Namun disaat yang lain, Iskandar kembali bersemangat saat ayat-ayat berisi ampunan dan balasan yang akan diperoleh, selama dia tetap berada dalam jalan juang ini, untuk menegakkan yang haq dan meruntuhkan yang batil.
Saat melantunkan ayat-ayat suci, pipi Iskandar yang menghitam basah oleh deraian air mata, lisannya lirih dalam dzikir dan munajat kepada Allah. Dalam kenikmatan mengadu itu, ia menyadari bahwa Isya pun telah bertandang. Iskandar menunaikan kewajibannya dengan begitu khusyuk.

“Tak ada gunanya shalat disini” sebuah suara mengejutkan Iskandar, yang baru saja menutup ibadahnya dengan doa.

Iskandar menatap pemuda itu, kira-kira lebih muda dari usianya. Iskandar tersenyum dan melangkah menghampiri sang pemuda. Tangannya terjulur, mengajak pemuda itu berkenalan.

“Aku Iskandar. Kayo(2) siapa?” sapa Iskandar ramah. Pemuda berwajah letih itu menyambut uluran tangan Iskandar, nyaris tanpa senyum.

“Darma” jawab pemuda itu singkat. Posisi pemuda itu tak lagi terbaring. Entah kekuatan dari mana dia bisa mendudukan badannya.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Iskandar, setelah duduk disebelah pemuda bernama Darma itu.

“Dulu aku juga sepertimu. Mengharap perlindungan Tuhan, dari penyiksaan-penyiksaan Belanda. Shalat dan ibadah lainnya tak pernah tinggal. Namun lama kelamaan aku baru sadar, bahwa Tuhan itu tidak akan membantu orang-orang seperti kita. Dia hanya mau membantu orang-orang seperti Marsose kejam itu” jelas Darma. Nada bicaranya mengisaratkan bahwa dia sangat benci dengan penjajah.

Iskandar hanya tersenyum menjawab pertanyaan pada pemuda itu. Namun, sekilas ada perasaan ngeri di hatinya. Akankah ia tak bisa mempertahankan pendiriannya? Akankah dirinya akan menjadi pengkhianat negara dan agamanya?

“Kau salah teman. Allah itu selalu menolong hambaNya yang benar. Tapi, sudahlah. Ngomong-ngomong sepertinya kau sudah lama ada di rumah ini?” tanya Iskandar mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membuat emosi teman barunya ini meluap lagi.
“Tiga bulan yang lalu. Saat desaku dijarah oleh Marsose sialan itu. Aku tertangkap setelah meludahi muka Marsose yang hendak menodai adikku.” Jawabnya. Matanya menatap Iskandar kosong. Seolah sedang membayangkan peristiwa yang sepertinya cukup membuatnya murka.

“Maaf. Aku tak bermaksud mengingatkan kenangan yang kau alami,” kata Iskandar sopan. Pemuda itu, untuk pertama kalinya tersenyum. Terlihat satu gigi depannya patah. Iskandar mengira, pasti karena siksaan penjajah.

“Tidak apa-apa. Kalau kau? Kenapa bisa ada disini?” tanya Darma. Kelihatannya dia mulai bisa bersahabat.

“Kalau aku, tertangkap karena mereka melihatku shalat berjamaah dengan Ahmad Farhan,” jawab Iskandar.

“Heh, Ahmad Farhan rupanya. Pejuang licin yang sering menjadi bahan perbincangan para Marsose disini,” sahut Darma. Suara gebrakan pintu kamar ruangan itu, membuat mereka berhenti berbicara. Seorang Marsose masuk dan membawa sebuah ember. Ia melemparkan ember itu sekenanya. Darma yang sepertinya telah terbiasa dengan hal itu, mencoba menangkap embernya. Untungnya berhasil.

“Itu makan malam kalian. Jangan ada suara. Aku mau, jika nanti aku kesini lagi, ember itu telah kosong dan mata kalian telah terpejam,” kata Marsose singkat. Setelah pintu tertutup, Iskandar menatap Darma yang ingin memulai makan.
Ember itu berisi nasi yang telah dilembekan oleh air. Iskandar menahan mual diperutnya. Itu seperti makanan anjing pemburu para petani Kerinci.

“Kau tak usah jijik. Hanya inilah sumber kekuatan kita nantinya. Mereka hanya memberikan makanan kepada kita hanya malam hari” kata Darma. Diraupnya nasi berair itu dengan tangannya yang memerah karena darah. Di wajahnya tak terlihat guratan jijik sedikitpun. Sedangkan Iskandar, sudah hampir muntah dibuatnya.
Setelah agak lama makan dari ember itu, Darma kembali menatap Iskandar.

“Aku tahu kau tidak biasa dengan makanan ini. Tapi, seperti itulah disini. Mereka memang memperlakukan kita seperti binatang. Makanan anjing ini buktinya. Kalau kau tak mau makan, aku habiskan” kata Darma. Iskandar menggeleng lemah. Nafsu makannya telah hilang. Seperti orang yang tak makan berhari-hari, Darma meraup lagi makanan itu.

Iskandar memilih membaringkan tubuhnya. Lebih baik ia menistirahatkan tubuhnya yang telah lelah.
***

Iskandar menahan sakit di tangan kirinya, yang dipanggang Marsose diatas bara merah tadi. Kulit yang memerah mengelupas dikipasnya perlahan.

“Biarkan saja luka itu. Lama-lama juga kering” sambut Darma. “Aku juga pernah mengalami itu”.

Iskandar meringis. Ia hanya menurut pada saat seorang Marsose membawanya sehabis shalat subuh. Iskandar hanya pasrah dengan apa yang mereka sebut sarapan.
Lisan Iskandar terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah ingin melupakan sejenak rasa pedih ditangan kirinya.

“Aku heran. Kenapa sih tak kau beri tahu saja Ahmad Farhan berada. Kalau aku punya kesempatan sepertimu, sudah pasti aku tinggalkan neraka ini” tanya Darma. Tangannya membantu Iskandar mengipas-ngipas lukanya.

“Karena Allah”jawab Iskandar. “Aku lakukan semua ini karena Allah” lanjutnya.

“Apa hubungannya Allah dengan semua ini? Kau lihat, Allah sama sekali tidak membantu kita. Kita sudah kalah Bung. Indonesia sudah kalah” bantah Darma.

“Allah pasti membantu kita Darma. Mungkin saat ini Dia belum mengijinkan kita untuk menang. Tapi yakinlah, kebenaran itu pasti menang”kata Iskandar tenang.

“Iya. Tapi kapan? Sampai kiamat? Kita ini sudah dijajah Bung. Sangat mustahil bisa bebas” kata Darma emosi.

“Insya Allah Dar. Insya Allah. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah. Dia tidak akan mengingkari janjiNya. Suatu saat pasti kita kan bebas. Mungkin, saat ini Allah ingin melihat siapa saja hambaNya yang ikut berperan dalam kemenangan itu. Siapa saja yang ingin membela agama dan bangsanya. Dan tentu saja, kau tak mau jadi orang yang merugi kan?” kata Iskandar.

Darma terdiam mencermati kata-kata Iskandar. Betapa teguh pendirian pejuang ini. Seandainya semua orang memiliki pendirian seperti dia, tentu kemenangan itu akan terwujud.
***
Tinggal semalam saja dirumah ini, cukup membuat para tahanan yang tak tahan uji untuk buka mulut. Setiap waktu tak henti-hentinya suara pekikan tahanan yang disiksa oleh penjajah Belanda membahana keseluruh penjuru rumah. Kadang suara laki-laki, tak jarang perempuan, orang tua, bahkan pernah pula terdengar suara anak kecil yang menangis memanggil ibunya. Iskandar paham betul bagaimana perasaan anak itu, sebagaimana yang ia rasakan ketika orang tuanya di bantai oleh penjajah biadab. Semakin berkobarlah kebenciaannya pada Penjajah Belanda.

Malam ini, dengan tubuh lemah dan muka babak belur di kamarnya, Iskandar mendengar teriakan dari seorang pemuda yang telah seminggu ini menjadi temannya. di ruang penyiksaan. Teriakan memelas, diiringi derai tawa dari Marsose. Iskandar teringat tentang apa yang dilakukan Marsose tadi padanya. Didudukan di sebuah kursi dengan tangan terikat, muka disunsut rokok, kuku ibu jarinya dicabut, lalu luka-luka yang baru itu ditaburi garam halus. Pedih, tapi takkan sepedih azab Allah yang Maha Adil di akhirat nanti untuk mereka yang mendustakan hari pembalasan.

Setelah satu persatu tentara Marsose puas menghajarnya, Iskandar kembali disuguhi
pertanyaan dimana Ahmad Farhan berada. Namun ketakutannya pada Allah lebih besar dari rasa takutnya pada Marsose itu. Dengan hati yang terus berdzikir dan lisan yang hanya menjerit menahan rasa sakit disekujur tubuh, ia tetap bungkam. Keputusan tetaplah keputusan. Bagi seorang pejuang seperti Iskandar, pantang mengambil keputusan karena makhluk. Keputusan karena Allah, tentu saja lebih mereka pertahankan, keputusan yang kadang beresiko tinggi. Besok eksekusi matinya digelar.

Iskandar tak ingin menambah dalam sakit batinnya mendengar teriakan mengiba itu, ia sengaja melayangkan pikiran untuk sedikit meredam kepedihan. Seandainya Iskandar tak tertangkap oleh tentara Marsose saat penyerbuan di masjid itu, mungkin malam ini ia sedang bersantap malam dengan teman-temannya di hutan sana, menikmati gurihnya ubi bakar atau singkong rebus yang diiringi dengan serita sedih atau lucu para geriliyawan lainnya.

Setelah makan malam, biasanya pemimpin mereka memanggil mereka untuk membicarakan apa yang akan mereka lakukan malam itu. Selalu saja ada rasa ingin tahu dari para pejuang, siasat jitu apa lagi yang akan diutarakan oleh sang pemimpin. Setelah rapat kecil itu selesai, mereka mulai menjalankan tugas. Di tengah malam, saat semua orang mulai lelap termasuk penjajah Belada yang mulai lengah terbuai sejuknya tiupan angin malam, mereka beraksi. Dengan bambu runcing di tangan, para geriliyawan merayapi tanah hitam yang lembab.

Saat waktunya telah tepat, Pemimpin mereka, Ahmad Farhan, akan memberikan kode suara burung hantu tiruan. Tentu saja, hanya mereka yang mengerti. Setelah itu, mereka yang sebelumnya telah mengepung tempat itu menyerbu Kamp Belanda dari segala penjuru. Penjajah yang kaget mendapat serang tiba-tiba hanya bisa menembakan perulu secara membabi buta.

Tentu saja itu sudah di perhitungkan. Berkat latihan yang di berikan oleh panglima mereka, dengan mudah mereka menghindari peluru-peluru yang berseliweran tanpa arah. Cukup dengan melempar bambu runcing yang sedari tadi mereka pegang, begitu senjata sederhana itu menancap didada penjajah, mereka rampas senjatanya. Setelah membebaskan tahanan, mereka kabur kehutan sebelum tentara bantuan datang. Sederhana, namun cukup membuat pertahanan Belanda kocar-kacir.

Itulah yang selama ini menggeramkan Belanda. Para geriliyawan, yang hampir semuanya adalah penduduk asli Kerinci, lebih menguasai medan, terlebih lagi hutan. Mereka dapat dengan mudah bersembuyi di hutan atau menyamar sebagai penduduk biasa. Wajarlah mereka menjadi buruan nomor satu tentara Belanda di Kerinci. Terlebih, pimpinan mereka, Ahmad Farhan, pria muda yang dikenal sebagai ustadz di desa-desa di Kerinci namun dikenal juga dengan pemberontak terlicin oleh Belanda.

Memang, masih banyak Ahmad Farhan - Ahmad Farhan lainnya di masa itu. Namun tentara Belanda lebih takut kepada sosok cerdik ini. Penyamarannya yang lihai sering kali menipu tentara lainnya. Walaupun telah bertatap muka langsung, penjajah Belanda sering terkecoh karenanya. Siasatnya yang jitu, benar-benar memporak porandakan pertahanan Belanda.

Huh, Iskandar mendesah. Tidak, ia tidak boleh menyesal. Toh, jika besok tiba ajalnya, ia lebih suka mati dalam keadaan seperti ini. Iskandar kembali teringat kata-kata sang pemimpin, orang yang terus berada dalam jalan kebenaran hingga maut menjemputnya, ada balasan yang tidak tanggung-tanggung; surga, yang hanya didapatkan oleh orang-orang terpilih.

Tiba-tiba suara teriakan Darma menjadi senyap.

“Buang dia ke hutan” terdengar sayup suara bariton dari kejauhan. Degup jantung Iskandar kembali berdebar. Tak terasa, air hangat di matanya mengiringi kepergian sang sahabat.
***
Siang itu, matahari menjadi garang, sinarnya yang terpancar seolah memberi gambaran marahnya tentang kezhaliman yang di lakukan oleh sekelompok makhluk. Makhluk remeh yang tak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Pencipta. Makhluk yang sombong, hanya karena kekuatan semu yang dimilikinya.

Di tengah terik, para Marsose bengis itu masing-masing menyandang senjata kebanggaan, dengan pongah mereka menatap mangsa baru yang hendak diserahkan pada maut.

“Kau masih tak ingin mengatakan dimana Ahmad Farhan, heh?” ancam seorang Marsose kepada Iskandar.

“Maaf, Tuan, saya tidak tahu. Saya benar-benar petani, Tuan” jawabnya.
BUG !!!

Satu hantaman telak mengenai mata yang telah balu sebelumnya. Iskandar meringis,
makin kencang dzikirnya di hati.

“Dengar, orang kampung! Kami masih berbaik hati padamu. Satu kali kesempatan lagi kami berikan padamu. Jika kau masih tetap diam, kau tak kan tau dari senjata mana peluru yang masuk ke jantung mu” bentak Marsose. Tentara penjajah lainnya, tertawa beriringan, seolah pagelaran komedi sedang menghibur mereka.

“Saya benar-benar tidak tahu, Tuan, saya petani”jawab Iskandar lagi.
Allah, seandainya sebentar lagi hambaMu ini Engkau panggil untuk menghadapMu, hamba siap Ya Allah... Ridhai perjalanan hambaMu ini. Hamba serahkan segalanya, namun jika waktunya bukan sekarang, selamatkan Hamba, Ya Rabb......

“Baik kalau kau pilih begitu. Dasar orang kampung bodoh! Rey, tutup matanya” intruksi Marsose itu.
Iskandar hanya bisa memberontak lemah mencoba melepas ikatan tangannya yang tertempel pada kursi yang ia duduki. Sia-sia, ikatan itu begitu kuat. Marsose yang dipanggil Rey menutup mata Iskandar. Dengan tenaga yang tersisa, Iskandar mencoba membuka ikatan itu tapi gagal lagi.

Seketika, dunia menjadi gelap di mata Iskandar. Yang terdengar hanya derai tawa para Marsose yang ada di hadapannya tadi, seolah ingin mengejek tentang pilihan yang ia putuskan.

Iskandar memejamkan matanya yang telah gelap. Allah, ampuni hambaMu yang tak bisa meneruskan perjuangan ini... Hamba benar-benar pasrah pada ketentuan Mu..
Suara tembakan akhirnya terdengar juga, ia pejamkan matanya kuat-kuat menyambut peluru itu. Dzikir di lisan dan hatinya semakin memacu.
Suara tembakan semakin terdengar brutal. Iskandar merasa waktu berjalan lambat.

Kemudian dia tersadar, kalau peluru-peluru itu bukan mengarah kepadanya, meski desingan timah panas terasa melewati.
Tak lama, terdengar suara teriakan kesakitan, ia tak tahu itu suara siapa. Ada apa ini? Iskandar heran, kenapa sebutir peluru pun tidak menembus tubuhnya. Apa yang terjadi?
“Allahu Akbar !!”

Di tengah golakan batinnya yang terus menjerit menuturkan pertanyaan-pertanyaan, terdengar olehnya pekikkan takbir yang bersahut-sahutan. Sepuluh orang, dua puluh orang, ah mungkin lebih.

Tiba-tiba suara di sekitarnya menjadi gaduh. Batinnya masih tak mengerti apa yang terjadi. Tunggu, suara takbir pertama tadi? Jangan-jangan itu suara Ahmad Farhan.
“Serang !!!”

Terdengar suara lagi. Kali Iskandar kenal suara itu. Itu suara penjajah yang mengintrogasinya tadi. Mendadak suara menjadi bergemuruh. Tak berapa lama, ikatan tangannya mengendur, ada yang melepaskannya. Setelah tangan penuh luka itu terbebas, segera Iskandar melepas penutup matanya.

Allahu Akbar!! Terlihat pemandangan ajaib dimatanya. Tentara Marsose yang hanya sekitar 20 orang diserang oleh manusia ratusan orang. Siapa mereka? Pasukan Ahmad Farhan, tak sebanyak ini.

“Assalamu’alaikum, kau tidak apa-apa?” sapa suara yang tak asing baginya, pemilik suara itu rupanya yang melepaskan ikatan tangan iskandar.

“Alaikumsalam Ustadz. Alhamdulillah tidak apa-apa” jawab Iskandar. Senang rasanya bisa bertemu sosok ini lagi.

“Ustadz, tahanan telah di bebaskan” teriak seseorang dari belakang. Ahmad Farhan mengangguk.

“Mundur!!!” teriaknya membahana.

“Allahu Akbar” jawab seluruh pasukan serentak.
***
“Salah satu geriliyawan mendengar, kalau kau akan di hukum mati siang ini. Kami, yang semula akan menyerang nanti malam terpaksa mengatur strategi baru. Tapi dengan pasukan yang jumlahnya hanya sedikit ini, tak mungkin bisa melawan penjajah yang kuat di siang hari. Untunglah penduduk disini, yang sudah gerah dengan tingkah penjajah mau membantu” kata Ahmad Farhan menjelaskan.

Mereka saat itu tengah berkumpul di Masjid, setelah menunaikan shalat zuhur berjamaah. Iskandar tertunduk mensyukuri semua pertolongan yang telah Allah berikan kepadanya. Batinnya terus melayangkan doa kepada Allah, bersyukur akan kesempatan berjuang yang masih disediakan. Suatu saat, ia akan menceritakan kisah perjalanannya kepada generasi penerusnya. Tentang biadabnya para penjajah yang merampas tanah ini. Tentang, perjuangan para mujahid yang bukan sekedar pahlawan.

Kamis, 10 Agustus 2006
Azizah Yuindra
(1) Ada Marsose di perbatasan, mereka sedang menuju ke sini, cepat lari.
(2) Kamu

0 komentar:

Posting Komentar

MENU

Mengenai Saya

Foto saya
seperti itulah.. baik hati, tidak sombong, cinta tanah air, rajin menabung, imut, lucu, dan menggemaskan (haha)

Plurk

Mau Bilang Apa?


ShoutMix chat widget

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.